Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari, hutang-piutang dan gadai merupakan bagian tak terpisahkan dari kebutuhan manusia. Islam tidak melarang keduanya, justru memberi panduan rinci agar transaksi tersebut terjaga dari kezaliman dan riba.
KH Ahmad Rifa’i, seorang ulama besar dalam tradisi fiqih Nusantara, menegaskan dalam Kitab Tasyrihatal Muhtaj bahwa setiap hutang yang disertai syarat menarik manfaat bagi orang yang menghutangkan hukumnya fasid (rusak), karena termasuk dalam kategori riba al-qardh — riba yang timbul dari pinjaman uang atau barang.
Rasulullah ﷺ bersabda:
كل قرض جر نفعًا فهو ربا
“Setiap pinjaman yang menarik manfaat (bagi pemberi pinjaman) adalah riba.”
Hadis ini menjadi landasan utama bahwa akad hutang harus bebas dari unsur keuntungan sepihak.

Hutang dengan Nazar: Kebaikan, Bukan Riba
Terkadang seseorang yang berhutang merasa ingin menepati janjinya dengan cara istimewa — misalnya, ia bernazar untuk menambah jumlah pelunasan sebagai bentuk rasa syukur atau niat baik. Dalam pandangan fiqih, hal ini tidak termasuk riba, karena nazar tersebut terjadi setelah akad hutang sah berlangsung.
Tambahan semacam ini justru tergolong ihsan (kebaikan) dan wafa’ bil wa’d (menepati janji), bukan transaksi yang merusak akad. Namun, jika nazar atau tambahan itu disepakati sejak awal dalam akad hutang, maka hukumnya berubah menjadi riba, karena tambahan tersebut telah menjadi bagian dari syarat yang menguntungkan pihak pemberi hutang.
Perbedaan waktu inilah yang menjadi pembeda antara kebaikan dan keharaman — antara pahala dan dosa.

Gadai dan Pemanfaatannya
Dalam praktik gadai (rahn), Islam juga menegaskan prinsip keadilan dan kejujuran. KH Ahmad Rifa’i menjelaskan bahwa penerima barang gadaian diperbolehkan meminjam atau menggunakan barang gadaian jika terdapat kemaslahatan dan tidak mengandung unsur keuntungan pribadi.
Hal ini tidak dihukumi sebagai riba, sebab penggunaan tersebut dilakukan bukan untuk mencari manfaat materi, melainkan menjaga atau memelihara barang agar tidak rusak.
Rahn dalam Islam bukanlah jalan untuk menekan orang yang berhutang, tetapi sarana saling percaya antara dua pihak agar hak masing-masing tetap aman.

Pasal tentang Mahjūr (Orang yang Dihijr dalam Pengelolaan Harta)
Dalam Tasyrihatal Muhtaj, KH Ahmad Rifa’i menyebutkan delapan golongan orang yang di-hijr atau dicegah dari mentasarufkan (mengelola) harta bendanya, karena berbagai sebab yang berkaitan dengan akal, usia, atau kejujuran dalam mengelola amanah.
Kedelapan golongan tersebut adalah:
- Anak kecil yang belum balig.
- Orang gila.
- Orang safih — yaitu yang gemar menyia-nyiakan harta atau bermaksiat.
- Orang muflis — yang hartanya tidak cukup untuk membayar hutang.
- Orang sakit keras yang dikhawatirkan meninggal dunia (di-hijr dalam penggunaan sepertiga hartanya).
- Budak yang belum mendapat izin dari tuannya.
- Orang murtad — dicegah mengelola harta yang diperoleh saat masih Islam.
- Orang yang menerima barang gadaian — karena ia tidak berhak menggunakan atau mengalihkan barang tersebut sebelum pelunasan.
Delapan golongan yang disebutkan di atas bukan sekadar daftar hukum, tetapi mencerminkan konsep kehati-hatian Islam dalam menjaga kemaslahatan harta dan moral manusia.
Setiap kategori memiliki sebab dan hikmah tersendiri — mulai dari perlindungan terhadap anak kecil dan orang sakit, hingga pencegahan terhadap orang yang boros, murtad, atau tidak amanah.
KH Ahmad Rifa’i menjelaskan secara terperinci dalam pasal-pasal berikutnya tentang batasan hijr, bentuk tasarruf yang dilarang, dan kapan seseorang kembali diperbolehkan mengelola hartanya.
Dengan memahami penjelasan tersebut, kita akan melihat bagaimana fiqih muamalah tidak hanya mengatur transaksi, tetapi juga menata etika, akhlak, dan tanggung jawab sosial dalam kepemilikan harta.
Penutup
Fiqih muamalah mengajarkan bahwa niat baik tidak cukup tanpa tata cara yang benar. Hutang boleh, gadai boleh, bahkan memberi kelonggaran dalam pelunasan adalah sunnah, tetapi setiap tambahan yang disyaratkan di awal akad adalah riba yang diharamkan.
Sebaliknya, tambahan yang muncul dari keikhlasan atau nazar setelah akad merupakan amal kebaikan yang berpahala. Demikian pula dalam hal gadai, Islam memberi kelonggaran sepanjang tidak ada unsur pengambilan manfaat sepihak.
KH Ahmad Rifa’i, melalui pemikiran fiqihnya, mengingatkan bahwa muamalah bukan sekadar urusan dunia, melainkan cermin iman dan kejujuran. Barang siapa berhati-hati dalam akad, maka Allah akan menjaga keberkahan hartanya, meluaskan rezekinya, dan menjauhkan dari jerat dosa riba yang halus namun mematikan.
Sumber :
1. Tasyrihatal Muhtaj
2. Qoidah Fiqih
Baca sebelumnya: Penjelasan Kitab Tasyrihatal Muhtaj 19: Hutang yang Menguntungkan
Penulis: Naufal Al Nabai
Editor: Ahmad Zahid Ali


