Moderasi beragama bukanlah sebuah aliran baru ataupun sekte. Moderasi beragama adalah konsep pola pikir yang mengedepankan aspek-aspek perdamaian, persaudaraan, dan penghargaan terhadap kesepakatan bersama berupa sebuah negara (Lukman Hakim Saifuddin).
Prof. Quraish Shihab menyebut moderasi beragama sebagai wasathiyah, konsep yang diambil dari ayat Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 143:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَـٰكُمْ أُمَّةًۭ وَسَطًۭا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًۭا
Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya menerangkan bahwa yang dimaksud dengan kata wasathan adalah ummatan ‘ādilan, umat yang adil dan terbaik.
KH Ahmad Rifa‘i dalam karya beliau Riāyatu al-Himmah juz 2 mengutip ayat ini, lalu memberikan penjelasan sebagai berikut:
“Ngendiko Allah Ta‘ālā eng dalem Qur’an, lan kaya mengkono yata bener dedalan, andadekake Insun kinaweruhan, eng siro kabeh ummat alim keadilan.”
Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa ummatan wasathan adalah ‘ālim ‘ādil. Konsep ini sejalan dengan pendapat Imam Ibnu Jarir At-Thabari.
Secara umum, para ulama memberikan definisi wasathiyah sebagai umat yang memposisikan diri di tengah-tengah: tidak berlebihan, tidak mudah mengkafirkan atau menyesatkan seseorang, serta menghindari kalimat-kalimat ekstrem lainnya. Umat ini memiliki kepribadian toleran, menerima keberagaman dan perbedaan, serta menaati komitmen berbangsa dan bernegara.
KH Ahmad Rifa‘i, seorang ulama asal Jawa yang menjadi pahlawan nasional (lahir tahun 1786 M di Desa Tempuran, Kabupaten Kendal), memiliki pandangan tentang moderasi beragama sebagaimana tertuang dalam karya-karya manuskrip beliau. Berikut ini adalah beberapa perspektif moderasi beragama menurut KH Ahmad Rifa‘i:
- Mengakui Keislaman Seseorang yang Mengucap Syahadat
“Utawi rukune Islam iku sawiji beloko yaiku angucap kalimat syahadat loro kang wos kasebut.”
(Kitab Takhyīrah)
Dari kalimat ini dapat dipahami bahwa seseorang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat secara yuridis telah dihukumi sebagai seorang Muslim, yang wajib dijaga darahnya, hartanya, dan kehormatannya. Perbuatan dosa besar tidak menjadikan seseorang kafir.
“Setengah dosa gedhe wernane ora dadi kafir wong gawe temah aine, tetapi dadi fāsiq ilang keadilane.”
Dari deskripsi tersebut, dapat disimpulkan bahwa KH Ahmad Rifa‘i berpandangan bahwa dosa besar tidak menyebabkan kekafiran. Ini sejalan dengan perspektif Ahlussunnah wal-Jamā‘ah. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa dalam ilmu ushuluddin, KH Ahmad Rifa‘i mengikuti Imam Al-Asy‘ari dan Imam Al-Maturidi:
“Ulama mujtahid mutlak ushuluddin anane, iku Imam Abu Hasan As‘ariy namane, lan Imam Abu Mansur Ma‘tūridi arane.”
Diskripsi ini menegaskan bahwa KH Ahmad Rifa’i dalam kaitannya ilmu Ushuluddin mengikuti imam Abu Hasan Al-Asyariy dan Imam Abu Mansur Al-Ma’turidi.
Dalam setiap pembukaan kitabnya, beliau selalu memulai dengan kalimat: “Ahli sunni ṭarīqate Syāfi‘ī mażhabe.”
- Mentaati Pemerintah Sah sebagai Ulil Amri
KH Ahmad Rifa‘i mengutip ayat Al-Qur’an surah An-Nisā ayat 59 dan menjelaskan bagian wa ulī al-amri minkum dengan menyisipkan kalimat:
ايْ إِذَا أَمَرُوكُمْ بِطَاعَةِ اللّٰهِ وَرَسُولِهِ
Artinya: wajib mentaati pemerintah selama perintah tersebut sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Pandangan ini sejalan dengan konsep moderasi beragama sebagaimana dikemukakan oleh Lukman Hakim Saifuddin:
“Pesan pokok keagamaan yang juga tidak terpisahkan dari moderasi beragama adalah ajakan untuk mentaati komitmen berbangsa. Seorang penganut agama wajib mematuhi ajaran kitab sucinya, dan pada saat yang sama wajib, atas dasar sebagai warga negara, mengikuti konstitusi dan hukum yang telah menjadi kesepakatan bersama.”
(Lukman Hakim Saifuddin, Moderasi Beragama, Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, 2018, hlm. 92)
KH Ahmad Rifa‘i dikenal gigih mengkritik para Tumenggung karena loyal kepada Belanda, serta menentang keras penjajahan Belanda atas Nusantara, khususnya tanah Jawa.
- Bersikap Toleran, Menghargai Keberagaman, dan Memaklumi Perbedaan
Pada deskripsi pertama, KH Ahmad Rifa‘i mengutip hadis:
اِخْتِلاَفُ أَصْحَابِي رَحْمَةٌ لَهُمْ
Beliau menjelaskan bahwa perbedaan di antara sahabat Nabi adalah rahmat.
Ini merujuk pada masa kepemimpinan ‘Ali bin Abi Ṭālib dan Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān, yang menjadi awal konflik besar dan melahirkan sekte-sekte seperti Syi‘ah dan Khawārij.
Kemudian pada deskripsi kedua, beliau menganalogikan bahwa perbedaan di kalangan sahabat merupakan rahmat, begitu pula perbedaan di kalangan umat:
“Diqiyās raḥmat sulayāne para ṣaḥābat, iku raḥmat ugo sulayāne ‘ālem ṭā‘at.”
- Memudahkan Umat dalam Beragama, Tidak Ekstrem
“Kaduwe wong kang taqlid sah wenang, yen milih anot qoul kang gampang.”
KH Ahmad Rifa‘i menghendaki kemudahan bagi orang yang bertaqlid kepada pendapat ulama yang mudah. Dalam kondisi tertentu, seperti thawaf di Ka‘bah, sulit menghindari bersentuhan dengan wanita non-mahram, yang dalam pandangan Syāfi‘iyyah membatalkan wudu. Karena itu, boleh beralih kepada pendapat Imam Aḥmad bin Ḥanbal bahwa hal tersebut tidak membatalkan wudu.
Beliau juga membolehkan mengikuti qoul ḍa‘īf demi kemudahan dan menghindari sikap ekstrem:
“Terkadang wajib taqlid qoul ḍa‘īf, sabab tentu khasile farḍu linakonan.”
Artinya, demi menjaga kewajiban seperti persaudaraan, kerukunan, serta kehidupan berbangsa dan bernegara, mengikuti qoul ḍa‘īf menjadi wajib. Hal ini juga dalam rangka menjaga kelima prinsip maqāṣid asy-syarī‘ah: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Semua itu hanya dapat dijaga dengan sikap toleransi.
Abdul Kholiq, M.Pd al Hafidz, Ketua Umum PP AMRI
Penulis: Abdul Kholiq
Editor: Yusril Mahendra