Setiap orang berakal paham bahwa suatu bangsa bermula dari sepasang manusia, lalu berkembang biak menjadi entitas keluarga, kemudian berkembang menjadi suku, kabilah, hingga akhirnya membentuk suatu bangsa.
Kolektivitas masyarakat yang kemudian disebut bangsa tidak akan berkesinambungan apabila tiap individunya tidak bekerja sama dalam memenuhi kebutuhannya. Dinamika kerja sama dalam pemenuhan kebutuhan tersebut berkembang menjadi pola hubungan yang saling bergantung, saling membutuhkan, dan saling mempercayai. Dari sinilah timbul kerinduan untuk menjalani kehidupan bersama dalam kebersamaan, persatuan, dan kesatuan dalam satu wilayah—itulah yang kemudian disebut sebagai bangsa.
Bangsa yang sepakat untuk hidup bersama dalam satu wilayah, satu sistem pemerintahan, dan satu kedaulatan (negara), umumnya terbentuk karena kesamaan asal usul dan budaya. Eksistensi bangsa-negara tumbuh dari kesamaan identitas berupa bahasa nasional, bendera negara, lagu kebangsaan, lambang negara, semboyan negara, dasar falsafah negara, nilai-nilai, serta kedaulatan teritorial.
Selain kesamaan tersebut, secara sunatullah, setiap bentuk kolektivitas makhluk membutuhkan pemimpin. Semut dipimpin oleh ratu—secara fisik, kepala ratu semut lebih besar daripada semut biasa. Demikian pula dengan rayap, lebah, dan hewan koloni lainnya—semuanya hidup dalam tatanan kepemimpinan. Nilai dasar dari setiap kepemimpinan adalah kepercayaan (trust), yang mustahil terbangun tanpa adanya saling kenal, interaksi, dan silaturahmi.
Sebagaimana telah digariskan oleh Allah:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Gejala kolektivitas dapat diamati pada lebah dalam beberapa koloni. Warga lebah dari satu koloni tidak diizinkan masuk oleh penjaga koloni lainnya. Ini merupakan gejala alamiah bahwa ‘warga asing’ belum dikenal oleh warga koloni lain. Begitu juga manusia: hanya karena paspornya tidak tervalidasi, seseorang bisa diusir dari suatu negara—seperti kasus yang terjadi pada sebagian jamaah haji tahun ini. Di sinilah pentingnya perkenalan, interaksi, silaturahmi, dan saling percaya.
Dalam konteks fondasi kepercayaan dalam berbangsa, KH. Ahmad Rifa’i selalu menekankan pentingnya karakter alim dan adil dalam kepemimpinan (ulil amri). Kritik sosialnya pun kerap ditujukan kepada alim fasik, yakni para pemimpin agama yang berkolaborasi dengan penjajah Belanda pada masanya.
Pemikiran KH. Ahmad Rifa’i berangkat dari latar belakang sosial-politik pada zamannya. Saat itu, beberapa pemimpin formal keagamaan diangkat oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang notabene kafir. Sistem penunjukan kepemimpinan keagamaan berdasarkan selera penjajah tentu sarat dengan kepentingan kolonialisme. KH. Ahmad Rifa’i sangat menentang hal ini dan menuangkan pemikirannya dalam kitab Syarikhul Iman.
Pertama, sejatinya seseorang diangkat menjadi pemimpin karena dipercaya oleh masyarakat. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw. yang dikenal sebagai al-Amîn (yang terpercaya). Kepercayaan tidak datang secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil proses panjang dari konsistensi seseorang dalam mengabdi kepada masyarakat, serta kompetensinya dalam pelayanan, dan kredibilitasnya yang terjaga.
Tak heran jika Mbah Rifa’i menuliskan dalam Syarikhul Iman:
تَنْبِيْهٌ اَوْرَ دَدِيْ شَرَطْ صَحَيْ خَلِيْفَهْ–اَرٓفْ اَنَ رَجَا نٓڳارَ كَعْ عَعْكَتْ اَمٓرْنَهْ
بَالِكْ وَاجِبْ دِاَعْكَةْ دَيْوَيْ كٓلَوَنْ حُجَهْ–دَالٓمْ قُرْاٰنْ حَدِيثْ اِجْمَاعْ قِيَاسْ وِنَارَهْ
نٓتٓفِيْ عَادِلْ بُوَاعْ فَاسِقَيْ كَعْ كَهِنَاءَنْ–كَعْ دَدِيْ سَبَبْ اَوْرَ صَحْ دِتُوتْ ڮِنُوْرُوْنَنْ
مُوعْڮُهْ شَرَعْ اَوْرَ دَدِيْ وَوعْ كَفَرْڄَيَاءَنْ–لَمَونْ دَدِيْ ڮُوْرُوْ مَكَ نَسَرَكٓنْ اِعْ كَبَوْدَوْهَنْ
Peringatan: tidak menjadi syarat sahnya seorang khalifah (pengganti Rasulullah) harus diangkat oleh seorang presiden. Sebaliknya, ia harus diangkat oleh masyarakat sendiri, berdasarkan Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas. Syarat berikutnya bagi seorang khalifah adalah bersifat adil (Islam, akil, baligh, dan tidak fasik), serta membuang kefasikan yang hina dina. Karena kefasikan menyebabkan seseorang tidak sah untuk diteladani, baik ucapan maupun perilakunya. Menurut syariat, seseorang yang fasik tidak bisa dipercaya. Jika menjadi guru, ia akan menyesatkan murid-muridnya ke dalam kebodohan.
Lalu, bagaimana dengan sistem pemilihan pemimpin di zaman sekarang? Apakah berbeda dengan masa penjajahan? Masihkah didasarkan pada kepercayaan masyarakat, ataukah kini bergantung pada besaran uang yang ditebarkan?
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra