Diakui atau tidak bahwa bukti ajaran Rifa’iyah terawat bisa dilihat dari usianya yang sudah lebih dari dua abad. Sebagaimana diutarakan Sartono Kartodirjo, sejarawan UGM Yogyakarta dalam Protest Movement in Rural Java bahwa Rifa’iyah merupakan satu-satunya gerakan perlawanan terhadap penjajah kolonial Belanda yang hingga hari ini masih eksis.
Saya juga teringat ketika Gus Baha diundang untuk mengisi pengajian di pesantren-pesantren tua, beliau sering mengingatkan tuan rumah tentang warisan literasi (kitab) para pendahulu ulama lokal setempat agar dididahulukan untuk dikaji dalam pengajiannya. Padahal karya-karyanya tersebut tidak banyak, tetapi seringkali dilupakan oleh anak cucunya sendiri.
Kita jadi bersyukur ketika melihat warga Rifa’iyah dalam majlis-majlis ta’limnya selalu mendahulukan kitab Tarajumah karya Mbah Rifa’i sebagai kitab kajiannya. Kitab-kitab salaf berfungsi sebagai rujukan bahan keterangan yang lebih luas dan pelengkap.
Melihat kenyataan tersebut, maka kurang lebih kita punya gambaran bahwa anak cucu murid KH. Ahmad Rifa’i dalam kurun empat generasi secara konsisten telah merawat ajaran-ajaran Islam ala Rifa’iyah di bumi nusantara. Hal itu perlu kita syukuri dahulu, supaya kita tidak dimurkai oleh Allah Swt, karena menutupi karunia nikmat istiqomahnya empat generasi Rifa’iyah.
Setelah mengidentifikasi nikmat-nikmat dan bersyukur, maka untuk ikhtiar menjaga agar ajaran dan budaya Rifa’iyah tetap lestari maka diperlukan refleksi dan muhasabah diri.
Muhasabah tentu mustahil dilakukan apabila kita tidak mengenal diri Rifa’iyah. Mengacu kepada maqolah: man arafa nafsahu faqod ‘arafa rabbahu (barangsiapa mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya). Jadi penting untuk mengenal diri Rifa’iyah.
Siapa Rifa’iyah?
Rifa’iyah berasal dari nama seorang ulama nusantara yang lahir di Tempuran Kendal Jawa Tengah pada 9 Muharram 1200 H. Beliau bernama Ahmad Rifa’i. Sehingga anak turun muridnya sebagai penerus ajaran KH. Ahmad Rifa’i menamakan dirinya sebagai Rifa’iyah.
Ada beberapa pengertian Rifa’iyah yang sebatas kita pahami.
- Rifa’iyah merupakan ajaran Islam yang mengacu pada penafsiran KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak.
- Rifa’iyah mengacu kepada sekumpulan anak turun murid KH. Ahmad Rifa’i,
- Rifa’iyah bermakna ormas Islam yang didirikan anak turun murid-murid KH. Ahmad Rifa’i.
- Rifa’iyah sebagai tradisi budaya bahkan peradaban yang khas dari budidaya warga Rifa’iyah.
Istilah Rifa’iyah baru dikenal umum sejak tahun 1965 tepatnya saat Yayasan Pendidikan Islam Rifa’iyah didirikan. Pada waktu itu warga Rifa’iyah punya keinginan legalisasi ‘rumah besar’ untuk menampung gagasan, kegiatan, dan segala aspirasi warga Rifa’iyah dalam hal sosial keagamaan, bahkan politik.
Selain itu, ada tujuan internal agar warga Rifa’iyah, khususnya para tokohnya mempunyai kesatuan visi dan misi bersama dalam rangka melestarikan paham ajaran KH. Ahmad Rifa’i.
Paham Ajaran, Warga, dan Budaya Rifa’iyah
Kalau saya katakan bahwa orang Rifa’iyah adalah orang yang seharusnya paling bahagia di dunia akhirat tentu hal itu berdasarkan fakta, bukan hayalan. Pertama kita bisa melihat kebanyakan KTP orang Rifa’iyah, di sana dicantumkan beragama Islam dan pekerjaan wiraswasta.
Kalau beragama Islam tentu saya yakin mereka beriman. Walaupun iman merupakan rahasia hati masing-masing orang, tapi gejalanya bisa disaksikan. Misalnya ketika sakit, kebanyakan orang Rifa’iyah mengaduh kepada Allah, bisa dengan berbagai macam ucapan: ya Allah Gusti Ya Allah duh Pangeran Ingsun, dst. Sehari-hari terbukti warga Rifa’iyah masih menegakkan shalat lima waktu, masih tahlilan, mengerjakan puasa ramadhan, masih hadir di majlis-majlis ta’lim. Hal itu merupakan indikator kemukminannya.
Orang beriman kepada Allah, membenarkan segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasulullah serta menjalani taqwa secara istiqomah tentu pasti lebih bahagia hidupnya dibandingkan dengan orang-orang yang tidak beriman. (QS. Al-Mukminun: 1-10)
Orang yang beriman dan bersandar kepada Tuhan, kemungkinan besarnya tidak berputus asa. Karena masih ada harapan pada anugerah kekuatan, kesehatan, ketika badan lunglai diterpa sakit.
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku”
Alhamdulillah, saya pribadi hidup sudah 40-an tahun di lingkungan masyarakat Rifa’iyah, tetapi tidak sekalipun mendengar kabar tentang orang Rifa’iyah yang bunuh diri akibat sakit, atau karena diterpa masalah hidup. Nauzubillah min dzaalik
Hal itu artinya bahwa beriman itu erat kaitannya dengan daya survive manusia. Setelah ia diterpa cobaan hidup yang tak berkesudahan, ia masih tetap punya sandaran hati: Tuhan yang sejati. Wailaa rabbika farghab (dan hanya kepada Tuhanmu lah hendaklah kamu berharap).
Di saat seorang hampa terasing dalam keramaian, ia masih optimistis punya naungan yang tiada duanya: Allah Subhanahu Wata’ala. Ketika kita angkat tangan mendeklarasikan diri laa haulaa wa laa quwwata kita masih ada langkah keyakinan gegeyongan ing Allah sholah tingkah dzahir batin saking Allah panguasan.
Kita juga melihat bahwa orang Rifa’iyah seringkali mengantisipasi berbagai macam problem hidupnya dengan pola hidup sederhana. Hal ini terpola dalam perilaku peribadatan yang mendahulukan kewajiban dan tidak berlebihan dalam hal sunah. Tentu hal itu juga berdampak pada laku hidup manusianya yang mendahulukan kebutuhan primer daripada kebutuhan sekunder, apalagi tersier.
Ada konsep sederhana dari Mbah Rifa’i yang mengendap dalam benak warga Rifa’iyah yang melambari laku hidup sak madya di antaranya dalam hal konsumsi. Orang Rifa’iyah berpegang pada prinsip seqodar hajat kanggo tulung toat.
Artinya dalam hal mengonsumsi rumus utamanya adalah kebutuhan bukan keinginan, apalagi kerakusan. Prinsip seqodar hajat juga berarti bahwa setiap kebutuhan itu mempunyai ukuran (kadar), sedangkan keinginan tidak punya kadar kecuali kepuasan yang tak berkesudahan.
Konsep-konsep hidup sederhana ini tentu mewujud dalam laku hidup orang Rifa’iyah yang cenderung terarah pada tujuan sejati dan fokus menujunya, hanya kepada Allah Swt.
Innalillahi wainna ilaihi raaji’uun. Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali.
Diceritakan dalam buku The Philosophy of Money tentang beberapa contoh perilaku manusia sukses secara materi yang tidak memakai ‘thariqat’ seqodar hajat kanggo tulung toat, hingga tidak lama mereka mengalami kebangkrutan.
Diceritakan oleh penulisnya bahwa sebagian pengguna mobil mewah: Ferrari, Lamborghini, Roll-Royce, di Amerika Serikat ternyata sebagian besar penghasilannya untuk nyicil kredit mobilnya. Akhirnya hidupnya terbelit dengan takhayul ukuran ‘orang sukses’ yang seakan ditampakkan dalam tampilan mobil mewah.
Mereka bangkrut karena tidak punya ilmu prioritas yang dinginake wajid mudhayyiq (mendahulukan kebutuhan primer mendesak). Beruntunglah umat Rifa’iyah yang diterangi dengan ilmu-ilmu sederhana ala Mbah Rifa’i.
Lebih kompleks tentang ajaran Mbah Rifa’i, yang tentu bersumber dari al-Qur’an, Hadits, Qaul Ulama, kita dikenalkan kepada hidup yang seharusnya tidak safih atau kebodohan dalam mengelola harta benda. Bahkan si safih terhukum mahjur (dicegah) oleh walinya untuk mengelola hartanya sendiri. Karena berpotensi memubadzirkan hartanya. Perilaku safih yang berpotensi pada kehancuran hidup manusia diantisipasi dengan ketentuan mahjur. sebagaimana diterangkan di kitab Tanbih dan Tasyrikhatal Mukhtaj.
Itulah hal yang sering dikaidahkan oleh Mbah Rifa’i dengan kaidah dar’ul mafasid muqoddamun ala jambil masholih (mencegah kerusakan diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan).
Jiwa Wiraswasta
Latar belakang sejarah Rifa’iyah pada masa penjajahan Hindia Belanda bertolak belakang dengan latar belakang berdirinya Muhammadiyah. Rifa’iyah lahir dari seorang tokoh yang selalu berseberangan dengan pemerintah dan kolaboratornya termasuk ulama pemerintah. Bahkan dinyatakan secara gamblang oleh Mbah Rifa’i dalam kitab-kitabnya bahwa penjajah sebagai penguasa (raja kafir) yang mustahil untuk diikuti. Sedangkan Muhammadiyah didirikan oleh para penghulu dan keluarga penghulu Kraton yang otomatis akrab dengan budaya pegawai pemerintahan.
Dalam posisi ini, jelas Kiai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad dan para anak turun muridnya dalam posisi tertekan. Karena Mbah Rifa’i secara terang-terangan berseberangan dengan pemerintah penjajah. Dan menganggap para ulama lokal yang bersekutu dengan penjajah sebagai alim fasik, kadang munafik kufur yang harus tidak berfungsi apa-apa dalam praktik peribadatan dan sosial keagamaan (tanbih).
Di antara fungsi sosial keagamaan ulama pemerintah ini dalam masyarakat adalah sebagai guru, khatib, penghulu, qadli, modin, wali, saksi pernikahan yang mengharuskan seseorang berlaku adil (islam, aqil, baligh, ora fasik). Maka peribadatan, praktik keagamaan yang melibatkan mereka dianggap tidak sah, karena jauh dari kriteria adil.
Kurang berfungsinya para pegawai dan penghulu akibat dari penanaman faham ajaran Rifa’iyah menjadikan kontraproduktif bagi kelangsungan kehidupan KH. Ahmad Rifa’i dan para murid. Karena kemudian semua aktifitas KH. Ahamd Rifa’i dengan para murid-muridnya dilaporkan kepada pemerintah sebagai tindakan negatif dan agitatif. Hal ini bisa kita rasakan apabila kita membaca Serat Cebolek buah karya Raden Ngabehi Yasadipura I yang merupakan bentuk rekayasa sejarah yang disponsori oleh penjajah. (Agus Sunyoto).
Kita bisa menyimak Hymen Rifa’iyah Stanza 1 yang mengutarakan bahwa generasi murid-muridnya Mbah Rifa’i dioyak-oyak londo. Bukti dari kronik sejarah ini adalah hilangnya jejak sejarah keluarga inti Mbah Rifa’i sendiri yang hingga sekarang tak diketahui.
Setelah penjajahan Belanda berakhir di Bumi Pertiwi, stereotype terhadap Rifa’iyah terus berlangsung. Anggapan-anggapan miring tak berdasarkan fakta kebenaran diteruskan oleh sesama generasi bangsa Indonesia sendiri, bahkan masih terasa hingga sekarang. Maka tak heran apabila di era 90-an kita sering mendengar istilah wong mbudiyah matine dadi celeng (orang Rifa’iyah kalau meninggal dunia akan menjadi babi).
Sebagaimana diterangkan dalam kitab Manaqib Syaikh Ahmad Rifa’I, Abdur Rozaq menerangkan bahwa stempel celeng yang disematkan kepada warga Rifa’iyah berasal dari kejadian penanaman kepala babi di petilasan/makam Mbah Rifa’i di Batu Merah Ambon oleh pihak penjajah dan kolaboratornya.
Rumor kebohongan sejarah ini dipercayai dan diwariskan oleh bangsa sendiri sebagai ujaran kebencian selama ratusan tahun hingga menghasilkan SK 12 Kajati Jawa Tengah tentang pelarangan ajaran Tarajumah yang dianggap sesat.
Setelah gurunya diposisikan sebagai ‘pengacau keamanan’ otomatis pasca pengasingan Mbah Rifa’i dan bubarnya pesantren Kalisalak anak turun murid-muridnya memilih jalan sunyi dari jangkauan kekuasaan penjajah.
Hal ini menjadi berkah tersendiri bagi takdir sejarah rakyat Rifa’iyah. Mental Rifa’iyah yang terpinggirkan oleh kejaran dan teror kekuasaan menjadi semacam ‘kawah candradimuka’ bagi penempaan kemandirian berwirausaha, sebagai pertahanan eksistensi.
Doktrin kemandirian, kedaulatan, dan kemerdekaan yang ditanamkan oleh Simbah mengalir menjadi darah perjuangan yang tiada akhir bagi generasi Rifa’iyah.
Sebagaimana dinyatakan dalam Syarikhul Iman:
Mukmin bungkuk kekasab nandur ketela, iku luwih becik tinimbang seba ing wong ala
Mukmin shalih milih angger merdeka
(Orang mukmin tua renta yang bekerja menanam ketela, itu lebih bermartabat baik dari pada tunduk kepada orang tidak baik (penjajah))
MUKMIN SHALIH LEBIH MEMILIH MERDEKA.
Ahmad Saifullah, jurnalis freelance
Editor: Ahmad Zahid Ali
Penulis: Ahmad Saifullah