Puji syukur ke hadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan karunia-Nya kepada kita. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad yang sangat mulia di sisi-Nya, beserta para sahabat dan keluarganya. Āmīn.
Di sini al-faqir ahluttaksir H. Khoirun Nazi hendak menulis kisah dan silsilah Mbah Kyai Mangun Harjo beserta para pejuang yang bersamanya. Saya mengambil khobar dari beberapa orang tua yang memiliki beragam versi, di antaranya dari Mbah Yai Rusman, Yai Aman, Mbah Edres, dan orang-orang sepuh lainnya. Dari berbagai pendapat yang berbeda tersebut, saya simpulkan kurang lebih seperti yang terlampir di sini. Namun, saya mohon dimaklumi atas segala kekurangan dan kekhilafan al-faqīr, serta terbuka menerima tambahan khobar yang lebih akurat. Sekian, mohon maaf.
Biografi Mbah Mangun
Mbah Kyai Mangun Harjo adalah seorang ulama sekaligus pejuang agama Islam di Kebuntaman.
Pejuang agama Islam sekaligus pendiri dan penegak agama di Kebuntaman ada dua, yaitu:
- Mbah Kyai Ahmad Yahman
- Mbah Kyai Mangun Harjo
Keduanya berasal dari Pengkol, putra dari Mbah Tokromo. Tahun kelahiran dan wafatnya belum diketahui secara pasti, namun sebagian berpendapat bahwa wafatnya Mbah Kyai Mangun Harjo sekitar tanggal 20 Muharram 1315 H atau 1893 M.
Setelah bersama-sama berjuang, Mbah Mangun merasa ilmunya masih kurang. Beliau ingin memperdalam lagi, sehingga pergi ke Kendal berguru kepada Mbah Kyai Muhammad Tuba. Sebagian riwayat menyebut bahwa Mbah Kyai Mangun Harjo sempat berguru langsung kepada Kyai Haji Ahmad Rifa’i bersama:
- Mbah Kyai As’ari
- Mbah Kyai Ahmad Yahman
- Mbah Kyai Dakimin
- Mbah Kyai Mangun
Semuanya menempuh perjalanan kaki menuju Kalisalak ke pondok Mbah Kyai Haji Ahmad Rifa’i Ibn Muhammad. Di sanalah Mbah Kyai Mangun Harjo menjadi akrab dengan Mbah Kyai Tuba karena mereka sepantar (seumuran). Namun, Mbah Kyai Tuba dianggap lebih ‘ālim, sehingga banyak berdiskusi dan berbagi ilmu dengannya. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa setiap hendak mengaji kepada Mbah Kyai Rifa’i, mereka terlebih dahulu mampir ke rumah Mbah Tuba, lalu berangkat bersama.
Saat itu, Mbah Mangun Harjo sudah beristri dan memiliki seorang anak bernama Sayimah. Karena sering bepergian untuk mencari ilmu, istrinya tidak terima dan akhirnya mereka bercerai. Mbah Mangun Harjo pun melanjutkan pencariannya akan ilmu, bahkan sampai mukim di tempat Mbah Kyai M. Tuba, karena di sana terdapat pondok pesantren putra dan putri.
Setelah kurang lebih tujuh tahun mukim, Mbah Kyai Mangun kembali pulang. Di pesantren itu ada dua santri kakak beradik dari Demak, Surodadi, yang sudah layak dinikahi. Si kakak dinikahkan dengan putra Mbah Kyai M. Tuba, yaitu Kyai M. Idris. Sementara sang adik dinikahkan dengan Mbah Kyai Mangun Harjo, bernama Mbok Rawan.
Baca juga : KH. Hasan Musaned dan Cahaya Rifa’iyah dari Tanah Surodadi Demak
Setelah menikah, mereka pulang ke rumah Mbah Tokromo (bapak Mbah Mangun) di Dukuh Pengkol. Namun, karena banyaknya kemaksiatan di sana, ia tidak betah dan memutuskan pergi ke Kebuntaman. Saat itu, penduduk dan rumah masih jarang, sehingga wilayah tersebut tampak seperti hutan dengan semak-semak. Mbah Mangun pun mendirikan rumah sederhana dari bambu dan atap alang-alang.
Sebagian riwayat menyebutkan, tak lama setelah kepergian Mbah Mangun dan Mbok Rawan dari Pengkol, datanglah Mbah Kyai M. Idris (putra Mbah Kyai Tuba) ke Kebuntaman untuk bersama-sama membangun rumah, tempat pasolatan, jomblangan untuk kolam, dan sumur. Pekerjaan itu dilakukan selama kurang lebih tujuh hari.
Setelah selesai, Mbah Idris berpesan kepada Mbah Mangun:
“Wes, awakmu ora usah pindah-pindah maneh. Insya Allah kene besuk bakal dadi désa rame lan akeh uwong. Lan omahé iki tak jenengi désa (Banguntaman).”
Setelah itu, Mbah Idris kembali ke Kendal.
Perjuangan Mbah Kyai Mangun
Mbah Kyai Mangun dan Mbok Rawan melanjutkan perjuangan menyebarkan agama Islam dengan berlandaskan kitab Tarjumah Rifa’iyah ala Ahlus Sunnah wal Jamā‘ah.
Perjuangan ini tidaklah mudah, banyak rintangan, godaan, dan ujian. Sebelum langgar didirikan di tempat Mbah Kyai Mangun, lebih dahulu berdiri di tempat Mbah Kyai Mad Yahman. Namun, karena adanya mushola, orang-orang zhalim banyak yang tidak suka. Bahkan, mushola Mbah Kyai Ahmad Yahman sering digunakan untuk berjudi, minum-minuman keras, dan sebagainya. Mereka pun masuk ke dalam mushola tanpa mencuci kaki terlebih dahulu, padahal rata-rata berasal dari luar daerah seperti Kawengen, Selelu, dan sekitarnya. Karena menempuh perjalanan jauh, kaki mereka penuh telethong (kotoran), sehingga mengotori mushola dan menjadikannya najis.
Setiap kali mereka pergi, mushola dibersihkan kembali agar layak untuk salat dan mengaji. Namun, mereka malah mengejek:
“Wah, santri Buntaman nek ono tamu bar diasahi.”
Sehingga, muncul anggapan bahwa jika ada tamu selain dari Kebuntaman, pulangnya selalu diasahi (dibersihkan).
Lama-kelamaan, orang-orang yang bermain di situ diberi peringatan agar tidak bermain di mushola. Namun, mereka justru marah dan tidak terima. Akhirnya, mushola dibakar oleh orang-orang zhalim tersebut.
Kayu-kayu yang tidak terbakar kemudian dibawa ke tempat Mbah Kyai Mangun. Mbah Kyai Mad Yahman berkata:
“Wis, iki Ngun, kayu turahane bakaran iki gawenen mushola ning gonmu. La iki ono kayu sekitar sak kilan seng wes tak rajah dongani, pendemen gon musholane sisan.”
Akhirnya, mushola yang awalnya di barat rumah Mbah Mad Yahman dipindahkan ke tempat adiknya, Mbah Mangun Harjo. Setelah jadi, orang-orang zhalim itu kembali ingin memfitnah. Namun, setiap mereka bermain di situ, mereka diserang lemut mrutu (sejenis serangga) dalam jumlah banyak. Akhirnya, mereka bubar dan tidak berani kembali.
Itulah salah satu karomah Mbah Kyai Mangun Harjo. Sejak saat itu, perjuangan beliau berjalan lancar. Lama-kelamaan, banyak orang dari desa lain datang mengaji, bahkan ada yang nyantri dan mondok di sana, mencapai sekitar empat puluh orang. Siang hari mereka diajak bercocok tanam, malam harinya diajari ibadah, mengaji, dan sebagainya.
Akhirnya, perkembangan pun terjadi, baik dalam bidang agama maupun ekonomi. Mbah Kyai Mangun kemudian membuat sistem pengairan sawah untuk menunjang kebutuhan hidup agar lebih sejahtera. Caranya tergolong unik dan khāriqul ‘ādah (melampaui kebiasaan), sehingga tidak bisa ditiru oleh orang biasa.
Saat itu, Mbah Kyai Mangun pergi ke Kali Simondo, Kalikayen Kulon, Lengkongsari. Ia hanya membawa tujuh batang bambu kecil seukuran jempol dengan panjang sekitar 75 cm.
Semua bambu itu ditancapkan di sungai, lalu Mbok Rawan (istrinya) disuruh menarik selendang sutra halus—tidak diketahui dari mana asal selendang itu. Selendang tersebut ditarik melewati Kalikayen dan tembus ke Kali Wedeng.
Sesampainya di sungai tersebut, bambu ditancapkan lagi sebanyak tujuh batang. Selendang lalu ditarik lagi melewati sebelah barat rumah Pak Kuzairi (Joko), lalu ditarik ke belakang oleh Mbah Damiri/Mbak Siti. Setelah sampai di larik (alur) itu, bambu kembali ditancapkan, dan selendang ditarik melewati sebelah barat rumah Pak Mas Ahyak Ulumudin hingga ke timur, sampai ke sebelah rumah Pak Asmin. Terakhir, selendang ditarik lagi ke sebelah utara kampung.
Pekerjaan itu selesai pukul satu siang. Setelahnya, terjadi hujan hingga malam hari. Sawah menjadi penuh air seperti bendungan, namun setelah surut, air mengalir lancar mengikuti alur selendang tersebut. Alhamdulillāh, sungguh luar biasa. Para pemilik sawah pun dapat memanen hasil hingga tiga kali rendeng (musim panen). Karena bersyukur, mereka semua menyetorkan hasil panen kepada Mbah Mangun. Hal itu berlangsung lancar selama tiga tahun.
Namun, setelah itu, Lurah Pengkol meninggal dunia dan digantikan oleh lurah baru yang dijuluki Mbah Tokrak. Ia membuat peraturan baru:
“Mulai saiki sopo-sopo sing panen setor maring kelurahan.”
Namun, peraturan itu tidak berjalan. Setelah ditunggu hingga lima tahun, masyarakat tetap menyetor kepada Mbah Mangun Harjo. Kemudian, Lurah Tokrak mengajukan gugatan ke Kecamatan. Mbah Kyai Mangun dipanggil, namun beliau menugaskan Mbah Yai Mad Yahman untuk mewakili.
Sesampainya di Kecamatan, terjadi perdebatan sengit. Namun, Lurah Tokrak selalu kalah. Sampai tiga kali sidang, Mbah Kyai Mad Yahman selalu memenangkan argumen. Akhirnya, Lurah Tokrak benar-benar marah. Kebetulan rumah Mbah Yahman berada di sebelah barat kalen larek. Maka Lurah berkata:
“Wes, mulai sekarang dari barat kalen larek sak pengidul pengetan sampai lemah mendak, aku moh. Aku ora arep nglurahi, ra tak daku masyarakatku.”
Pada masa itu, lurah memiliki kekuasaan besar. Akibatnya, wilayah Kebuntaman bagian selatan selama dua tahun tidak memiliki lurah atau pemimpin. Setelah itu, wilayah tersebut diambil alih oleh Kalikayen, dan hingga sekarang Kebuntaman Kidul masuk wilayah Kalikayen, Ungaran Timur, Kabupaten Semarang. Sedangkan bagian utara masuk wilayah Kelurahan Rowosari, Kota Semarang.
Akhirnya, karena terjadi konflik, semua bambu yang ditancapkan oleh Mbah Mangun dicabut, dan pengairan pun kembali menjadi daratan seperti semula. Na‘ūdzu billāh min dzālik.
Itulah bagian dari khāriqul ‘ādah yang kami yakini sebagai karamah. Kami percaya bahwa Mbah Kyai Mangun adalah seorang awliyā’ Allāh (wali Allah). Oleh karena itu, setiap tahun, anak, putri, dan murid-murid beliau senantiasa mengadakan haul untuk mendoakan ampunan, serta sebagai bentuk syukur dan penghormatan atas perjuangan beliau.
Mudah-mudahan kita semua mendapatkan keberkahan. Āmīn.
Silsilah keluarga Mbah Mangun
Penerus Perjuangan Mbah Kyai Mangun
Adapun yang meneruskan perjuangan Mbah Kyai Mangun hingga saat ini yaitu:
- Pak Kyai Mar’anam
- Pak Kyai Zainal Abidin
Serta didukung oleh ahli bait (keluarga) dan para murid beliau. Mbah Yai Rusman, cucu Mbah Mangun, adalah sosok ‘ālim, wara‘, dan berwibawa.
Perlu diketahui, bahwa perjuangan Mbah Mangun tidak dilakukan sendirian. Beliau didukung oleh rekan seperjuangannya, yaitu:
- Mbah Ahmad Yahman
- Mbah As’ari
- Mbah Dakimin (Mbah Tijah)
- Mbah Mangun Harjo
Figur empat ini jangan dilupakan dalam doa… terima kasih. Wallāhu a‘lam bish-shawāb.
Penulis: H. Khoirun Nazi
Edtitor: Yusril Mahendra