Pada masa penjajahan Belanda, bahasa dan huruf bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga instrumen kekuasaan. Kolonialisme tidak hanya merebut tanah dan sumber daya, tetapi juga berusaha menguasai pikiran rakyat melalui bahasa dan sistem pendidikan.
Belanda memperkenalkan huruf Latin sebagai standar administrasi dan pendidikan formal. Akses terhadap pendidikan ini sangat terbatas—hanya kalangan elit dan pegawai pemerintah yang diizinkan menikmatinya. Rakyat jelata, apalagi para santri di desa-desa, jarang sekali bersentuhan dengan huruf Latin. Dengan strategi ini, Belanda berharap rakyat tetap bergantung pada golongan elit yang mereka bentuk.
Pegon: Aksara yang Menolak Dijajah
Tulisan Arab Pegon—yakni penggunaan huruf Arab untuk menulis bahasa Jawa—telah digunakan sejak abad ke-15 oleh para ulama di Nusantara. Memasuki abad ke-18, KH. Ahmad Rifa’i muncul sebagai ulama yang paling produktif menulis menggunakan aksara Pegon. Pilihan ini bukan kebetulan, melainkan bagian dari strategi perlawanan terhadap penjajah.
Pegon di tangan KH. Ahmad Rifa’i memiliki tiga fungsi penting:
1. Mengabaikan Standar Kolonial
Dengan tetap menulis dalam Pegon, beliau menolak tunduk pada sistem tulis Latin yang menjadi simbol kekuasaan Belanda.
2. Mengamankan Pesan dari Sensor
Sebagian besar pejabat Belanda tidak memahami aksara Pegon. Hal ini membuat karya-karya KH. Ahmad Rifa’i, yang banyak berisi kritik terhadap penjajahan dan penindasan, relatif aman dari pengawasan langsung. Kolonial bahkan sampai menggunakan kiai serta pejabat yang pro-penguasa untuk membendung dakwah beliau.
3. Memperkuat Identitas Islam-Jawa
Aksara Pegon mengikat pembacanya pada tradisi pesantren dan nilai-nilai Islam, sekaligus menjauhkan mereka dari asimilasi budaya Barat yang diinginkan penjajah.
Tulisan sebagai Medan Perang
Belanda menyadari bahwa pendidikan dan huruf adalah kunci untuk mengendalikan masyarakat. KH. Ahmad Rifa’i juga memahami hal ini—tetapi beliau memilih jalan perlawanan. Jika Belanda menggunakan huruf Latin untuk membentuk birokrasi kolonial, KH. Ahmad Rifa’i menggunakan Pegon untuk membentuk kesadaran umat yang merdeka pikirannya.
Dalam konteks kolonial, Pegon bukan sekadar aksara, melainkan benteng peradaban—penjaga bahasa, agama, dan budaya agar tidak tunduk kepada penjajah. Melalui huruf ini, KH. Ahmad Rifa’i meninggalkan warisan yang bukan hanya bersifat literasi, tetapi juga menjadi simbol perlawanan dan kebangkitan bangsa.
Link foto: https://www.instagram.com/p/DLt1MDYzpup/?igsh=Nmc2czlyeDFsdDMx
Penulis: Muhammad Nawa Syarif
Editor: Ahmad Zahid Ali