Pada suatu hari, ketika kami menanyakan teori kepemimpinan kepada mendiang KH. Ali Nahri di dalam kitab tarajumah, beliau menunjuk kepada syarat sah makmum di dalam kitab Riayah al-Himmah. Tentu tulisan ini dipaparkan dengan keterbatasan daya tangkap penulis terhadap keterangan almaghfurlah.
Kami menuliskan sebatas hasil yang kami pahami dari keterangan beliau. Mudah-mudahan secara substansial sama, tapi kami sadar secara bahasa pasti berbeda. Apalagi antara keterangan dengan penulisan terpaut waktu sekian tahun, mohon maaf apabila ada kekurangan.
Beliau mulai menerangkan satu persatu dalam konteks organisasi, maupun konteks kehidupan: pertama, (makmum) ojo dingini ing adeke imam (makmum tidak boleh mendahului berdirinya imam). Dalam konteks kepemimpinan, seorang imam pasti di depan, baik secara posisi tempat, maupun posisi otoritas. Hal ini merujuk kepada kesamaan akar kata antara imam dan kata amam. Imam artinya pemimpin, sedangkan amam berarti di depan atau di hadapan.
Maka ketika seorang istri menolak dibelikan mobil oleh suaminya dengan alasan: “Karena menurut saya suami selaku pemimpin keluarga itu seharusnya selalu di depan, bukan di samping saya sebagai sopir. Kalau Mas beli mobil, tentu posisinya akan berubah di samping saya. Istiqomah ya, Mas, kita pakai sepeda ontel saja, demi satu prinsip: ojo dingini posisi imam, he..he..he… intermezzo.”
Kenapa imam harus di depan atau di hadapan makmum, karena imam selalu menjadi contoh. Keteladanannya, kebijakannya dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan akan disorot oleh makmum. Tentu perbuatan baiknya akan melipatkan ganjarannya sebaliknya perbuatan buruknya akan melipatkan dosanya, karena perilakunya akan dicontoh.
Kapindo, ngaweruhi ing imam lakune, pengalihe dalem rukuk lan sujud anane
(kedua, mengetahui kepada perilaku imam, peralihan di dalam rukuk dan sujud adanya)
Bagaimana mungkin kita mencontoh seorang pemimpin kalau kita tidak memperhatikannya, atau kita tidak melihat perilakunya. Mustahil kita menjalankan kebijakan-kebijakan seorang pemimpin, kalau pemimpinnya tidak berusaha mensosialisakan program-programnya, bahkan makmum diharapkan mengetahui peralihan kebijakan-kebijakannya.
Dalam hal ini antara imam dan makmum harus ada saling pengertian. Imam harus selalu mensosialisasikan kebijakan-kebijakannya agar makmum mengetahuinya, sebaliknya makmum harus memperhatikan kebijakan-kebijkannya, bahkan sampai detail dalam kebijakannya itu. Hal ini merujuk kepada Fatwa Simbah, di antaranya kenapa beliau tidak menuliskan ngaweruhi…. pengalihe rukuk lan sujud tapi lebih detail lagi dengan kalimat ngaweruhi…pengalihe dalem sujud lan rukuk.
Artinya, ibarat dalam organisasi kita tidak sebatas mengetahui arah dan program organisasi, tetapi sampai pada dasar filosofinya, nilai-nilainya, konsekuensinya dan analisis SWOT-nya.
Kapingtelu, kumpul imam makmum gone, ojo luwih telung atus asto kadohan
(ketiga, imam dan makmum berkumpul dalam satu tempat, jarak ruang jauhnya tidak melebihi 300 hasta)
Beliau memaknai syarat yang ketiga ini dengan kata kunci komunikatif. Komunikasi antara imam dan makmum dibangun berdasarkan rasa saling mempercayai. Imam harus selalu menjaga kredibilitas dan integritasnya, maka makmum akan mengapresiasi dengan kepercayaan. Akibat dari kepercayaan ini akan melahirkan syarat berikutnya yaitu: kapingpat niyate ati ing imam anutan karena kepercayaan sudah tertanam di hati makmum, maka makmum akan selalu punya niat untuk mengikuti imamnya.
Sebagaimana Kanjeng Nabi Pemimpin sepanjang zaman yang memiliki modal utama al-amin (dapat dipercaya). Pemimpin yang khianat atas amanahnya otomatis akan diingkari oleh makmumnya. Komunikasi selamanya tidak akan berlangsung kalau pengingkaran sudah terjadi. Maka dalam syariat Islam, diwajibkan makmum untuk mengingatkan imam yang lupa, apalagi yang khianat. Dalam shalat peringatan itu bisa berupa kalimat tasbih.
Dalam konsep demokrasi dikenal dengan prinsip vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) sehingga mengkhianati amanat rakyat bisa berarti mengabdi kepada oligarki, kepentingan golongan, atau kepentingan nafsunya sendiri. Maka seorang pemimpin harus berdaulat dari itu semua yang dibahasakan dalam ilmu Mbah Rifa’i sebagai imam iku dudu wong anut, imam itu bukan orang yang mengikuti kepada oligarki, golongan, maupun nafsunya sendiri.
Ia hanya taat kepada Allah, Rasulullah dan amanat Rakyat.
Itulah sebagian teori kepemimpinan ala Simbah. Yang dulu saya menyangka sebatas teori shalat jamaah, ternyata Suwargi KH. Ali Nahri mengambilnya untuk ilmu yang lebih luas (universal).
Ahmad Saifullah, jurnalis freelance
Edtitor: Ahmad Zahid Ali
Penulis: Ahmad Saifullah