Dalam khazanah intelektual dan spiritual Islam, dua istilah sering kali menjadi pusat perbincangan: ilmu (العلم) dan makrifat (المعرفة). Sekilas, keduanya merujuk pada “pengetahuan”. Namun, jika diselami lebih dalam, keduanya mewakili dua dimensi yang berbeda, namun saling melengkapi dalam perjalanan seorang hamba menuju Tuhannya. Ilmu adalah fondasi dan jalan, sementara makrifat adalah puncak dan tujuan.
Artikel ini akan mengupas secara sistematis definisi, kedudukan, perbedaan, dan relasi harmonis antara ilmu dan makrifat, dengan merujuk pada pandangan ulama klasik dan kontemporer.
Definisi Dasar: Membedah Makna
Untuk memahami relasi keduanya, kita harus terlebih dahulu memahami esensi masing-masing.
1. Ilmu (العلم): Fondasi Pengetahuan Lahiriah
Secara sederhana, ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu sesuai dengan hakikatnya. Ia diperoleh melalui berbagai medium:
- Pengamatan indrawi (empiris)
- Pemikiran akal (logika)
- Pembelajaran dan riwayat (transmisi pengetahuan)
- Wahyu Ilahi (sam’iyyat)
Imam al-Ghazali mendefinisikannya secara ringkas dan padat:
العِلْمُ هُوَ إِدْرَاكُ الشَّيْءِ عَلَى مَا هُوَ عَلَيْهِ
“Ilmu adalah memahami sesuatu sebagaimana adanya.”
Atau dalam bahasa Mbah Rifa’i:
العِلْمُ هُوَ إِدْرَاكُ الشَّيْءِ بِحَقِيْقَتِهِ
“Ilmu adalah memahami sesuatu sesuai dengan hakikatnya.”
Ilmu dalam konteks ini adalah pengetahuan yang bisa diukur, dijelaskan, dan diajarkan. Ia adalah fondasi syariat dan pemahaman rasional terhadap alam semesta serta ajaran agama.
2. Makrifat (المعرفة): Puncak Pengenalan Batiniah
Makrifat berasal dari akar kata ‘arafa (عرف) yang berarti “mengenal secara dekat dan intim”. Dalam terminologi tasawuf, makrifat adalah pengenalan langsung terhadap Allah yang lahir dari hati yang bersih (qalbun salīm), bukan sekadar kesimpulan logis.
Imam al-Qusyairi dalam Risalah-nya menyebutkan:
الْمَعْرِفَةُ نُورٌ يُقْذَفُ فِي الْقَلْبِ بَعْدَ الْفَنَاءِ عَنِ النَّفْسِ
“Makrifat adalah cahaya yang dilemparkan ke dalam hati setelah ego (nafsu) seseorang sirna.”
KH. Ahmad Rifa’i dari Kalisalak, dalam dua kitabnya Abyān al-Khawājiḥ dan Riāyat al-Himmah, mempertegas dimensi praktis makrifat sebagai dedalan maring Allah (jalan menuju Allah). Baginya, makrifat bukan sekadar pengetahuan pasif, melainkan sebuah metode dan tahapan aktif untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Kedudukan Makrifat: Puncak Tertinggi Ilmu
KH. Ahmad Rifa’i menempatkan makrifat pada posisi yang sangat mulia. Beliau menyatakan dalam gubahan nadham-nya:
Ora nana derajat luwih luhur tinimbang saking ilmu makrifat.
“Tidak ada derajat ilmu yang lebih mulia daripada ilmu makrifat.”
Mengapa demikian? Karena tujuan dan buah dari makrifat bersifat transformatif secara spiritual:
- Melahirkan ikhlas: Menjadikan ibadah murni untuk Allah.
- Menumbuhkan tawakal: Membuat hati bergantung sepenuhnya pada rahmat Allah (gegiyungan ing Allah rahmat).
- Membentengi diri: Memampukan seseorang untuk menghindar dari dunia yang buruk dan ringan dalam menjauhi maksiat.
Makrifat adalah “hasil kerja hati” (sabab hasil ati kuat makrifat). Namun, ini tidak menafikan peran akal. Sejalan dengan pendapat Imam Syafi’i, akal pun bersemayam di dalam hati. Hal ini diperkuat oleh firman Allah Swt.:
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami…” (QS. Al-Hajj: 46)
Ayat ini menunjukkan bahwa “hati” (qulūb) adalah organ untuk “memahami” (ya‘qilūn), mengisyaratkan bahwa puncak pemahaman (makrifat) terjadi ketika akal dan hati menyatu dalam fungsinya.
Perbedaan Mendasar: Tabel Perbandingan
Perbandingan | Ilmu | Makrifat |
Sumber | Akal, indera, kitab, guru | Hati, dzikir, penyucian jiwa, cahaya Ilahi |
Arah | Horizontal (alam, hukum, logika) | Vertikal (Tuhan, keagungan-Nya, rahasia batin) |
Objek | Hal-hal yang bisa dijelaskan & dilogikakan | Hal-hal yang hanya bisa dirasa & disaksikan oleh hati (dzauq) |
Metode | Belajar, diskusi, hafalan, logika | Mujahadah, dzikir, khalwat, fanā’ |
Hasil | Informasi, konsep, keteraturan berpikir | Cinta, keyakinan (yaqīn), ketenangan, rasa takut, kedekatan |
Keterbatasan | Bisa dimiliki tanpa iman atau amal | Tidak mungkin dicapai tanpa iman & penyucian hati |
Contoh | Mengetahui secara teori bahwa Allah itu Esa | Merasakan kehadiran-Nya di hati seolah melihat-Nya |
Relasi Harmonis: Ilmu sebagai Tangga Menuju Makrifat
Para ulama tidak pernah mempertentangkan keduanya. Sebaliknya, mereka menempatkan ilmu sebagai prasyarat dan tangga untuk mencapai makrifat. Mustahil seseorang mencapai makrifat yang benar tanpa dibimbing oleh ilmu syariat yang lurus.
Imam al-Ghazali memberikan perumpamaan yang indah:
الْعِلْمُ بِاللِّسَانِ حُجَّةُ اللهِ عَلَى خَلْقِهِ، وَالْعِلْمُ بِالْقَلْبِ هُوَ الْعِلْمُ النَّافِعُ
(Dalam redaksi lain, disebutkan: “Ilmu di lisan adalah hujjah bagimu, tapi ilmu di hati (makrifat) adalah hujjah atasmu.”)
Artinya, ilmu yang hanya di lisan (teori) bisa menjadi argumen pembelaan, tetapi makrifat yang meresap di hati menjadi pengetahuan yang menuntut pertanggungjawaban dan melahirkan amal sejati.
Hubungan ini juga dijelaskan oleh Sulṭānul Auliyā’, Syekh ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī:
الْعِلْمُ يُعْطَى، وَالْمَعْرِفَةُ تُوهَبُ
“Ilmu itu diberikan (melalui usaha belajar), sedangkan makrifat itu dianugerahkan (sebagai karunia).”
Pernyataan ini menegaskan bahwa ilmu adalah ranah usaha manusia (kasbī), sementara makrifat adalah anugerah Ilahi (wahbī) yang diberikan kepada hati yang telah mempersiapkan diri melalui jalan ilmu dan penyucian jiwa.
Ilustrasi Praktis dalam Ibadah
Bayangkan ibadah salat:
- Tingkat Ilmu: Anda tahu bahwa salat itu wajib, hafal rukunnya, mengerti syarat sah dan batalnya, serta bisa melafalkan bacaannya dengan benar. Ini adalah ilmu.
- Tingkat Makrifat: Ketika Anda takbir, Anda merasa benar-benar sedang menghadap Allah. Hati Anda hadir (ḥuḍūr), jiwa Anda khusyuk, dan Anda merasakan keagungan-Nya hingga terkadang air mata menetes karena cinta dan takut. Inilah makrifat.
Penutup: Menyatukan Akal dan Hati
Pada akhirnya, perjalanan seorang muslim adalah perjalanan menyatukan kedua sayap ini. Sebagaimana disimpulkan dengan sangat baik:
“Ilmu tanpa makrifat bisa kering dan sombong. Makrifat tanpa ilmu bisa sesat dan menyimpang.”
Maka, keduanya harus disatukan dalam sebuah harmoni yang indah:
- Ilmu membimbing jalan agar tidak tersesat dari rel syariat.
- Makrifat menghidupkan hati agar perjalanan itu tidak terasa hampa dan melelahkan.
Dengan memadukan keduanya, seorang hamba dapat berjalan menuju Allah dengan langkah yang mantap dan hati yang bercahaya, menjadi insan yang sebenar-benarnya mengenal, mencintai, dan beramal karena-Nya.
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra