Sejarah mencatat sebuah peristiwa penting bagi warga Rifa’iyah. Pada 30 April 2018, melalui Grosse / Salinan Resmi Akta Nomor 15, ahli waris Al-Maghfurlah KH Ahmad Rifa’i menyerahkan seluruh aset hak kekayaan intelektual (Intellectual Property Rights) kepada Pimpinan Pusat Rifa’iyah. Peristiwa ini bukanlah simbol belaka, melainkan legitimasi hukum bahwa seluruh karya tulis dan peninggalan KH Ahmad Rifa’i kini berada dalam naungan resmi organisasi Rifa’iyah.
Isi Penyerahan Aset
Dalam akta tersebut, disebutkan bahwa seluruh warisan KH Ahmad Rifa’i diserahkan kepada PP Rifa’iyah, antara lain:
- Hak cipta karya tulis
Seluruh kitab Tarajumah, berjumlah sekitar 65 kitab, baik yang sudah ditemukan maupun yang belum ditemukan.
Hak cipta mencakup naskah di tanah air maupun yang berada di Belanda. - Benda peninggalan
- Mud/kati (alat takar).
- Jam.
- Pandom (alat penunjuk arah kiblat).
- Kaligrafi dan benda pribadi lainnya.
- Aset tanah
Tanah bekas pesantren di Desa Kalisalak, Limpung, Batang, sebagai pusat awal perjuangan KH Ahmad Rifa’i. - Pemeliharaan makam
Perawatan makam KH Ahmad Rifa’i di kompleks makam pahlawan Kiai Modjo, Kampung Jawa Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara.
Catatan Akademik: 33 Kitab di Leiden
Menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam bukunya Protest Movement in Rural Java (dikutip KH Ahmad Syadzirin Amin, 1996), 33 kitab KH Ahmad Rifa’i masih tersimpan di Universitas Leiden, Belanda. Fakta ini menegaskan bahwa khazanah Tarajumah belum sepenuhnya kembali ke tanah air.
Inilah peluang strategis bagi Rifa’iyah: mengajukan repatriasi kitab-kitab KH Ahmad Rifa’i dari Belanda agar menjadi bagian utuh dari warisan bangsa Indonesia.
Momentum Nasional: Repatriasi Artefak
Kesempatan itu semakin terbuka dengan kebijakan Presiden RI Prabowo Subianto yang akan membawa pulang 30 ribu artefak, fosil, dan dokumen Indonesia dari Belanda (Kompas, 26/09/2024). Momentum besar ini harus dimanfaatkan Rifa’iyah untuk memasukkan kitab-kitab KH Ahmad Rifa’i ke dalam agenda repatriasi.
Jika berhasil, ini bukan hanya kemenangan organisasi, tetapi juga kebanggaan bangsa: mengembalikan warisan ulama pejuang sekaligus Pahlawan Nasional ke pangkuan tanah air.
Opsi Penyimpanan: Museum Rifa’iyah atau Museum Nasional
Saat ini Museum Rifa’iyah sudah berdiri di kompleks bekas pesantren KH Ahmad Rifa’i di Kalisalak, Batang. Tempat ini menjadi opsi utama dan paling tepat untuk menyimpan kitab-kitab beliau. Namun agar layak dan aman bagi naskah kuno, diperlukan peningkatan standar penyimpanan: pengendalian suhu dan kelembapan, pencahayaan rendah UV, penggunaan boks arsip bebas asam, serta digitalisasi agar isi kitab tetap dapat diakses tanpa merusak fisik naskah.
Jika dalam jangka pendek museum belum siap, maka opsi kedua adalah menitipkan sementara koleksi di Museum Nasional Indonesia. Dengan sistem pengelolaan profesional, naskah akan terjaga keasliannya sambil menunggu kesiapan Museum Rifa’iyah untuk menjadi pusat konservasi Tarajumah.

Penutup: Dari Warisan Menuju Peradaban
Penyerahan hak kekayaan intelektual pada 2018 adalah fondasi hukum. Fakta keberadaan kitab di Leiden adalah panggilan sejarah. Momentum repatriasi artefak dari Belanda adalah peluang emas.
Kini, tinggal bagaimana Rifa’iyah mengelola peluang itu. Warisan KH Ahmad Rifa’i bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk diberdayakan. Agar kitab-kitab Tarajumah, tanah pesantren, hingga peninggalan pribadi beliau tidak sekadar tersimpan sebagai benda sejarah, tetapi menjadi bahan bakar peradaban Islam Nusantara di masa depan.
Penulis: Ahmad Zahid Ali
Editor: Yusril Mahendra


