Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
No Result
View All Result
Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
Home Kolom

Tetes Ilmu Mbah Rifa’i (6): Syarat Ilmu

Ahmad Saifullah by Ahmad Saifullah
June 21, 2025
in Kolom
0
Tetes Ilmu Mbah Rifa’i (6): Syarat Ilmu
0
SHARES
26
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Sakeh syarat kang diuruk ilmune
Iku telung perkara wewilangane
Kangdihin arep tahqiq pituturane
Kelawan ana dalile tuwin ing alim pangambilane

Beberapa syarat ilmu yang diajarkan terdiri atas tiga perkara.
Pertama, ilmunya harus sudah ditahqiq (diverifikasi kebenarannya), yakni berdasarkan dalil atau diambil dari seorang alim (ilmuwan).

Kapindo ilmu kang diuruaken jujur
Kaduwe si bodo wus haqe milahur
Uga partela wajib temuli masyhur
Haram memuruk ngakhiraken temuli tinutur

Kedua, ilmu yang diajarkan harus jujur (obyektif).
Bagi orang awam, sudah menjadi hak untuk menerima kejujuran ilmu itu.
Ilmu yang sudah jelas wajib segera dikenalkan.
Haram mengajarkan ilmu dengan menunda-nunda penyampaian ilmu yang urgen dan telah dituturkan.

Dadi haram maleh ora patut binahune
Sabab dudu haqe ingenggon-ngonane
Kaduwe si bodo dadi sasar lakune
Iku partela dadi haram temahane

Menjadi haram pula apabila ilmu tersebut tidak layak dipelajari,
karena bukan pada tempatnya (tidak kontekstual).
Akibatnya, orang awam bisa tersesat.
Jelas, hal itu menjadi haram akibatnya.

Syarat kang kaping telu tinutur
Arep nunggal madzhabe kang pinilahur
Lan tunggal thariqate kang jujur
Tinemu ngawam pada memuruk ngawur

Syarat ketiga adalah ilmu itu harus berada dalam satu mazhab yang dipilih,
dan memiliki satu metode yang jujur,
karena jika tidak, kebanyakan orang awam akan mengajar secara ngawur (tidak bertanggung jawab).

Dalam bagian ini kita membahas syarat-syarat ilmu yang akan dipelajari. Pembahasan ini tetap mengikuti alur kitab Bayan, Juz 1 halaman 5. Syarat pertama adalah ilmu tersebut telah ditahqiq. Dalam istilah akademik, ini berarti verifikasi: diperiksa secara seksama dan teliti, berdasarkan ilmu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Tanda paling umum dari tahqiq adalah adanya dalil atau argumentasi yang menjelaskan logika keilmiahannya. Pondasi kejujuran ilmu ada pada argumentasinya. Jika syarat ini sulit dipenuhi oleh orang awam, maka cukup dengan mengambil dari seorang ilmuwan atau ahli dalam bidang tersebut.

Dalam tradisi Rifa’iyah, prosesi tahqiq cukup dikenal. Dahulu, anak-anak yang menjelang balig atau orang-orang yang hendak dipilih menjadi wilangan Jumat, harus menyetorkan ilmu ibadah, bacaan ibadah, serta syarat dan rukun ibadahnya kepada alim yang dipercaya. Hal ini merupakan bagian dari tradisi tahqiq yang dulu tidak hanya berlaku di pesantren, tetapi juga di masyarakat luas. Hingga kini, masih ada tradisi nekseke (penyaksian ilmu ibadah). Beberapa pengajian bahkan secara berkala menjadwalkan praktik ibadah sebagai bagian dari proses tahqiq.

Tradisi tahqiq ini memiliki sejarah tersendiri. Suatu waktu, warga Rifa’iyah di sebuah desa di Kabupaten Pekalongan belum mendirikan jamaah Jumat sendiri, sehingga mereka masih bergabung dengan jamaah NU di sebuah masjid jami’. Karena ketelitian dan kehati-hatian warga Rifa’iyah dalam urusan ilmu ibadah, mereka mengusulkan kepada takmir masjid agar segera membentuk adatul Jumat (semacam panitia pelaksana Jumat).

Takmir masjid menyetujuinya. Namun ternyata prosesnya tidak sederhana. Calon wilangan Jumat harus menjalani proses nekseke bacaan, hafalan, dan pemahaman syarat-rukun ibadah. Lama-kelamaan, calon petugas Jumat dari kalangan NU merasa tidak tahan karena harus telaten memperbaiki bacaan dan menyetor hafalan.

Demikianlah tradisi tahqiq yang sejak dulu telah membudaya di masyarakat. Tradisi ini tidak hanya berlaku pada ilmu ibadah mahdlah, tetapi juga pada ilmu muamalah. Misalnya, warga yang hendak menikah terlebih dahulu harus menyetorkan ilmu pernikahannya kepada alim atau mengaji kitab Tabyinal Islah. Tradisi nekseke inilah yang memperkuat posisi ilmu dan para ahlinya.

Syarat berikutnya adalah bahwa ilmu harus jujur. Dalam bahasa akademis, ini disebut obyektivitas. Pada dasarnya, setiap manusia dalam memperoleh dan memproduksi ilmu tidak akan mencapai obyektivitas yang mutlak, tetapi hanya obyektivitas sementara, karena objek penelitian tidak mungkin dilepaskan dari penafsiran dan pemaknaan subjek.

Misalnya, seseorang melihat ikan di akuarium lalu bercerita panjang lebar tentang ikan itu berdasarkan referensi. Namun manusia bukan ikan, sehingga deskripsi tersebut pasti bersifat subyektif. Manusia tidak bisa merasakan apa yang dirasakan ikan. Maka, obyektivitas sejati tidak akan tercapai, namun tetap harus diupayakan melalui kerja keras.

Menurut KH. Ahmad Rifa’i, syarat ilmu adalah jujur. Ilmu yang jujur setidaknya memiliki tiga ciri:

  1. Ilmu yang dijaga dari kepentingan manusia sebagai subjek. Misalnya dalam sejarah Islam, pada masa pemerintahan Al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah terjadi mihnah (krisis) terkait status Al-Qur’an sebagai makhluk atau Kalamullah. Karena kekuasaan memiliki kepentingan, ilmu dijadikan alat kekuasaan yang menindas pihak yang berseberangan. Banyak ulama menjadi korban, termasuk Imam Ahmad bin Hanbal.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa saja terasing di tengah masyarakat jika arus utama ilmu berbeda dengan kita. Misalnya, di Arab Saudi yang dikuasai ideologi Wahabi, ilmu dipakai untuk membid’ahkan hal-hal tertentu. Bila ilmu telah bercampur dengan ideologi partisan dan kepentingan tertentu, maka ia telah kehilangan kejujurannya.

Siapa yang bertugas menjaga kejujuran ilmu? Kita semua, dengan cara terus mengembangkan, mengkaji, membahas, mendiskusikan, meneliti, dan memverifikasi ulang ilmu yang ada. Ilmu bersifat dinamis. Bila diyakini sudah final, patut dicurigai bahwa ia telah berubah menjadi ideologi atau alat kekuasaan.

Ilmu yang berkembang sekarang banyak yang tidak jujur, karena menurut Mbah Rifa’i hanya dijadikan alat untuk mengejar dunia (ginawe alat mburu dunya). Sejak Revolusi Industri tahun 1750 di Britania Raya, produksi barang menjadi masif berkat mesin. Sekolah kejuruan pun tumbuh sebagai pabrik karyawan. Ilmu menjadi sekadar alat mencari pekerjaan. Bahkan ilmu ruhaniah diperalat untuk mengejar tujuan jasmaniah. Rifa’iyah pun diingatkan agar jangan sampai ilmu ruhaniahnya diperalat untuk tujuan politik duniawi.

  1. Ilmu yang bermanfaat.
    Ilmu yang membawa pada kebenaran dan kebaikan tetapi tidak diamalkan justru menjadi kontra-produktif dan merusak kehidupan manusia. Contohnya adalah pandemi Covid-19. Ada dugaan bahwa virus itu hasil rekayasa genetika untuk kepentingan tertentu. Artinya, ilmu biologi yang seharusnya bermanfaat justru dipakai untuk mencelakakan orang banyak.
  2. Ilmu yang sesuai dengan kehendak Tuhan.
    Misalnya, ilmu sihir atau santet yang dahulu pada masa Majapahit dianggap positif, kini dipandang memiliki potensi mudarat. Ilmu yang sesuai dengan kehendak Allah adalah ilmu yang membawa maslahat bagi manusia dan makhluk lain.

KH. Ahmad Rifa’i juga menekankan pentingnya mendahulukan ilmu yang mendesak, biasanya yang berkaitan dengan ibadah mahdlah yang akan segera dilakukan. Ada istilah “durung wayahe” untuk menyebut sesuatu yang belum waktunya. Artinya, tidak semua ilmu pantas diajarkan pada setiap orang.

Ada suatu cerita yang barangkali dapat memudahkan pemahaman. Pada suatu hari, seorang guru TK menerangkan tentang perbandingan besar dan kecil. Ia memulai dengan pertanyaan, “Gajah itu besar atau kecil?” Serempak anak-anak menjawab, “Besar.” “Kalau semut?” “Keciiiil.”

Kemudian guru tersebut mencontohkan perbandingan antara rumah dan penghuninya. Pertanyaannya, “Lebih besar mana?” Tanpa dikomando, anak-anak menjawab serempak, “Besar rumah, Bu Guru.” Guru pun melanjutkan penjelasan bahwa Allah Maha Besar, sedangkan masjid merupakan rumah Allah. Sontak, salah satu anak bertanya, “Allah sama masjid besar mana, Bu?” Sampai di situ Bu Guru terdiam.

Mungkin anak itu sedang merunut logika tentang rumah dan penghuninya. Bukankah manusia sebagai penghuni rumah lebih kecil dibandingkan rumahnya?

Bu Guru menghela napas panjang dan berbisik, “Durung wayahe, Mas. Sampean tak terangka.”

Kisah Bu Guru tersebut membawa kita pada ingatan tentang syarat ilmu berikutnya, yaitu harus empan papan (kontekstual). Dalam istilah Mbah Rifa’i, ilmu sing dudu haqe ing nggon-nggonane (ilmu yang tidak tepat tempatnya) tak pantas diajarkan. Sebagaimana Bu Guru yang kebingungan menjawab pertanyaan anak didiknya tersebut.

Untuk mempermudah pemahaman, kita bisa mengibaratkannya seperti ini: tak pantas mengajari anjing mengembik, kambing menjeguk, atau kerbau mengeong. Kenyataannya, kini kita menjumpai anak-anak yang lahir di Jawa lebih pandai berbahasa Inggris dibandingkan bahasa Jawa yang baik dan benar.

Yang termasuk sabâb dudu haqe ing nggon-nggonane adalah pelajaran sejarah bangsa Indonesia. Para founding fathers-nya tiba-tiba membentuk negara Indonesia dengan bentuk negara, undang-undang, dan KUHP yang merupakan adopsi dari ilmu Belanda. Padahal nenek moyangnya telah mewarisi peradaban berabad-abad berupa kerajaan, sistem hukum, dan sebagainya.

Para bapak bangsa tidak meneruskan khazanah peradaban ilmu dari leluhur mereka. Karena tumbuh dalam naungan ilmu penjajah, mereka justru mengadopsinya begitu saja.

Contoh lain, dalam pelajaran Biologi misalnya, anak-anak diperkenalkan tentang dinosaurus. Padahal, dalam keseharian mereka lebih akrab dengan kinjeng, manuk, ayam, atau merpati. Mereka dikenalkan dengan binatang purba seperti T-Rex, padahal di kebun mereka hanya ada bebek, mentok, dan ayam.

Pendidikan kontekstual akhir-akhir ini mulai ditumbuhkan kembali.

Syarat ilmu berikutnya adalah harus satu mazhab ilmu (arep nunggal mazhabe kang pinilahur). Misalnya dalam bidang ekonomi, kita mengenal tiga paham: ekonomi Islam, sosialisme, dan kapitalisme. Jika seorang Muslim dijejali ilmu ekonomi kapitalis, tentu tidak cocok karena dapat merusak penerima ilmu tersebut. Bahkan dalam ekonomi kapitalis sendiri, muncul beberapa mazhab (aliran pemikiran), misalnya mazhab Moneteris dan Keynesian yang kini banyak dibahas.

Wallâhu a‘lamu wa antum lâ ta‘lamûn.

Baca Sebelumnya: Tetes Ilmu Mbah Rifa’i (5): Maksud Ilmu dan Metode Pembelajaran


Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra

Tags: IlmuKH. Ahmad RifaiPendidikan Islam
Previous Post

PW Rifa’iyah Jakarta Terima Kunjungan Biro Pendidikan dan Mental Provinsi DKI Jakarta

Next Post

Tasyakuran Pemberian KTA Baranusa dan Penggemblengan Ijazah Do’a: Memperkokoh Kebersamaan dan Penguatan Tugas Organisasi

Ahmad Saifullah

Ahmad Saifullah

Jurnalis Freelance

Next Post
Tasyakuran Pemberian KTA Baranusa dan Penggemblengan Ijazah Do’a: Memperkokoh Kebersamaan dan Penguatan Tugas Organisasi

Tasyakuran Pemberian KTA Baranusa dan Penggemblengan Ijazah Do’a: Memperkokoh Kebersamaan dan Penguatan Tugas Organisasi

  • Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rukun Islam Satu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rifa’iyah Seragamkan Jadwal Ziarah Makam Masyayikh di Jalur Pantura

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kembali ke Rumah: Ayo Mondok di Pesantren Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ramadhan Warga Rifaiyah Jakarta di Masjid Baiturrahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Rifa'iyah

Menjaga Tradisi, Menyongsong Masa Depan

Kategori

  • Bahtsul Masail
  • Berita
  • Cerpen
  • Keislaman
  • Khutbah
  • Kolom
  • Nadhom
  • Sejarah
  • Tokoh
  • Video

Sejarah

  • Rifa’iyah
  • AMRI
  • UMRI
  • LFR
  • Baranusa

Informasi

  • Redaksi
  • Hubungi Kami
  • Visi Misi
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 Rifaiyah.or.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen

© 2025 Rifaiyah.or.id