Setiap insan pasti pernah bermimpi menginjakkan kaki di Tanah Suci. Bayangan Ka’bah yang tegak di tengah Masjidil Haram sering kali menjadi pelepas rindu dan penyejuk batin bagi hamba-hamba yang mendambakan pertemuan dengan-Nya. Ibadah haji bukan semata perjalanan fisik menuju Makkah, tetapi lebih dari itu, ia adalah perjalanan ruhani menjemput cinta dan ampunan Ilahi.
KH. Makhfudz Isrofi, dalam kajian kitab al-Wāḍiḥah, menyampaikan betapa agung dan sakralnya ibadah haji. Dalam setiap syarat dan rukunnya terdapat pesan kebersihan jiwa dan totalitas penghambaan. Tidak sekadar melaksanakan manasik, tetapi juga belajar merendahkan ego, menanggalkan kesombongan, dan melatih keikhlasan.
Dalam Al-Qur’an, Allah menyeru:
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27)
Ayat ini menunjukkan betapa ibadah haji adalah panggilan suci. Ia bukan hanya tentang kemampuan secara finansial, tetapi juga tentang kesiapan hati dan tekad untuk menyambut undangan Allah.
KH. Makhfudz Isrofi juga menekankan pentingnya niat yang benar sejak awal. Dalam penjelasannya, beliau menguraikan makna niat ihram secara mendetail, mengutip dari kitab al-Wāḍiḥah, bahwa niat itu tak sekadar lafal di lisan, tetapi azam dalam hati yang ditujukan semata kepada Allah. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Setiap prosesi dalam haji adalah simbol perjuangan. Wukuf di Arafah adalah momen hening di padang pengampunan, melempar jumrah adalah simbol perlawanan terhadap hawa nafsu dan godaan setan, thawaf adalah perjalanan melingkar mengitari pusat cinta, Ka’bah, sebagai simbol bahwa seluruh hidup kita harus berporos pada Allah.
Ulama besar, Imam al-Ghazali, pernah berkata:
الْحَجُّ سَفَرُ الْبَدَنِ، وَمَعَهُ سَفَرُ الْقَلْبِ إِلَى اللَّهِ
“Haji adalah perjalanan jasmani, namun bersamanya juga perjalanan hati menuju Allah.”
Dalam catatan KH. Isrofi, beliau mengingatkan agar ibadah haji tidak hanya menjadi rutinitas tahunan atau simbol status sosial. Haji harus menjadi titik balik, menjadi momentum hijrah diri, dari kebiasaan duniawi menuju kesadaran ruhani. Haji yang mabrur bukan hanya ditandai oleh selesainya manasik, tetapi oleh perubahan sikap dan kesalehan sosial setelah pulang.
Betapa banyak orang mampu secara materi, tetapi hatinya belum tergerak. Dan betapa banyak pula yang sederhana hidupnya, namun doanya menembus langit, dan Allah bukakan jalan-Nya untuk menjadi tamu-tamu mulia di rumah-Nya.
Maka, saat kita belum mampu berangkat, perbanyaklah niat yang tulus dan amal saleh. Siapa tahu Allah telah mencatat kita sebagai calon tamu-Nya. Dan bagi yang telah dipanggil, jadikan pengalaman itu sebagai cahaya hidup, agar tak hanya pulang dengan gelar “haji”, tetapi pulang membawa atsar takwa yang istiqamah.
Sebagaimana doa yang diajarkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam:
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۖ إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127)
Referensi: https://www.youtube.com/live/ctys_xG5K7E?si=8ti2zstftiYcvJJz
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra