Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
No Result
View All Result
Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
Home Kolom

Dzikir dan Otak: Ketika Nama Allah Menenangkan Gelombang Neuron

Ahmad Saifullah by Ahmad Saifullah
November 4, 2025
in Kolom
0
Dzikir

Seorang muslimah memegang tasbih kayu sambil berdzikir dengan khusyuk. (Rawpixel)

0
SHARES
29
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Utawi maksude kang sinejo zikiran
Iku khadzire ati ing Allah Pengeran
Nejo lumaku maring Allah karidlaan
Lan tatbir angen-angen ning kebatinan

(KH. Ahmad Rifa’i, Abyan Al-Khawaj)

Bayangkan seseorang duduk tenang di sudut masjid setelah ba’da maghrib. Bibirnya bergerak perlahan, menyebut satu nama — Allah… Allah… — berulang-ulang, penuh kesadaran. Sekilas, mungkin yang terlihat hanyalah ritual sederhana. Namun di balik itu, terjadi sesuatu yang menakjubkan di dalam otaknya: miliaran sel saraf bergetar, berkomunikasi, dan menata ulang harmoni tubuh dan jiwa.

Itulah yang ditemukan oleh Iskandar dari IAIN Malikussaleh dan M. Dirhamsyah dari Universitas Syiah Kuala dalam riset mereka berjudul The Effect of Dhikrullah on Brain Health According to Neuroscience (Asian Social Work Journal, 2019). Penelitian ini mencoba menjembatani antara spiritualitas Islam dan sains modern, khususnya neurosains, dengan satu pertanyaan sederhana namun mendalam: Bagaimana dzikir memengaruhi kesehatan otak manusia?

Sebelumnya Allah telah menegaskan dalam firman-Nya, Surat Ar-Ra’d Ayat 28:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”

Gelombang yang Menyentuh Jiwa

Melalui kombinasi metode kualitatif dan kuantitatif, para peneliti mengamati perubahan gelombang otak dari sejumlah peserta yang melakukan dzikir menggunakan alat Electro Encephalo Graf (EEG). Hasilnya luar biasa: ketika seseorang berdzikir, gelombang beta (yang terkait dengan kewaspadaan dan kecemasan) perlahan menurun, sementara gelombang alfa — gelombang tenang yang muncul saat seseorang berada dalam kondisi damai dan fokus — meningkat signifikan.

Secara ilmiah, ini berarti bahwa dzikir mampu menstimulasi neurotransmiter di otak untuk menghasilkan endorfin, zat kimia alami yang menimbulkan rasa bahagia dan ketenangan. Artinya, dzikir bukan hanya ibadah, tetapi juga terapi biologis.

Amygdala: Pusat Emosi yang Menangis Bersama Nama Allah

Neurosains mengenal satu bagian penting di otak bernama amygdala, pusat dari pengaturan emosi manusia. Amygdala inilah yang menyimpan memori emosional — baik rasa takut, sedih, marah, maupun cinta dan haru. Dalam penelitian Iskandar, ditemukan bahwa getaran suara dzikir beresonansi dengan sistem limbik, termasuk amygdala dan hippocampus, menciptakan keseimbangan emosional.

Inilah mengapa seseorang sering menitikkan air mata saat berdzikir dengan khusyuk. Itu bukan sekadar “perasaan haru”, melainkan respons fisiologis dari otak terhadap getaran spiritual yang menyentuh pusat emosi terdalam manusia.

Dzikir, dalam bahasa sains, menyelaraskan frekuensi otak dengan frekuensi suara yang diucapkan. Dan ketika frekuensi itu adalah Allah, seluruh sistem saraf merespons dalam irama yang tenang dan harmonis. Maka tidak heran apabila Al-Qur’an menyebutkan:

يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ

“Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi senantiasa bertasbih kepada Allah, Maharaja, Yang Mahasuci, Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.”

Dari Trauma ke Terapi

Latar sosial penelitian ini pun menarik. Iskandar melakukan kajian di Aceh — wilayah yang pernah dilanda konflik dan bencana besar. Banyak warganya mengalami trauma mendalam. Dzikir, yang telah lama menjadi tradisi masyarakat Aceh, ternyata berpotensi menjadi alternatif terapi kejiwaan. Melalui pendekatan ilmiah, penelitian ini mengonfirmasi bahwa praktik spiritual lokal itu mampu menenangkan sistem saraf dan memperbaiki kualitas hidup korban trauma.

Bahkan hasil penelitian merekomendasikan agar pemerintah dan lembaga rehabilitasi mental mempertimbangkan penggunaan dzikir sebagai metode terapi di rumah sakit jiwa, lembaga pemasyarakatan, dan pusat rehabilitasi narkoba.

Harmoni Sains dan Spiritualitas

Selama ini, dunia sains sering dianggap kering dari nilai rohani. Namun riset ini membuktikan sebaliknya. Ketika ayat Al-Qur’an menyebut:

“Hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

Maka kini, dengan bukti EEG dan analisis amygdala, sains justru mengiyakan: benar, ketenangan itu nyata, terukur, dan terbukti. Gelombang otak manusia tunduk kepada irama dzikir.

Dari Getaran Lidah ke Getaran Jiwa

Dzikir bukan hanya kegiatan religius, melainkan sebuah proses neuropsikologis: getaran suara dari pita suara memicu resonansi udara, masuk ke telinga, lalu diubah menjadi impuls listrik menuju otak. Dari sana, sinyal itu menjalar ke berbagai bagian otak — dari pusat pendengaran hingga sistem limbik — menata ulang emosi, menurunkan tekanan darah, menyeimbangkan denyut jantung, bahkan memperbaiki metabolisme.

Dzikir adalah getaran penyembuh: ia bekerja dari lidah hingga ke jiwa.

Refleksi Akhir

Iskandar menutup penelitiannya dengan pesan penting: dzikir bukan hanya untuk memperoleh pahala akhirat, tapi juga kesehatan duniawi. Dalam masyarakat modern yang dilanda stres, kesepian, dan kegelisahan, dzikir menjadi jembatan antara iman dan ilmu, antara hati dan otak.

Sains telah bicara: menyebut nama Allah bukan sekadar ritual — ia adalah terapi yang menenangkan neuron, menyehatkan jiwa, dan menyembuhkan manusia dari dalam.


Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra

Tags: amygdaladzikirdzikir harianmeditasineurosainsneuroscienceOtak
Previous Post

Selapanan Rifa’iyah Kota Semarang ke-122: Istiqamah Menjaga Jatidiri dan Tradisi

Ahmad Saifullah

Ahmad Saifullah

Jurnalis Freelance

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sejarah Rifa’iyah dan Organisasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rukun Islam Satu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rifa’iyah Seragamkan Jadwal Ziarah Makam Masyayikh di Jalur Pantura

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kembali ke Rumah: Ayo Mondok di Pesantren Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Rifa'iyah

Menjaga Tradisi, Menyongsong Masa Depan

Kategori

  • Bahtsul Masail
  • Berita
  • Cerpen
  • Keislaman
  • Khutbah
  • Kolom
  • Nadhom
  • Nasional
  • Sejarah
  • Tokoh
  • Video

Sejarah

  • Rifa’iyah
  • AMRI
  • UMRI
  • LFR
  • Baranusa

Informasi

  • Redaksi
  • Hubungi Kami
  • Visi Misi
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 Rifaiyah.or.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen

© 2025 Rifaiyah.or.id