Rifaiyah.or.id – Dalam kehidupan beragama, ada bahaya yang halus namun mematikan, yaitu “Upas Rubung”. Kata upas berarti racun, sementara rubung berarti dikerumuni atau dielu-elukan banyak orang. Maka upas rubung adalah racun hati berupa pujian, popularitas, dan kerumunan orang yang mengagungkan seseorang sebelum ia benar-benar matang dalam ilmu dan ketakwaan.
KH Ahmad Rifa’i dalam Kitab Thoriqoh mengingatkan bahaya ini dengan tegas:
“Iku ngalim fasiq ngilmune meksih tanggung
Keno upas rubung atine soyo bingung
Ora weruh ing harome wong tetulung
Memuruk ngajak ngibadah dosane agung
Teqsir ngalim fasiq dhoif imane
Lubo amrih rubung dene akeh santrine
Iku sangsoyo wuwuh gede dosane
Ati peteng ora weruh ing alane sarirane
Keno upas rubung gede dosa bilahi”
KH Ahmad Rifa’i menyoroti sosok yang disebut alim fasiq—orang yang tampak alim tetapi sesungguhnya imannya lemah dan ilmunya tanggung. Mereka haus pengikut, ingin dipuji, dan bangga bila dikerumuni banyak santri. Padahal kapasitas keilmuan dan akhlaknya belum layak menjadi teladan. Inilah racun hati yang samar, bahkan sering tidak disadari oleh pelakunya maupun para pengikutnya.
Bahaya Upas Rubung
Fenomena ini sangat relevan dengan kondisi zaman kita: banyak orang yang awam tampil menjadi ustadz, penceramah, atau influencer agama. Dengan modal popularitas, mereka dielu-elukan, padahal belum matang dalam ilmu. Akibatnya, ajaran agama bisa dipelintir, aqidah pengikutnya terancam, dan muncul kerusakan akhlak.
KH Ahmad Rifa’i bahkan mengutip peringatan Syaikh Asy-Syarqawi dalam syarah Hikam:
إِقْبَالُ النَّاسِ عَلَى الْمُرِيْدِ قَبْلَ كَمَالِهِ سُمٌّ قَاتِلٌ
“Utawi adepe menuso ngerubung kinaweruhan
Atas wongkang karep ing Allah pengeran
Sadurunge sampurno sarirane kacukupan
Iku dadi upas rubung kang mateni kebatinan
Kang tumibo ingdalem atine wongkang tanggung”
Artinya: “Penerimaan manusia terhadap seorang murid (sebagai guru) sebelum kesempurnaannya bagaikan racun yang mematikan batin.”
Kalau orang-orang cepat memuji dan mengikuti seseorang yang masih berada pada level murid, sebelum ia matang dalam ilmu dan akhlak, maka itu sama saja dengan menelannya racun yang mematikan—baik bagi dirinya maupun bagi yang mengikutinya. Racunnya tidak selalu tampak secara lahir, tetapi mematikan batin: merusak keikhlasan, menumbuhkan kesombongan, dan menjerumuskan pengikut ke dalam jalan yang salah.
Mengapa Disebut Racun Hati?
Upas rubung disebut racun hati karena:
-
Membutakan nurani. Orang yang haus pujian akan sulit melihat kesalahan dirinya.
-
Membesarkan ego. Popularitas menumbuhkan kesombongan dan rasa cukup dengan ilmu yang sedikit.
-
Menyesatkan pengikut. Orang awam yang tidak tahu kapasitas guru bisa ikut terseret dalam kesalahan.
-
Menghancurkan iman. KH Ahmad Rifa’i menyebut “ati peteng ora weruh ing alane sarirane”—hati menjadi gelap, tidak sadar pada keburukan dirinya.
Solusi: Tobat dan Kesadaran Ilmiah
KH Ahmad Rifa’i menutup peringatannya dengan nasihat:
“Moko tentu tobat diwehi mirso
Ing luwih mandine upase dosa.”
Artinya: hanya dengan taubat yang tulus racun hati ini bisa dimurnikan. Selain itu, ada dua sikap penting:
-
Bagi guru atau ustadz: harus terus belajar, meningkatkan kapasitas, dan penuh kesadaran ilmiah sebelum tampil membimbing umat.
-
Bagi awam atau murid: harus selektif memilih guru. Jangan hanya melihat popularitas, tetapi lihat kapasitas ilmu, akhlak, dan sanad keilmuan.
Penutup
“Upas rubung” adalah bahaya laten yang harus diwaspadai. Ia bisa menghinggapi siapa saja, terutama orang yang haus pujian dan pengikut. Popularitas bukan ukuran kebenaran, kerumunan bukan jaminan keselamatan.
KH Ahmad Rifa’i dalam Kitab Thoriqoh sudah jauh-jauh hari mengingatkan agar kita berhati-hati: jangan sampai kerumunan yang memuji menjadi racun yang mematikan hati. Karena sejatinya, keselamatan bukan pada pujian manusia, tetapi pada keridhaan Allah.
Penulis: Ahmad Zahid Ali
Editor: Ahmad Zahid Ali