Angin malam berdesir, membawa aroma melati dan dupa yang menusuk hidung, pertanda Maulid Nabi segera tiba di kampung dalam Sluku Batok. Kampung itu dikelilingi sungai besar dan kebun luas. Nadi manusianya selalu berdenyut dengan gema pengajian.
Di sana, kiai adalah bintang utara, dan jamaah adalah lautan yang mengikutinya. Tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, semangat Partelo berkobar. Empat anaknya berjingkat-jingkat riang, membayangkan besek mewah yang konon sudah disiapkan panitia. Partelo, guru ngaji mushola kecil di ujung kampung, Fa Ihsan, membiarkan senyum merekah di bibir pucatnya.
“Abi, nanti kita dapat apa?” suara si bungsu, Muhammad Pinuji, melengking, menarik-narik ujung sarung Partelo yang sudah pudar warnanya.
“Rahasia Allah,” Partelo mengelus ubun kepala Pinuji, “yang penting niat kita, Nak.”
Istri Partelo, Bening Himmah, menatap suaminya dengan sorot mata maklum. Ia tahu, Maulid bukan sekadar perayaan bagi Partelo, melainkan puncak dari segala harapan tentang syafaat Baginda Nabi. Juga bukan sekadar materi, melainkan kebahagiaan sederhana yang bisa ia berikan kepada anak-anaknya. Ia tahu, suaminya tidak pernah mengharap lebih, hanya selembar senyum di wajah polos anak-anaknya.
Malam Maulid tiba. Ribuan obor menyala di sepanjang jalan setapak, menerangi wajah-wajah yang bersemangat. Aroma wewangian kemenyan memenuhi udara.
Partelo berjalan di antara kerumunan, menggandeng keempat anaknya. Mereka menempati barisan depan, dekat mimbar, tempat Mbah Binahu, sesepuh kampung, akan memberikan tausiyah.
Di sisi lain, Jelunat, dengan jubah bersih dan sorban rapi, mengamati Partelo dari kejauhan. Matanya menyipit, bibirnya tipis, selalu siap mengoreksi.
“Lihat itu si Partelo,” Jelunat berbisik kepada seorang jamaah di sebelahnya, suaranya menusuk, “paling depan. Niatnya apa coba? Mau dapat besek paling bagus, ya?”
Partelo tidak mendengar, tapi perasaannya menangkap gelombang energi negatif. Ia menoleh, pandangannya bertemu dengan Jelunat. Partelo hanya tersenyum tipis, mengangguk hormat. Jelunat memalingkan wajah, mendengus.
Acara dimulai dengan lantunan ayat suci, disusul salawat yang menggema. Hati Partelo bergetar. Ia membayangkan Rasulullah, sosok agung yang membawa risalah kebenaran. Ia merenungkan betapa besar karunia ini. Andaikan tidak lahir beliau, mungkinkah kita ada?
Setelah salawat, Mbah Binahu naik mimbar. Wajahnya teduh, suaranya serak tapi berwibawa. “Saudara-saudaraku sekalian,” ia memulai, “malam ini kita berkumpul, merayakan kelahiran panutan kita. Bukan hanya sebatas seremonial, tapi mengambil hikmah, meneladani akhlak mulia beliau.”
Tausiyah Mbah Binahu mengalir seperti air jernih, menyejukkan hati. Ia berbicara tentang kesederhanaan, keikhlasan, dan pentingnya menyeimbangkan urusan dunia dan akhirat. Partelo mengangguk-angguk, sesekali tersenyum.
Saat jeda, Jelunat tidak membuang waktu. Ia menghampiri Partelo, dengan langkah mantap, wajahnya penuh keyakinan.
“Assalamu’alaikum, Ustaz,” Jelunat memulai, suaranya dibuat-buat ramah, tapi ada nada menghakimi yang terselip.
“Wa’alaikumussalam, Pak Jelunat,” Partelo membalas, senyumnya tulus.
“Rajin sekali Bapak ini, selalu di barisan depan tiap Maulid,” Jelunat menyeringai, matanya menyapu ke arah anak-anak Partelo yang antusias. “Pasti semangatnya luar biasa, ya?”
Partelo mengangguk. “Alhamdulillah, ini kan momen istimewa. Mengingat kembali perjuangan Rasulullah.”
“Ah, perjuangan Rasulullah,” Jelunat memotong cepat, “atau perjuangan mengejar besek, Pak? Jujur saja. Kita semua tahu, panitia menyiapkan besek mewah tahun ini. Jauh-jauh datang, berdesak-desakan, pasti ada tujuannya, kan?”
Partelo menatap Jelunat, sorot matanya tetap tenang. “Pak Jelunat, saya datang ke sini karena cinta saya kepada Nabi.”
“Cinta?” Jelunat tertawa kecil, sumbang. “Cinta itu tidak perlu embel-embel besek, Pak. Itu sudah namanya hubbudunya. Mencintai dunia. Mencari berkat duniawi dari acara keagamaan. Nanti malah jadi syirik kecil lho, Pak. Hati-hati.”
Beberapa jamaah di sekitar mereka mulai menoleh, tertarik dengan percakapan yang mulai memanas. Partelo tidak gentar.
“Pak Jelunat,” Partelo membuka suara, nadanya lembut namun tegas, “panitia menyiapkan besek itu sebagai bentuk syukur, bentuk silaturahmi. Apakah salah jika kita menerimanya?”
“Salah jika itu yang jadi motivasi utama, Pak!” Jelunat mengangkat dagunya. “Kita ini harus ikhlas. Murni karena Allah dan Rasul-Nya. Jangan dicampur aduk dengan urusan perut. Ini pengajian, Pak, bukan pasar.”
“Lalu menurut Pak Jelunat, saya harus menolak rezeki yang datang?” Partelo balik bertanya, senyumnya masih belum pudar. “Saya punya empat anak, Pak. Mereka butuh makan, butuh gizi. Jika ada rezeki halal yang datang dari acara kebaikan seperti ini, apakah itu dosa?”
Jelunat terdiam sejenak, mencari celah. “Tapi niat itu, Pak. Niat. Kalau niatnya sudah melenceng…”
“Niat saya, Pak Jelunat,” Partelo menyela, suaranya kini sedikit lebih dalam, “adalah doa sapujagad. Rabbana atina fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah waqina adzabannar. Bukankah begitu yang diajarkan Nabi?”
Jelunat mengernyitkan dahi. “Ya, itu doa yang bagus. Tapi konteksnya…”
“Konteksnya jelas, Pak,” Partelo melanjutkan, tatapannya lurus ke mata Jelunat. “Kita meminta kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Kebaikan dunia itu apa? Kesehatan, rezeki yang berkah, keluarga yang bahagia, termasuk kebahagiaan anak-anak saya ini. Kebaikan akhirat itu surga, bertemu dengan Allah. Mana yang boleh kita tinggalkan?”
“Tapi fokus kita harus akhirat, Pak!” Jelunat bersikeras, suaranya meninggi. “Dunia ini fana. Jangan sampai kita melalaikan akhirat karena dunia!”
“Betul, dunia fana,” Partelo mengangguk. “Tapi bukankah Allah sendiri berfirman dalam Al-Qur’an, wala tansa nashibaka minaddunya? Jangan lupakan bagianmu di dunia. Allah sendiri yang bilang, Pak. Kenapa kita harus melupakan dunia?”
“Bukankah Mbah Rifai juga weling kepada kita banyak urusan dunia berpotensi akhirat, dan sebaliknya urusan akhirat berpotensi dunia. Selalu ada area abu-abu, Pak, apakah itu dunia atau akhirat? Dunia tidak hanya hitam putih.”
Jelunat terkesiap. Wajahnya sedikit memerah. Ia tidak menyangka Partelo akan menggunakan dalil sekuat itu.
“Jadi, Pak Jelunat,” Partelo melanjutkan, “saya datang ke sini dengan niat tulus mencintai Rasulullah, berharap berkah dari Allah. Jika Allah memberikan kebaikan dunia berupa besek untuk anak-anak saya, itu adalah bagian dari doa sapujagad saya. Itu rezeki dari Allah. Apakah saya harus menolaknya, lalu membuat anak-anak saya murung di malam yang seharusnya penuh sukacita ini? Sukacita anak-anak saya ini juga merupakan berkah kelahiran Nabi, kenapa harus dikoreksi. Dalamnya hati siapa yang tahu? Kenapa harus mengulik kegaiban hati yang tak berkesudahan?”
Jelunat kehilangan kata-kata. Ia mencoba mencari bantahan, tapi dalil Partelo terlalu kuat. Ia hanya bisa mendengus, membuang muka.
Di tengah keheningan canggung itu, Mbah Binahu turun dari mimbar. Ia berjalan pelan, tongkatnya mengetuk lantai. Ia sudah mendengar sebagian percakapan mereka.
“Ada apa ini, ribut-ribut di malam yang penuh berkah?” Mbah Binahu tersenyum, matanya meneduhkan.
Jelunat segera maju. “Mbah, ini si Partelo ini. Niatnya datang ke Maulid kok seperti mencari besek. Saya sudah ingatkan tentang hubbudunya.”
Mbah Binahu menatap Jelunat, lalu beralih ke Partelo. “Partelo, bagaimana menurutmu?”
Partelo tersenyum. “Saya hanya mencoba menyeimbangkan, Mbah. Dunia dan akhirat. Seperti doa sapujagad.”
Mbah Binahu mengangguk-angguk. “Betul sekali, Partelo. Agama itu tidak memisahkan dunia dan akhirat. Keduanya saling melengkapi. Rasulullah sendiri adalah contoh terbaik. Beliau berjuang untuk akhirat, tapi juga tidak melupakan urusan dunia. Beliau berdagang, berkeluarga, memimpin masyarakat. Itu semua urusan dunia, bukan?”
Jelunat menunduk, tidak berani menatap Mbah Binahu.
“Dan tentang niat,” Mbah Binahu melanjutkan, suaranya kini lebih tegas, “siapa yang bisa menilai niat seseorang? Hanya Allah yang tahu isi hati. Tugas kita adalah berprasangka baik, bukan mencari-cari kesalahan. Jika seseorang datang ke majelis ilmu, dengan niat apa pun, itu adalah langkah kebaikan. Biarkan Allah yang menghisab niatnya.”
Mbah Binahu menatap Jelunat. “Jelunat, niatmu mengingatkan saudaramu itu baik. Tapi caramu, itu yang perlu diperbaiki. Jangan sampai niat baikmu malah menyakiti hati orang lain, membuat mereka menjauh dari kebaikan. Kita ini semua murid, Jelunat. Murid Allah. Yang berhak memberi rapor hanya Allah.”
Jelunat hanya bisa terdiam, wajahnya pias.
Ibu Umriyah, salah satu panitia yang sedari tadi menyaksikan, menghampiri mereka. Ia tersenyum ramah. “Sudah-sudah. Malam ini malam kebahagiaan. Partelo, anak-anakmu pasti sudah tidak sabar. Ini, besek untukmu dan keluargamu.”
Ia menyerahkan dua besek bambu yang terbungkus kain batik. Aroma nasi kebuli dan ayam goreng menyeruak. Mata anak-anak Partelo berbinar. Si bungsu melonjak girang.
“Terima kasih banyak, Bu Umriyah,” Partelo menerima besek itu dengan senyum lebar. “Semoga Allah membalas kebaikan panitia.”
“Sama-sama, Pak Partelo,” Ibu Umriyah tersenyum. “Kami panitia justru senang. Ini bentuk syukur kami, meskipun desa kita terpencil, banyak yang mau hadir. Besek ini memang sengaja kami buat istimewa, agar semua merasa senang.”
Partelo menggendong Pinuji, tangannya yang lain membawa besek. Ia mengangguk kepada Mbah Binahu. “Maturnuwun, Mbah.”
“Sami-sami, Ustadz,” Mbah Binahu menepuk pundak Partelo. “Teruslah istiqamah. Jangan hiraukan omongan orang. Yang penting niatmu lurus kepada Allah.”
Partelo berjalan meninggalkan kerumunan, anak-anaknya mengelilinginya, berebut ingin mencium aroma masakan dari besek. Tawa Pinuji pecah, renyah seperti kerupuk. Partelo tersenyum, hatinya lapang. Ia tidak hanya mendapatkan besek untuk keluarganya, tapi juga pelajaran berharga tentang bagaimana menghadapi orang-orang seperti Jelunat.
Jelunat masih berdiri di tempatnya, menunduk. Kata-kata Mbah Binahu menusuk relung hatinya. Ia melihat Partelo dan anak-anaknya menjauh, tawa riang mereka terdengar samar. Mungkin, ia memang terlalu cepat menilai. Mungkin, keikhlasan itu bukan hanya soal tidak mengharap dunia, tapi juga bagaimana menyikapi dunia yang Allah berikan.
Yang lebih penting lagi, kita sesama manusia di dunia ini layaknya para murid yang tak pantas mbiji, saling merapoti satu sama lain. Hanya Tuhan yang punya hak prerogatif itu. Jangan kita rampas! Karena kebanyakan manusia hanya sebatas tahu permukaan, tidak tahu kedalaman.
Malam itu, di tengah gema salawat dan aroma melati, Jelunat mulai merenung, menyadari bahwa kebenaran tunggal yang selama ini ia pegang, mungkin tidak seutuhnya benar. Ia, seperti Partelo, seperti semua orang, masih seorang murid yang jatuh bangun dalam kebaikan dan keburukan, dalam kesalahan dan kebenaran.
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra