“Syariate wong ibadat: mepeki syarat shahe thoat, netepi wajib tinggal maksiat.”
Suatu hari, John Partelo—anak kecil seusia taman kanak-kanak—ikut perjalanan wisata bersama keluarganya. Dalam perjalanan, ia bertingkah aneh. Kadang ingin membuka kaca mobil dan mengeluarkan anggota badannya untuk menikmati sepoi angin yang menerpa. Ia juga ingin melempar wadah susu kotak, botol air mineral, dan lainnya ke luar mobil. Orang tuanya melarang serta memerintahkannya menutup jendela mobil. Namun karena tidak diindahkan, akhirnya orang tua menutup jendela itu secara paksa.
John juga mulai bertanya-tanya: kenapa di pintu tol sopir harus menempelkan kartu untuk membuka palang? Kenapa mobil mendahului kendaraan lain harus dari sebelah kanan? Kenapa ada tulisan batas kecepatan maksimal per kilometer? Mengapa dan mengapa?
Ilustrasi perjalanan wisata John Partelo bisa membantu kita memahami syariat, thariqat, hakikat, dan makrifat. Bahwa syariat diibaratkan sebagai aturan yang berlaku selama perjalanan hidup manusia yang mukallaf. Syariat berisi larangan, misalnya: tidak boleh mengeluarkan anggota tubuh dari kendaraan, membuang sampah sembarangan, dan parkir sembarangan.
Syariat juga berisi perintah atau aturan yang harus ditaati, di antaranya menempelkan kartu tol, mendahului dari lajur kanan, serta beristirahat di rest area.
Ketika John Partelo menanyakan tujuan aturan-aturan “syariat” perjalanan itu, orang tuanya menjawab bahwa aturan ditetapkan untuk menjaga keselamatan bersama selama dalam perjalanan.
Misalnya, larangan mengeluarkan anggota tubuh bertujuan agar organ tubuh tidak terserempet atau terkena benda-benda yang membahayakan, sehingga penumpang tetap selamat.
Syariat agama juga demikian. Ia berisi perintah dan larangan yang berakar pada maqāṣid al-syarī‘ah, yaitu maksud, hikmah, dan tujuan penetapan syariat demi keselamatan dan kemaslahatan bersama dalam kehidupan manusia.
Hal ini mengacu pada pernyataan malaikat saat awal penciptaan manusia sebagai khalifah, yang memiliki potensi menjadi pelaku dua kejahatan: merusak bumi dan menumpahkan darah.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَـٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌۭ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةًۭ ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.'”
(QS. Al-Baqarah: 30)
Manusia bisa diibaratkan seperti John Partelo, yang kadang bertindak sesuka hati mengikuti hawa nafsu. Padahal, perilaku semacam itu berpotensi merusak bumi dan menumpahkan darah. Setiap larangan agama sejatinya adalah pencegahan bagi manusia agar tidak terjerumus ke dalam mudarat dan keburukan bagi dirinya sendiri.
Sebagaimana dahulu di masa Arab Jahiliah sebelum Islam, ketika masih ada tradisi poliandri (seorang istri memiliki banyak suami). Hal ini tentu menimbulkan kesulitan dalam menentukan ayah dari anak-anak yang dilahirkan. Akibatnya, bisa terjadi pertumpahan darah apabila para suami berebut hak atas keturunannya masing-masing. Karena itulah syariat Islam hadir sebagai solusi untuk mencegah kerusakan di muka bumi dan pertumpahan darah.
Maka, jawaban Allah kepada malaikat sangat sederhana:
قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
(QS. Al-Baqarah: 30)
Apa yang tidak diketahui para malaikat, ternyata adalah bahwa Allah menetapkan syariat kepada makhluk-Nya, khususnya manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Jika setelah syariat diturunkan manusia tetap menuruti hawa nafsu, maka akibatnya harus ditanggung sendiri. Sebagaimana tercantum dalam firman Allah:
إِنَّا هَدَيْنَـٰهُ ٱلسَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًۭا وَإِمَّا كَفُورًا
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.”
(QS. Al-Insān: 3)
Begitulah tujuan utama iblis yang membangkang terhadap kehendak syariat Allah, sebagaimana disampaikan dalam firman-Nya:
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ ﴿١٦﴾ ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
“Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukumku tersesat, maka sungguh aku akan menghadang mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.'”
(QS. Al-A‘rāf: 16–17)
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra