Secara sunatullah, alam ini memiliki hukum dasar sebab-akibat (kausalitas). Maka, perilakunya adalah stimulus dan respons. Manusia diciptakan untuk merespons keadaan. Bahkan, bakat jasmaniah manusia adalah merespons stimulus. Suatu hari Anda makan sambal yang terlalu pedas, tentu lambung akan merespons dengan rasa melilit, dan lubang anus terasa panas saat buang hajat.
Demikian juga KH. Ahmad Rifa’i, pahlawan nasional kelahiran Kendal ini. Beliau dilahirkan pada tahun 1786 M dari pasangan suami-istri Muhammad Marchum dan Siti Fatimah. Saat itu, suasana keagamaan Islam di Kendal sangat keruh karena dipengaruhi paham keagamaan pribumi yang kurang memperhatikan syariat fikih Islam. Di satu sisi, hadirnya imperialis Belanda telah memengaruhi budaya masyarakat pada waktu itu.
Gambaran masyarakat pada waktu itu dapat kita lihat di hampir semua kitab-kitab beliau. Sering kali, KH. Ahmad Rifa’i mengkritik ‘Majlis Haram’ yang saat itu merebak. Dalam satu kumpulan banyak orang yang bukan mahram, terdapat beberapa orang yang membuka aurat (kumpul lanang wadon, ghairu mahram ngurat katingalan). Tidak hanya itu, hadirnya gamelan sebagai alat malahi dan beberapa minuman khamr yang melalaikan turut menyempurnakan kemaksiatan yang beredar di masyarakat.
Dalam guratan syairnya, ia mengetengahkan keadaan masyarakat pada waktu itu:
Pada ngaku Islam ujar pura-pura
Tan nggugu sakbenere syara’ wicara
Gegeyongane mung anut adat Negara
Atine kafir luwih gede kena lelara
(Orang-orang) banyak yang mengaku Islam
(Tetapi) tidak menghiraukan kebenaran syara’ (syariat Islam)
Pegangannya hanya ikut kepada kebiasaan pemerintah
Hatinya kafir, sakit kena penyakit yang lebih besar
Dalam kritiknya tersebut, KH. Ahmad Rifa’i memberikan suatu deskripsi tentang kehidupan keagamaan umat Islam pada saat itu. Keislaman mereka kebanyakan bersifat simbolis belaka. Hal itu tidak lain karena merambahnya para pemimpin agama yang lemah secara keimanan, cinta terhadap dunia, pengecut, dan munafik.
KH. Ahmad Rifa’i juga mengecam keras para penghulu, lurah, camat, dan bupati yang mengabdikan dirinya kepada pemerintah kolonial sebagai perbuatan dosa dan zalim. Bahkan, beliau seakan gregetan terhadap para pribumi yang menjadi antek penjajah. Ungkapan ini tercermin dalam tulisannya di kitab Syarikhul Iman halaman 48:
Wong Alim Shalih nyengaja didohi
Wong singgih dzalim fitnah disembahi
Benere Syara’ agamane Allah di rusuhi
Wong bid’ah maksiat dikasihi
Orang alim saleh sengaja dijauhi
Pejabat zalim (penuh) fitnah disembah
Kebenaran syara’, agamanya Allah, diganggu
Orang (melakukan) bid’ah, maksiat disayangi
Ora tentu wong sasar iku ing alas agung
Tinemu sasar wong ngawula ing tumenggung
Wus kinaweruhan dosa gede nanggung
Dadi kufur patut lalu sabab bingung
Tidak mesti orang tersesat itu di hutan belantara
Ditemukan orang tersesat sebab mengabdi kepada pejabat
Sudah diketahui bahwa ia menanggung dosa besar
Tak disadari menjadi kafir sebab bingung
Ora tentu kafir iku sabab nembah berhala
Tinemu kafir munafiq ibadah riya katula
Luwih ala kafir munafiq tinimbang nembah berhala
Kafir munafiq ning dasare neraka tanda luwih ala
Tidak tentu kafir itu sebab menyembah berhala
Kenyataannya, kafir munafik (sebab) ibadah riya
Lebih hina kafir munafik daripada penyembah berhala
Kafir munafik (bersemayam) di dasar neraka tanda lebih hina
Mukmin bungkuk kasab pada nandur jagung
Iku luwih becik tinimbang ngawula tumenggung
Kang partela ngenani dosa luwih agung
Perek-perek kufur wong cilaka digunggung
Seorang mukmin bongkok (badannya) yang bekerja menanam jagung
Itu lebih baik dibanding orang yang menghamba kepada penguasa
(Penguasa) yang sudah jelas terkena dosa lebih besar
Mendekati kekufuran, orang celaka didukung
Mukmin bungkuk kasab nenandur ketela
Iku luwih becik tinimbang bungkuk seba ing wong ala
Nanggung dosa gede tan bisa tobat katula
Ora patut wong duraka gede di pilala.
Mukmin bongkok bekerja menanam ketela
Itu lebih baik daripada bongkok menjilat orang hina
Menanggung dosa besar tidak bisa tobat berkelanjutan
Tidak patut orang durhaka besar diagung-agungkan
Keadaan masyarakat yang hina karena tunduk dan menjilat terhadap penguasa zalim. Bahkan, kita tahu bahwa KH. Ahmad Rifa’i beberapa kali dipanggil ke pengadilan, dipenjara, hingga diasingkan karena dilaporkan oleh ulama pribumi yang menjilat penjajah.
Dalam deret catatan Serat Cibolek digambarkan betapa KH. Ahmad Rifa’i berdebat sengit dengan H. Pinang perihal ketentuan dan syarat salat berjamaah. Dalam Serat itu, KH. Ahmad Rifa’i digambarkan kalah dalam perdebatan. Dengan gambaran perilaku yang buruk, mereka menyebutnya sebagai deksura (licik yang sombong). Pembunuhan karakter sudah sejak dulu dilakukan oleh penguasa yang zalim. Tujuannya agar marwah beliau jatuh, hingga dijauhi oleh murid-muridnya.
Dengan dasar keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang iman lan ibadahe bebatalan, adat budaya yang menyimpang dari syariat, KH. Ahmad Rifa’i mulai menyampaikan pencerahan-pencerahan yang ia dapatkan dalam khazanah keilmuan Islam. Juga, selalu saja dalam tulisan-tulisannya disisipkan keprihatinan dan protes terhadap kondisi manusia yang semakin jauh dari nilai agama.
Dalam kesempatan ketika hidup dalam pengasingan awal di Kalisalak, Batang, ia mulai menampung para penuntut ilmu di Pondok Pesantren di Kalisalak. Dalam kesempatan di sana, KH. Ahmad Rifa’i telah menyelesaikan beberapa kitab, termasuk Syarikhul Iman dan Takhyirah Mukhtashar.
Berdasarkan catatan sejarah lisan yang disampaikan para tokoh Rifa’iyah di Wonosobo, kedatangan KH. Ahmad Rifa’i sebagai ulama sudah diprediksi oleh kasepuhan di sana. Bahkan, mereka menjulukinya sebagai Kiai Umbul Umbul Warih. Kalau saya mengartikan berdasarkan kamus Bausastra Jawa, umbul berarti gerakan dari bawah ke atas atau dalam bahasa keseharian dikenal sebagai mumbul, sedangkan warih berarti air. Saya memaknainya bahwa KH. Ahmad Rifa’i adalah kiai yang menjadi wasilah oleh Allah dalam menyemburatkan mata air ilmu-Nya untuk membasuh kejahiliahan manusia pada zamannya hingga sekarang.
Dalam buku hasil penelitian Tim Islah, atau Tim Penyusunan Sejarah yang dimotori santri-santri Pondok Pesantren Tanbihul Ghafilin Wonosobo dalam rangka merekonstruksi sejarah Rifa’iyah di Wonosobo, ditemukan keterangan cerita bahwa setiap ada santri baru yang hendak mencari ilmu di Kalisalak, terlebih dahulu KH. Ahmad Rifa’i mengajarkan Syahadat Sak Maknane yang terdapat dalam kitab Takhyirah dengan metode sorogan.
Ada dua hal penting yang bisa kita tangkap tentang bagaimana KH. Ahmad Rifa’i menyelenggarakan pendidikannya.
Pertama, KH. Ahmad Rifa’i menyampaikan perihal syahadatain kepada para santrinya di awal ketika hendak memasuki kawah candradimuka pesantren Kalisalak. Syahadatain di kalangan warga Rifa’iyah disebut sebagai syahadar loro yang terdiri atas Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul. Sebagaimana Sunan Kalijaga yang mengedepankan syahadatain sebagai Jimat Kalimasada kepada orang-orang Jawa pada waktu itu, syahadatain dalam ajaran tarajumah dikenal sebagai kunci pembuka seseorang untuk disebut sebagai muslim. Artinya, setelah menjadi orang Islam, ia mempunyai dua pancer kehidupan: Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW Rasulullah. Dalam keadaan apa pun, seorang muslim harus mendahulukan dan mengutamakan mengikuti Allah dan Rasul-Nya.
Kedua, metode yang digunakan KH. Ahmad Rifa’i ketika itu adalah sorogan, jenis metode yang paling terukur bagi guru terhadap muridnya. Seorang guru akan tahu persis perkembangan ketakwaan, pembacaan, pemahaman, penalaran, dan kompetensi satu per satu santrinya karena selalu bertatap muka dalam pembelajaran. Hingga guru mampu menentukan secara spesial materi dan pembelajaran yang sesuai dengan kondisi santri.
Dalam sejarah pembelajaran cantrik sebelum pesantren dirintis oleh Sunan Ampel, kita juga mengenal pembelajaran dengan metode glenak-glenik, metode privat pembelajaran kerohanian dan spiritual. Seorang guru memilih dari antara cantrik-nya yang dirasa telah mampu mengemban ilmu-ilmu tertentu, yang tidak semua cantrik bisa mendapatkannya. Karena pembelajaran ruhaniah selalu lembut, maka metodenya disebut sebagai glenak-glenik yang hingga sekarang dipahami masyarakat sebagai klenik.
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra