Dalam kitab Abyanal Khawaij, pembahasan mengenai zuhud atau zuhad terdapat pada jilid 5, korasan 57. Di sana digambarkan bahwa zuhud berarti “bertapa di dunia”. Istilah “bertapa”, jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti mengasingkan diri dari keramaian dunia dengan menahan hawa nafsu.
Untuk lebih jelasnya, mari kita kutip kalam KH. Ahmad Rifa’i:
زُهَادْ تكسَيْ ترَجُمة بَاسَ جَوِني ايكُو اِعَرَنَنْ تَافَ اِعْدَلمْ دُنيَانَي
فرْتَيلا اصطلاح شراع معناني يائكو جوس جوس اعدلم اتني
كاوي عبادة نتفي واجب ملهور سكواسني سكع دنيا حرام موعكور
نجا اع الله ظاهر باطن جوجور عرف عرف اع الله نع سوركا لوهور
“Zuhud dalam terjemahan bahasa Jawa disebut sebagai bertapa di dunia.”
“Sedangkan secara istilah syar‘i, maknanya adalah bersiap dalam hati.”
“Untuk beribadah dan menjalankan kewajiban, serta berusaha semampunya menjauhi dunia yang haram.”
“Lahir batinnya jujur menuju kepada Allah, dengan harapan dapat bertemu dengan-Nya di surga yang mulia.”
Jika mengkaji zuhud secara istilah, kita dapat menarik beberapa poin penting yang perlu dilakukan oleh seorang hamba ketika menempuh laku suluk zuhud:
- Seorang zahid harus terlebih dahulu menyiapkan kebersihan hati dalam rangka menjalankan ibadah dan pengabdian.
- Berusaha keras untuk menghindari hal-hal duniawi yang haram. Usaha ini dilakukan secara sungguh-sungguh;
- Menuju sepenuhnya kepada Allah dengan harapan mendapatkan rahmat dan rida-Nya.
- Dengan demikian, seorang hamba akan terhindar dari jerat hawa nafsu dan tipu daya dunia, hingga pantas dihadiahi surga.
Seorang zahid tidak sepenuhnya meninggalkan dunia. Penekanan yang disampaikan KH. Ahmad Rifa’i adalah meninggalkan dunia yang haram. Seorang zahid menyediakan hati dan seluruh ibadahnya hanya untuk Allah Swt., sehingga dunia hanya berada di tangannya, tidak masuk mengusik hatinya.
Keterangan ini diperkuat oleh firman Allah dalam QS. Al-A‘raf: 32:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللّٰهِ الَّتِيْٓ اَخْرَجَ لِعِبَادِه وَالطَّيِّبٰتِ مِنَ الرِّزْقِۗ قُلْ هِيَ لِلَّذِيْنَ اٰمَنوْا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنيَا خَالِصَةً يوْمَ الْقِيٰمةِۗ كَذٰلِكَ نفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يعْلَمُوْنَ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik?’ Katakanlah, ‘Semua itu (disediakan) untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada hari Kiamat.’ Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-orang yang mengetahui.”
Keutamaan seorang zahid terletak pada kualitas ibadahnya yang lebih baik dibandingkan dengan kebanyakan hamba lainnya. Hal ini karena ketulusan ibadah seorang zahid lebih memancar dalam perilakunya. Hatinya terbiasa berjarak dengan dunia, sehingga seluruh kecenderungannya tertuju hanya kepada Allah Swt.
Menurut KH. Ahmad Rifa’i dalam beberapa kitabnya, sering kali seorang hamba terjebak dalam menjalankan amaliah yang berorientasi pada dunia. Seperti yang disebutkan dalam kalamnya: “Ilmu lan amale nyuprih dunya belaka.”
Hal tersebut ditegaskan dalam Abyanal Khawaij, lengkap dengan maqalah berikut:
مَا قَلَّ عَمَلٌ بَرَزَ مِنْ قَلْبٍ زَاهِدٍ وَلَاكَثُرَ عَمَلٌ بَرَزَ مِنْ قَلْبٍ رَاغِبٍ
“Tidak dapat dianggap sedikit amal perbuatan yang dilakukan dengan hati yang zuhud, dan tidak dapat dianggap banyak amal yang dilakukan oleh seseorang yang mencintai dunia.”
Ungkapan ini menunjukkan bahwa nilai amal ibadah sangat bergantung pada hati pelakunya. Amal ibadah yang sedikit namun berasal dari hati yang zuhud memiliki nilai tinggi secara batiniah. Sebaliknya, amal ibadah yang tampak banyak namun berasal dari hati yang mencintai dunia nilainya rendah secara batiniah.
Mengapa demikian? Karena seorang zahid terbebas dari penyakit hati yang merusak keikhlasan, seperti riya’, sum‘ah, berpura-pura dalam beramal, atau tamak terhadap dunia.
Prinsip ini juga sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw. dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِـنْ يَنْظُرُ إِلَى قُــــلُوبِكُمْ وَأَعْمَــالِكُمْ
“Sungguh, Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi melihat hati dan amal kalian.”
Penilaian Allah lebih tertuju pada aspek batiniah seseorang, bukan pada tampilan lahiriah ataupun kekayaan duniawinya. Bukan kesempurnaan fisik atau banyaknya harta, melainkan kualitas hati dan amal perbuatanlah yang menjadi tolak ukur. Zuhud bukanlah suatu ukuran yang tampak, ia merupakan kualitas hati yang akan menentukan kualitas pengabdiannya kepada Allah Swt.
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra