Dalam Memoar Al-Maghfurlah KH. Ahmad Syadzirin tercatat sebuah peristiwa penting mengenai langkah awal perjuangan mendirikan gedung Kantor Pimpinan Pusat Rifa’iyah. Catatan tersebut bukan sekadar laporan keuangan atau daftar nama, melainkan cerminan ikhtiar besar, perwujudan cita-cita, serta kegigihan organisasi keagamaan dalam mengukuhkan eksistensinya.
Pada tahun 2005, di tengah dinamika sosial-politik pascareformasi, Pimpinan Pusat Rifa’iyah di Batang, Jawa Tengah, mengambil keputusan monumental: membeli sekaligus merenovasi gedung kantor pusat. Keputusan yang ditetapkan dalam Rapat Pimpinan tanggal 2 Rajab 1426 H/7 Agustus 2005 itu menjadi tonggak sejarah sekaligus jembatan menuju masa depan.
Batang: Titik Pusaran Sejarah dan Spiritual
Penetapan Batang sebagai lokasi Kantor Pimpinan Pusat Rifa’iyah bukanlah kebetulan. Ini adalah penghormatan atas perjuangan KH. Ahmad Rifa’i, ulama besar yang menginspirasi gerakan Rifa’iyah.
Pernah muncul usulan untuk mendirikan kantor pusat di bekas pesantren Kalisalak Limpung Batang, bahkan di kota besar seperti Semarang atau Jakarta. Namun, muktamar dan mukernas Rifa’iyah konsisten memilih Batang. Alasannya, mayoritas umat Rifa’iyah berada di Jawa Tengah, sehingga Batang dianggap strategis untuk memudahkan koordinasi organisasi, kegiatan keagamaan, dan sosial kemasyarakatan.
Pemilihan Batang juga terkait konteks regional Jawa Tengah yang kaya tradisi pesantren dan pergerakan keagamaan. Dengan menempatkan pusat di Batang, Rifa’iyah menegaskan identitasnya sekaligus menjaga kedekatan dengan akar historis dan basis jamaah.
Transformasi Fisik, Kekuatan Spiritual
Gedung yang dibeli merupakan bekas Kantor KOPTI Kabupaten Batang dengan luas 512 m² di Jalan Dr. Wahidin. Kondisinya rusak dan membutuhkan renovasi total. Rencana renovasi mencakup ruang Ketua Umum, Pimpinan, Sekretariat, Tamu, Pertemuan, Mushala, Kamar Penjaga, dan kamar kecil. Biaya renovasi diperkirakan Rp277.200.000,- ditambah PPN 10% sehingga menjadi Rp304.920.000,-. Jika ditambah biaya pembelian gedung, konversi hak, mutasi, serta pengadaan mebel, total kebutuhan dana mencapai Rp549.220.000,-, angka yang tergolong besar untuk tahun 2005.
Di balik rincian angka tersebut, tersimpan semangat luar biasa. Dalam dokumen disebutkan, “kesulitan berikutnya adalah ketika menerima kunjungan tamu-tamu dari pejabat pusat atau daerah, terpaksa ditempatkan di rumah seorang kiai atau di lobi hotel.” Bahkan tamu akademisi dari Jepang, Yumi Sugahara Ph.D. dari Tenri University, yang meneliti KH. Ahmad Rifa’i, juga dialamatkan ke rumah pengurus. Hal ini menunjukkan betapa mendesaknya kebutuhan kantor representatif, bukan hanya sebagai pusat administrasi, tetapi juga sebagai pusat intelektual dan titik temu berbagai pihak.
Konteks Nasional: Swadaya di Era Reformasi
Tahun 2005 merupakan periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), saat konsolidasi demokrasi dan pemberdayaan masyarakat sipil tengah berlangsung. Dalam semangat itu, organisasi keagamaan seperti Rifa’iyah berperan penting menjaga kohesi sosial.
Sumber pendanaan pembangunan gedung berasal dari infaq aghniya (100 orang × Rp1.000.000,-), simpatisan (100 orang × Rp500.000,-), infaq warga Rifa’iyah, dan usaha lain yang sah serta tidak mengikat. Model swadaya ini mencerminkan kepercayaan umat terhadap organisasinya.
Momentum semakin kuat ketika pada 10 November 2004, Presiden SBY menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada KH. Ahmad Rifa’i. Pengakuan ini bukan hanya kebanggaan Rifa’iyah, tetapi juga legitimasi negara atas kontribusi besar KH. Ahmad Rifa’i bagi bangsa.
Masa Depan yang Terukir
Rifa’iyah, yang berdiri tahun 1965 melalui Yayasan Pendidikan Islam Rifa’iyah, terus berkembang dari waktu ke waktu. Dari Seminar Nasional di Yogyakarta tahun 1990, lahirnya organisasi Rifa’iyah di Cirebon tahun 1991, hingga akhirnya perjuangan memiliki kantor pusat pada 2005.
Sebelumnya, aktivitas organisasi sering dilakukan di masjid, mushala, rumah penduduk, bahkan restoran. Hal ini menghambat administrasi, terutama dalam penyimpanan arsip. Karena itu, pembelian dan renovasi kantor merupakan investasi besar untuk masa depan organisasi, efisiensi kerja, dan pelayanan umat.
Para Pionir di Balik Layar
Dokumen juga mencatat nama-nama tokoh yang menjadi pionir pembangunan kantor ini, antara lain:
- KH. Ali Munawir Ridwan
- KH. Ahmad Syadzirin Amin (Penasehat)
- H. Ali Nahri
- H. Zahroni (Ketua)
- Abdullah Hamzah (Sekretaris)
- H. Abdul Kholiq
- Muhdlor Albadar (Bendahara)
Mereka bersama anggota dari berbagai daerah seperti Pekalongan, Batang, Pati, Wonosobo, Semarang, hingga Jakarta, dengan penuh dedikasi mengemban amanah umat. Mohon maaf tidak bisa saya cantumkan namanya satu persatu. Insya Allah untuk perjuangan kepanitiaan tahap berikutnya akan ditulis pada tulisan berikutnya, Mereka adalah para tokoh yang dengan penuh dedikasi mengemban amanah ini, mewujudkan mimpi kolektif umat Rifa’iyah.
Penutup
Kisah perjuangan mendirikan kantor Pimpinan Pusat Rifa’iyah adalah pelajaran tentang visi, kegigihan, dan kekuatan swadaya. Dengan semangat kebersamaan, Rifa’iyah berhasil mewujudkan mimpi kolektif, mengukir sejarah, dan memberi kontribusi nyata bagi bangsa.
Kini, kantor yang berdiri kokoh di Jalan Dr. Sutomo, Watesalit Tengah, Batang, menjadi monumen bisu perjuangan. Pertanyaannya, bagaimana kita sebagai penerus mensyukuri dan melanjutkan perjuangan ini? Dengan konsistensi apa kita harus berjalan? Sudahkah kita melangkah, atau masih terdiam tanpa arah?
Tulisan ini merupakan tulisan pertama yang tentu masih terbatas pada perjuangan awal mewujudkan tanah Gedung.
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra