Wonosobo — Puluhan ribu jamaah Rifa’iyah dari berbagai daerah di Indonesia memadati sejumlah lokasi makam masyayikh di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Selasa (15/4/2025). Mereka menghadiri peringatan 16 Syawalan, sebuah tradisi ziarah akbar yang dilaksanakan setiap tanggal 16 Syawal untuk mengenang murid-murid generasi pertama Kyai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad yang berasal dari Wonosobo.
Peringatan yang telah berlangsung selama lebih dari satu abad ini tidak hanya menjadi momentum spiritual, tetapi juga ruang silaturahim yang mempererat persaudaraan antarwarga Rifa’iyah dari berbagai penjuru Tanah Air.
Suasana kekeluargaan dan kehangatan begitu terasa sejak para jamaah memasuki Desa Tempursari, Sapuran, salah satu pusat kegiatan ziarah. Warga dengan sukarela menyediakan pos sedekahan yang menyajikan aneka makanan dan minuman bagi peziarah. Di titik-titik ini, para tamu beristirahat, bercengkerama, dan bersantap sebelum atau sesudah menziarahi makam para ulama. Titik seperti ini dijumpai di setiap area ziarah.
“Ini bukan hanya ziarah. Ini adalah pengikat spiritual dan sosial kami sebagai warga Rifa’iyah,” ujar Arifin, peziarah asal Pati.
Menapak Warisan Masyayikh
Ziarah 16 Syawalan menempuh rute yang tersebar di enam lokasi makam para masyayikh yang merupakan murid-murid utama Kyai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad. Mereka antara lain:
- Syekh Hasan Thoyib dan Syekh Hasan Darda’, Kalibening, Mojotengah
- Syekh Abdul Hadi, Dalangan, Kertek
- Syekh Abu Mansur, Syekh Ishaq, dan Syekh Abdul Ghoni, Ngadisalam, Sapuran
- Syekh Abdul Hamid dan Syekh Hasan Busyro, Karangsambo, Sapuran
- Syekh Abdul Aziz, Krajan Tempursari, Sapuran
- Syekh Abu Hasan, Bojong, Kepil
Para tokoh ini dikenal sebagai generasi pertama murid Kyai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad, yang berperan besar dalam menyebarkan ajaran dan semangat perjuangan sang guru di wilayah pegunungan Wonosobo dan sekitarnya.
Napak Tilas Surat Wasiat dari Ambon
Peringatan 16 Syawalan juga sarat nilai sejarah. Tradisi ini merujuk pada surat wasiat terakhir Kyai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad yang dikirim dari pengasingan di Batumerah, Ambon, pada 21 Dzulhijjah 1277 H atau sekitar tahun 1861 Masehi. Surat bertulisan Arab Pegon dan berbahasa Jawa itu ditujukan kepada menantunya, KH Maufuro bin Nawawi, di Kranggongan, Batang — sekaligus kepada para murid seniornya.
Surat tersebut menjadi penghubung setelah sebelas tahun lamanya Kyai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad tidak mengirimkan kabar kepada murid-muridnya di Jawa. Menyusul surat itu, pada tahun berikutnya, yaitu 1870 atau 1286 H, para murid beliau — termasuk Kyai Hasan Dimejo bin Abu Hasan dari Kepil, Wonosobo — mengadakan ziarah dan doa bersama yang diyakini sebagai peringatan haul pertama Kyai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad.
Menariknya, tanggal 16 Syawal juga merupakan hari di mana Kyai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad secara resmi diberangkatkan ke pengasingan di Ambon, yaitu Kamis, 19 Mei 1859, bertepatan dengan 16 Syawal 1275 H, sebagaimana tercantum dalam Besluit pemerintah Hindia Belanda nomor 35.
Menghidupkan Spirit Juang
Ziarah 16 Syawalan bukan sekadar rutinitas tahunan. Bagi jamaah Rifa’iyah, kegiatan ini adalah cara untuk menyambung kembali tali ruhani dengan guru-guru mereka. Di sela-sela doa dan ziarah, jamaah merenungkan kembali ajaran Kyai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad tentang tauhid, keistiqamahan, serta perlawanan terhadap kolonial.
Dengan tradisi yang terus hidup dan dukungan masyarakat lokal yang hangat, ziarah 16 Syawalan menjadi bagian penting dari wajah Rifa’iyah— religius, ramah, dan berakar kuat pada sejarah perjuangan.
Penulis: Samsul Rozikin
Editor: Ahmad Zahid Ali