Kalau pada awalnya hanya ada Allah Swt, berarti semua makhluk berasal dari Yang Satu. Kalau semua makhluk berasal dari yang sama, maka semua makhluk pasti terhubung dan ada kaitannya. Demikian juga ilmu, pasti asal usulnya hanya dari Allah, maka semuanya pasti terhubung menuju hulu yang sama. Ibarat naik gunung, bisa saja masing-masing pendaki naik dari arah yang berbeda, tetapi ketika di puncak masing-masing pendaki akan bertemu. Juga seperti GOR yang mempunyai banyak pintu, walaupun orang masuk melalui pintu yang berbeda mereka di dalam akan bertemu jua.
Secara alamiah manusia memasuki ‘gedung kebenaran’ melalui ‘pintu ilmu’ yang berbeda-beda, Tetapi apabila ia terus mencari kebenaran yang sejati dari ilmunya, maka hasil ma’rifatnya akan menuntunnya menuju Allah Swt, sebagaimana fisikawan Isaac Newton yang menemukan Tuhannya melalui ilmu Fisika.
Isaac Newton menemukan Tuhan berawal dari rasa penasarannya terhadap gugusan planet-planet yang berputar dan tidak ada satu pun yang menyimpang sehingga mereka tidak saling bertabrakan. Isaac Newton menghabiskan hari-harinya hanya untuk menjawab rasa penasarannya tersebut. Hingga pada akhirnya ia menyerah, dan saat itulah ia meyakini akan adanya sesuatu yang mengatur jalannya alam semesta. Yaitu Tuhan.
Syahadat Loro dan Pancasila dua kata yang seakan-akan tidak berhubungan, bisa saja ia justru sangat terhubung dengan memakai pedoman teori tersebut. Mari coba kita hubungkan, supaya kita sebagai warga Rifa’iyah lebih dekat lagi dengan Pancasila. Harapannya nilai-nilai Pancasila tidak hanya dibaca di upacara-upacara tetapi kita lahirkan dalam akhlak sehari-hari.
Dalam buku Sejarah Murid Pertama Syaikh KH. Ahmad Rifa’i dari Wonosobo, diterangkan bahwa ketika santri pertama dari Wonosobo yang bernama Amad Kardi, dan Amad Arfani sowan hendak nyuwita kepada KH. Ahmad Rifa’i -kemudian kami sebut sebagai Mbah Rifa’i- di Kalisalak yang pertama kali diajarkan oleh beliau adalah Syahadat Loro Sak Maknane.
Kita semua tahu bahwa sila pertama dalam Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal itu sejalan dengan syahadat tauhid dalam Kitab Takhyirah Mukhtashar yang biasa diwirid oleh warga Rifa’iyah dengan kalimat: Angawaruhi atiningsun ing satuhune ora nana pangeran kang sinembah sabenere ingdalem wujude anging Allah, bahwa tiada Tuhan selain Allah.
Pasal kedua Pancasila: ”Kemanusiaan yang adil dan beradab” Jiwa kemanusiaan Mbah Rifa’i sangat terlihat dalam memaknai ”asyhadu” yang diartikan bukan anekseni atiningsun tapi ”angaweruhi atiningsun”. Karena sasaran audien kitab Takhyirah kebanyakan orang awam, maka taraf maqomnya sebatas mengetahui, bukan menyaksikan. Karena kalau diartikan dengan menyaksikan, tentu pernyataan itu berpotensi menjadi ungkapan kebohongan yang dilanggar banyak orang secara terus menerus. Lebih ngeri lagi kalau dikaitkan dengan QS. Ash-Shaf (2-3): ”Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sangat besarlah kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.”
Kesaksian manusia terhadap Allah melalui mata batinnya (basyirah) merupakan maqam yang lebih sulit ditempuh oleh kebanyakan orang selaku pembaca dan pendengar kitab Takhyirah Mukhtashar. Itulah yang biasa disebut dalam kajian Tasawuf sebagai maqom musyahadah sedangkan kita sebatas hamba yang berharap dan tertatih-tatih berjalan di maqom muraqabah.
Dengan mengartikan Asyhadu sebagai angaweruhi di sanalah letak jiwa kemanusiaan yang adil dan beradabnya Mbah Rifa’i. Beliau menyelamatkan manusia dari ungkapan yang berpotensi dimurkai Allah, dan adil karena menempatkan ungkapan sesuai maqam pembaca dan pendengar kitabnya, dan sangat beradab karena rendah hati lebih tampak dalam ungkapan saya mengetahui daripada ungkapan saya menyaksikan.
Pasal berikutnya: ”Persatuan Indonesia” bisa kita lihat dalam arti Syahadat Tauhid, terutama pada istilah ”ora nana Pangeran Kang Sinembah sakbenere ingdalem wujude anging Allah”
Allah Swt berfirman melalui Al-Qur’an yang fungsi utamanya sebagai petunjuk dan penerang bagi umat manusia. Kalau satu bangsa menghendaki untuk bersatu, tentu pedoman petunjuk dari al-Qur’an sangat tepat bagi kita dengan memperhatikan ayat berikut ini.
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُون
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Kenapa kita sebagai bangsa Indonesia tidak Bersatu, karena masing-masing memperjuangkan egonya sendiri, pedomannya tidak kembali kepada Allah Swt tetapi kembali kepada kepentingan partainya masing-masing.
Pasal ke empat: ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,” bisa selaras dalam arti Syahadat Rasul: ”lan angaweruhi atiningsung ing satuhune nabi kita Muhammad Utusane Allah”
Kepemimpinan kerakyatan siapa yang paling baik dan indah, selain dari kepemimpinan Rasulullah Saw? Sehingga Michael H. Hart dalam 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia menempatkan Kanjeng Nabi Saw di urutan pertama. Kita bisa menikmati kisah bagaimana Kanjeng Nabi dengan kebijaksanaan dan tetap mengedepankan Musyawarah dalam merencanakan dan menyelesaikan perang Uhud.
Mari kita lihat keteladanan Nabi Saw dalam kepemimpinannya selalu mengedepankan musyawarah.
Saat Rasulullah SAW sedang melakukan persiapan perang Uhud, Rasulullah SAW mengumpulkan para sahabat guna melakukan musyawarah dan mengatur strategi perang. Di antara strategi yang dilontarkan adalah apakah dengan strategi perang kota, atau keluar di medan perang dalam menghadapi musuh, kebanyakan sahabat muda menghendaki perang di medan perang, hal itu di antaranya karena dipengaruhi oleh jiwa euforia kemenangan pada saat perang Badar.
Dari hasil musyawarah , mayoritas sahabat menyetujui pilihan berperang di medan perang di Bukit Uhud. Rasulullah Saw pun menyetujuinya, meski saat itu beliau sebenarnya condong pada pendapat strategi perang dalam kota Madinah.
Sahabat Sa’ad ibn Mu’adz dan Usaid ibn Hudzair Ra, keduanya merupakan sahabat yang seide dengan Rasulullah ketika berpendapat, yaitu agar pasukan muslimin tetap bertahan di dalam kota saja. Ketika itu, keduanya sempat berbicara dengan sedikit hati yang masygul kepada musyawirin. Bagaimana mungkin para sahabat memilih untuk melakukan gagasan menyambut pasukan Quraisy di bukit Uhud, sementara Rasulullah Saw menghendaki agar tetap bertahan di dalam kota? Akhirnya mereka berpikir dan merasa menyesal, sehingga bermaksud merubah keputusan musyawarah untuk menyepakati perang dalam kota. Ketika usulan itu disampaikan kepada Nabi Saw, beliau teguh untuk tetap melaksanakan keputusan musyawarah yang telah disepakati.
Sebenarnya Nabi Saw sendiri telah mendapat isyarat ‘suara langit’ bahwa kemungkinan perang akan kalah kalau dilakukan di medan perang, sehingga Nabi Saw mengantisipasinya dengan mengatur strategi perang, di antaranya dengan menempatkan pasukan panah di atas bukit. Bahkan saking pentingnya strategi tersebut, Nabi Saw mewanti-wanti kepada pasukan panah agar jangan sampai turun, walau pun andaikan kedapatan melihat jasad Beliau terkapar.
Umat Muslim dalam Perang Uhud sempat menang, dan pasukan kafir Quraisy sempat hengkang, dengan meninggalkan harta rampasan perang, tetapi karena pengkhianatan pasukan panah terhadap pesan Nabi Saw, dengan meninggalkan atas bukit Uhud untuk berebut harta rampasan perang (ghanimah) terkaparlah pasukan muslim mendapatkan hantaman serangan kedua dari pasukan Kafir Quraisy yang dipimpin oleh Khalid bin Walid. Bahkan Nabi sempat terjerembab ke dalam ranjau parit, dan anak panah mengenai mulut beliau, sehingga mengakibatkan gigi rompol.
Kita tidak bisa membayangkan kesabaran Nabi, ketika Nabi harus mengalah menghormati musyawarah, padahal beliau telah menyimpan isyarat menang-kalah perihal perang. Beliau mengantisipasi, tetapi dikhianati, bahkan keselamatan Nabi hampir saja terhempas, sampai terluka berat. Yang tidak kalah menyedihkan bagi Nabi Saw adalah ketika mendapati jasad Hamzah bin Abdul Mutholib yang terkapar tanpa jantung, karena jantung Hamzah dimakan oleh Hindun binti Utbah. Betapa remuk redam hati Rasulullah Saw.
Tapi bagaimana jawaban Allah Swt atas peristiwa tersebut?
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran,159).
Tetap saja kebaikan dan permaafan yang ditawarkan oleh Allah Swt melalui ayat tersebut untuk memedomani Nabi Saw.
Pemimpin yang berjiwa lemah lembut, yang mengedepankan musyawarah, dan selalu kegeyongan ing Allah dalam segala hal, dialah yang akan mampu mewujudkan pasal kelima: ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Ahmad Zahid Ali