Ada titik temu yang menarik antara pemikiran KH. Ahmad Rifa’i, ulama pejuang abad ke-19 dari Kalisalak, dan Gus Baha, ulama kontemporer yang luwes dalam menjembatani teks dan konteks kekinian. Keduanya menyuarakan hal yang sama: pernikahan bukan hanya ikatan lahiriah, tetapi juga panggilan moral dan spiritual.
Pernikahan, menurut KH. Ahmad Rifa’i dalam Tabyin al-Islah li Murid an-Nikah bi ash-Shawab, adalah proses sakral yang harus didasari ilmu dan kesadaran syar’i. Beliau menegaskan, “Tidak sah melakukan sesuatu yang tidak diketahui ilmunya.” Karena itu, dalam komunitas Rifa’iyah, mempelajari ilmu nikah menjadi syarat wajib sebelum menikah.
“Nikah iku ora mung sah syarat rukune, nanging kudu paham makna lan tanggung jawab moralé.” – Para pengikut KH. Ahmad Rifa’i
Sementara itu, Gus Baha menyampaikan pesan yang senada dengan bahasa ringan dan mengena. Dalam salah satu kajiannya, beliau menyindir fenomena mahar mewah:
“Wong Jawa saiki mahare Fortuner, kok iso-isone. Wong Nabi wae maharé unta loro sing didol kanggo beli perabotan.”
Keduanya mengajarkan bahwa kesederhanaan dalam pernikahan bukan sekadar anjuran sosial, tetapi bentuk ketaatan pada ajaran agama yang menolak kemubaziran dan pamer materi.
Pernikahan Sebagai Arena Ibadah dan Perlawanan Sosial
Bagi KH. Ahmad Rifa’i, pernikahan adalah bagian dari perjuangan moral melawan tatanan kolonial yang merusak sendi keluarga Muslim. Dalam Tabyin al-Islah, ia mengkritik para penghulu bentukan kolonial yang melonggarkan syarat sah nikah. Baginya, ilmu fikih harus menjadi penuntun utama, bukan sekadar formalitas ritual.
Gus Baha menambahkan dimensi kekinian:
“Rabi iku golek sing rumat. Sing nambahi iman lan nyengkuyung awakmu dadi luwih sholeh. Nek mung ngoyak tampang lan gaya, yo cilaka.”
Pesan ini selaras dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum: 21)
Pernikahan bukan hanya ritual atau status sosial, tetapi wadah tumbuhnya sakinah, mawaddah, dan rahmah—nilai yang dapat mengikis egoisme dan dominasi materialisme dalam keluarga.
Kesederhanaan, Ilmu, dan Takdir: Jalan Menuju Pernikahan Barokah
Gus Baha menertawakan kebiasaan masyarakat yang memaksakan mahar berlebihan:
“Mahar seperangkat alat salat iku wis cukup. Sing penting barokah. Nek mahar Fortuner, bar malah dipengini nek pegatan.”
Sementara itu, KH. Ahmad Rifa’i menegaskan bahwa mahar harus sesuai kemampuan dan tidak membebani. Beliau membedakan pernikahan berdasarkan syariat dengan pernikahan berdasarkan hawa nafsu.
Rasulullah SAW bersabda:
خَيْرُ النِّكَاحِ أَيْسَرُهُ
“Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah (ringan maharnya).” (HR. Abu Dawud)
Akhirnya, Menikah Bukanlah Tentang Dunia Saja
Keduanya, Gus Baha dan KH. Ahmad Rifa’i, meletakkan pondasi spiritual dalam membina rumah tangga. Bukan sekadar sah secara administratif, tapi mengakar dalam ilmu dan tanggung jawab akhirat.
KH. Ahmad Rifa’i mengajarkan bahwa pernikahan harus berlandaskan syariat, bukan sekadar formalitas adat. Gus Baha menegaskan bahwa pernikahan seharusnya membawa ketenangan, bukan beban. Dalam salah satu wejangannya, beliau berseloroh:
“Goblok bareng-bareng karo wong sholeh yo dadi Suargo. Pinter tapi sombong yo neraka.”
Maka dari itu, pernikahan bukan sekadar pencapaian sosial, tapi sebuah jalan sunyi menuju keberkahan dan ridha Allah. Jalan ini hanya bisa ditempuh oleh mereka yang membekali diri dengan ilmu, adab, dan iman.
Sebagaimana firman Allah:
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
“Berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 148)
Menikah, dalam cahaya ilmu KH. Ahmad Rifa’i dan keikhlasan ala Gus Baha, adalah salah satu lompatan besar menuju kebaikan itu.
Baca Juga: Makna Merdeka Menurut KH. Ahmad Rifa’i
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra