Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
No Result
View All Result
Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
Home Kolom

Ma’rifat dan Fastabiqur Riya’

Ahmad Saifullah by Ahmad Saifullah
July 11, 2025
in Kolom
0
Ma’rifat dan Fastabiqur Riya’
0
SHARES
36
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Suatu hari, seorang ibu guru yang mengajar di TK menjelaskan tentang ukuran besar dan kecil. Ia memulai dengan pertanyaan sambil menunjukkan gambar gajah, “Anak-anak, ini binatang apa namanya?” Serentak mereka menjawab, “Gajah.” Dilanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, “Besar atau kecil?” Anak-anak polos itu menjawab, “Besar.” Kemudian ibu guru menunjukkan gambar kucing, dengan pertanyaan senada, membandingkan ukuran meong dengan gajah. Tentu saja anak-anak menjawab, “Kucing lebih kecil dibandingkan dengan gajah.”

Pelajaran tentang besar dan kecil berlanjut. Kali ini, ibu guru menunjukkan gambar rumah. Alur pertanyaannya sama seperti sebelumnya, tetapi perbandingan ukurannya adalah dengan gambar orang sebagai penghuni.

Dengan penjelasan tersebut, akhirnya anak-anak TK memiliki gambaran yang jelas bahwa rumah lebih besar dibandingkan manusia yang menghuninya. Ibu guru lalu bergeser dengan menunjukkan gambar masjid kepada anak-anak yang rata-rata berusia enam tahun.

“Pasti semuanya sudah tahu, ini apa?”
“Masjid, Bu…”
“Masjid tempat apa?”
“Tempat untuk salat.”
Di antara beberapa anak ada yang menjawab asal, “Tempat untuk bermain.” Jawaban itu disambut gelak tawa mereka.
“Masjid bukan arena permainan, tetapi tempat ibadah. Masjid juga dikenal sebagai rumah Allah.”

Tiba-tiba, salah satu anak mengajukan pertanyaan, “Masjid sama Allah, besar mana, Bu?”
Ibu guru tampak tercenung, berpikir, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan. Pertanyaan bocah itu sengaja tidak dijawab. Pelajaran pun dihentikan dan ditutup dengan doa bersama. Anak TK yang mengajukan pertanyaan tersebut pulang ke rumah dengan raut wajah murung, dan beberapa hari kemudian tidak mau berangkat sekolah. Saat ditanya ibunya, ia menjawab singkat, “Ibu guru tidak mau menjawab pertanyaanku.”
“Lha, kamu bertanya apa, Nak?”
Si anak hanya diam, manyun.

Akhirnya, sang ibu menanyakan langsung kepada ibu guru perihal penyebab ketidakhadiran anaknya. Ibu guru pun menceritakan kejadian beberapa hari sebelumnya.
“Saya memang bingung, Bu, menjawab pertanyaan itu. Saya takut salah. Nanti anak bisa salah pengertian, karena ini kaitannya dengan ukuran Allah.”

Ilustrasi tersebut, saya kira, bisa menggambarkan bagaimana manusia memahami dan mengetahui tentang makhluk dan Tuhannya. Pengetahuan tentang Tuhan, sesederhana apa pun, tidak bisa diremehkan, karena hal itu merupakan tahapan ma’rifat. Kita tentu maklum jika pemahaman anak-anak tentang Tuhan sebatas ukuran bentuk materi. Tidak bisa dimungkiri bahwa kadar ilmu pengetahuan ditentukan oleh umur, kemampuan akal, pengalaman hidup, dan keluasan wawasan. Ilmu pengetahuan akan terus berkembang jika seseorang terus belajar dan mempelajarinya. Demikian pula, ma’rifat kepada Allah akan berkembang seiring usaha manusia untuk terus mengenal Tuhannya—tentu atas perkenan-Nya.

Dalam kisah pencarian Tuhan yang dilakukan Nabi Ibrahim—sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 76–77—diceritakan bahwa Nabi Ibrahim sempat menyangka rembulan dan matahari sebagai Tuhan. Dalam proses pencarian tersebut, meskipun Ibrahim memiliki hipotesis bahwa benda-benda langit itu adalah Tuhan, kita tidak bisa menyebut bahwa beliau tersesat. Begitu juga anak TK tadi, karena belum dikatakan tersesat selama masih terus berproses.

Ibarat perjalanan menuju Surabaya. Ketika di perjalanan terjadi kemacetan, kita mengambil jalan alternatif. Dalam menyusuri jalan tersebut, bisa saja kita menemukan jalan buntu sebelum sampai di Surabaya. Apakah tepat jika kita langsung dikatakan tersesat, padahal kita masih mau berusaha bertanya dan melanjutkan perjalanan menuju tujuan akhir? Tentu saja tidak. Seseorang baru dapat dikatakan tersesat jika ia meyakini bahwa jalan buntu tersebut adalah Surabaya.

Menemui jalan buntu adalah risiko dalam perjalanan. Menganggap matahari sebagai Tuhan pun adalah hal yang wajar dalam proses pencarian. Itu menunjukkan bahwa segala sesuatu memerlukan tahapan, atau dalam istilah Mbah Rifa’i: tertib urut-urut. Tuhan merumuskan sunah-Nya dengan proses bertahap. Seperti kelapa, yang diawali dari bluluk, lalu menjadi cengkir, kemudian degan, dan akhirnya menjadi kelapa. Tidak bisa sak naliko (seketika).

Dalam proses pencarian kebenaran dan ma’rifat kepada Tuhannya, manusia tidak bisa dinilai tersesat selama kehidupannya belum berakhir. Maka, sebagaimana halnya orang yang sudah mengetahui arah jalan, ketika melihat orang lain tersesat atau menemukan jalan buntu, ia akan merasa tak tega jika tidak menghampiri untuk menunjukkan jalan yang benar.

Namun fenomena yang terjadi sekarang, seseorang berusaha mengingatkan orang lain ke jalan yang benar, tetapi bukan langsung kepada yang bersangkutan. Justru disampaikan melalui corong masjid—atau sekarang melalui media sosial.

Diumumkan, “Wahai orang yang tersesat, itu jalan buntu! Jangan lewat situ.”
Akibatnya bukan menyelesaikan masalah, melainkan menimbulkan kegaduhan. Warga yang mendengar pengumuman itu menjadi penasaran, “Siapa yang tersesat? Jangan-jangan saya yang tersesat, karena tinggal di jalan buntu?” Akhirnya, musafir itu malah lari terbirit-birit, melihat warga keluar dari rumah masing-masing. Entah karena malu atau apa, yang jelas, alih-alih mendapatkan informasi yang benar, ia malah pergi terburu-buru.

Di tengah zaman yang penuh fastabiqur riya’ ini, kita patut meneladani Kiai Nasikhun, seorang arif dari tanah Menjangan, Bojong, Pekalongan. Beliau selalu berusaha menasihati seseorang secara empat mata, justru agar tidak diketahui oleh orang lain.


Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra

Tags: kisah reflektifMakrifatpencarian Tuhan
Previous Post

Khutbah Jumat: Hakikat dan Adab Ziarah

Next Post

AMRI Ranting Baturejo Bergerak Cepat Bantu Korban Kebakaran di Sukolilo, Pati

Ahmad Saifullah

Ahmad Saifullah

Jurnalis Freelance

Next Post
AMRI Ranting Baturejo Bergerak Cepat Bantu Korban Kebakaran di Sukolilo, Pati

AMRI Ranting Baturejo Bergerak Cepat Bantu Korban Kebakaran di Sukolilo, Pati

  • Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rukun Islam Satu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rifa’iyah Seragamkan Jadwal Ziarah Makam Masyayikh di Jalur Pantura

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kembali ke Rumah: Ayo Mondok di Pesantren Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sejarah Rifa’iyah dan Organisasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Rifa'iyah

Menjaga Tradisi, Menyongsong Masa Depan

Kategori

  • Bahtsul Masail
  • Berita
  • Cerpen
  • Keislaman
  • Khutbah
  • Kolom
  • Nadhom
  • Nasional
  • Sejarah
  • Tokoh
  • Video

Sejarah

  • Rifa’iyah
  • AMRI
  • UMRI
  • LFR
  • Baranusa

Informasi

  • Redaksi
  • Hubungi Kami
  • Visi Misi
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 Rifaiyah.or.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen

© 2025 Rifaiyah.or.id