Bayangkan kita memiliki satu galon air dari sumber mata air yang jernih dan segar. Di hadapan kita tersedia berbagai jenis wadah penampung: ada botol parfum, botol bensin, ember, galon, hingga gentong. Masing-masing wadah memiliki bentuk, ukuran, dan daya tampung yang berbeda.
Tentu, kita tidak bisa menuangkan air dari galon tersebut dengan cara yang sama ke semua wadah. Jika kita menuang langsung ke botol parfum, bisa dipastikan air akan tumpah, mubazir, dan tidak efektif. Maka, kita perlu alat bantu yang sesuai. Untuk botol bensin, kita butuh corong. Untuk botol parfum, mungkin harus menggunakan alat suntik. Sementara untuk ember, cukup dituang begitu saja pun tak jadi soal.
Analogi ini mirip dengan dunia pendidikan. Kita sebagai guru membawa “air sumberan ilmu”, sementara para murid adalah wadah-wadah ilmu dengan bentuk dan kapasitas yang beragam. Lalu muncul pertanyaan penting: Bagaimana cara menuangkan ilmu agar tepat masuk ke dalam wadah murid yang berbeda-beda itu?
Mungkin inilah maksud dari sebuah ungkapan bijak dalam dunia pendidikan:
المادة مهمة ولكن الطريقة أهم من المادة
“Materi pembelajaran memang penting, tetapi cara menyampaikannya jauh lebih penting daripada materinya sendiri.”
Ya, cara menyampaikan—itulah yang kita kenal dengan metode pembelajaran.
Saya pernah mengalaminya sendiri. Dulu, saat belajar ilmu nahwu menggunakan kitab pedoman Alfiyah Ibnu Malik di sebuah madrasah swasta di Pekalongan, saya hampir tiga tahun belajar namun hanya memahami sedikit dari isinya. Beberapa bait nadzam masih saya hafal, tetapi pemahamannya nyaris kabur. Awalnya saya menyalahkan diri sendiri—mungkin karena malas, atau mungkin memang kemampuan saya terbatas, seperti botol PPO yang sempit.
Namun, setelah saya bertanya kepada teman-teman sekelas, ternyata mayoritas mengalami hal serupa. Hanya satu orang yang hafalan dan pemahamannya di atas rata-rata, tapi saat diminta membaca kitab gundul pun masih kesulitan.
Pengalaman saya berubah total ketika beberapa tahun lalu saya menyimak forum sosialisasi metode Amtsilati di Yogyakarta.
Saya takjub memperhatikan anak-anak usia 10 tahun mendemonstrasikan hafalan Alfiyah Ibnu Malik, mampu menjelaskan isinya, bahkan mengaplikasikannya untuk membaca kitab kuning.
Persepsi saya runtuh. Ternyata, apa yang selama ini saya anggap sulit dan hanya bisa dikuasai setelah jenjang Aliyah, bisa dipahami oleh anak-anak SD jika diajarkan dengan metode yang tepat.
Inilah pentingnya metode.
Bahkan Nabi Muhammad ﷺ sudah memberi isyarat dalam sabdanya:
بلّغوا عنّي ولو آية
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.”
Pesan ini menegaskan bahwa menyampaikan ilmu tidak harus menunggu lengkap dan sempurna; yang penting adalah bagaimana cara menyampaikannya dengan tepat dan menyentuh.
Metode pembelajaran sejatinya bukan hal baru. Para ulama terdahulu, termasuk KH. Ahmad Rifa’i, telah menggunakan metode syiiran dalam mengajarkan ilmu kepada umat. Mereka memahami bahwa syair memiliki kekuatan estetika yang menyentuh rasa. Kata sya’ara dalam bahasa Arab pun berarti merasa.
Ketika rasa sudah tersentuh, hati akan terbuka. Dan di situlah ilmu akan menancap.
العلم في الصدور لا في السطور
“Ilmu (yang sejati) tertanam di dada, bukan sekadar tertulis di lembaran kertas.”
Metode syiiran bukan sekadar hafalan. Ia menyenangkan, berima, dan mendalam. Bahkan dalam istilah modern disebut sebagai menghafal tanpa hafalan. Murid-murid hanya perlu mendendangkan syair itu berkali-kali. Tanpa terasa, hafalan tertanam dalam benak dan makna masuk ke dalam hati.
Lebih dari itu, metode ini sesungguhnya mengikuti cara Al-Qur’an sendiri. Kitab suci kita penuh dengan ayat-ayat yang puitis, berirama, dan menyentuh jiwa. Maka, tak heran jika syiiran menjadi media efektif untuk menanamkan nilai dan ilmu secara mendalam.
Penutup
Guru bukan hanya pemilik ilmu, tapi juga penyalur hikmah. Bukan hanya tahu banyak, tetapi harus bisa menyampaikan dengan cara yang menyentuh hati.
Metode yang tepat menjadikan pembelajaran bukan sekadar proses mengisi, melainkan proses menghidupkan.
Syiiran bukan sekadar tradisi, tetapi warisan metode yang telah terbukti efektif dalam menyampaikan ilmu kepada generasi demi generasi.
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra