KH Ahmad Rifa’i kini terbaring di sebuah makam tua penuh debu di sudut pemakaman Manado. Di tengah senja yang muram, tempat itu sunyi. Tak ada bunga, tak ada doa. Hanya suara angin dan bisik rindu yang tak pernah tersampaikan.
Seorang lelaki tua, Pak Prabowo, berdiri terpaku. Ia datang membawa setangkai melati, bukan sebagai keluarga, melainkan sebagai satu-satunya orang yang masih mengingat nama KH Ahmad Rifa’i yang tertera di nisan itu.
KH. Ahmad Rifa’i – Ulama. Pejuang. Yang Dilupakan.
Pak Prabowo mengelus batu itu, seperti mengelus luka lama yang tak pernah sembuh.
“Maaf, Kiai… Kami… lupa.”
Penangkapan dan Pengasingan
Tahun 1859, di desa kecil Kalisalak, Batang, Ahmad Rifa’i ditangkap oleh kolonial Belanda. Ia digiring seperti penjahat. Santri-santrinya menangis, tetapi tak mampu melawan. Belanda terlalu kuat, sedangkan ia terlalu tua.
Sebelum berangkat, ia mencium tanah. Lama. Sangat lama.
“Jika aku tak pulang,” katanya lirih, “biarlah ilmunya tetap tinggal di bumi ini.”
Nama yang Dihapus dari Sejarah
Pengasingan bukan sekadar hukuman, melainkan penghapusan. Ia dihilangkan dari sejarah. Namanya dikubur lebih dalam daripada jasadnya sendiri. Di Manado, ia hidup seperti bayangan. Setiap malam, ia menulis dengan tinta buatan sendiri—dari arang dan air mata. Ia mengajar anak-anak kecil membaca Al-Qur’an, meski dirinya terus diintai dan diawasi.
Tak ada lagi surat dari Jawa. Tak ada kiriman. Bahkan, tak ada doa yang dikirimkan.
“Apakah aku sudah benar-benar hilang…?” bisiknya di atas tikar daun kelapa, sendirian.
Dilupakan Generasi Penerus
Hampir dua abad kemudian, anak-anak sekolah menyebut nama pahlawan dalam lomba pidato: Diponegoro, Imam Bonjol, Sudirman.
Namun tak satu pun menyebut namanya.
Pak Prabowo, satu-satunya yang masih tahu kisahnya dari cerita turun-temurun, menunduk.
“Maafkan kami, Kiai… Negeri ini pandai memuja yang menang, tetapi cepat melupakan yang setia.”
Warisan yang Tak Pernah Mati
Ia menaruh bunga melati di atas nisan, lalu duduk bersila.
“Engkau mati dalam sepi, tetapi kata-katamu masih hidup. Kami hanya terlalu tuli untuk mendengarnya…”
Langit Manado mendadak gerimis. Entah hujan, entah tangisan.
Dan dari bawah tanah yang senyap, seolah terdengar suara lirih dari jiwa yang tenang:
“Aku tak butuh namaku ditulis di buku-buku sekolah. Cukup satu anak negeri ini menyebut namaku dalam doanya… Itu sudah cukup membuatku merasa pulang.”
Wallahu a‘lam.
Baca Juga: KH Ahmad Rifa’i: Ulama Pejuang dengan Pena
Penulis: Muhammad Nawa Syarif
Editor: Yusril Mahendra