Menata Ulang Relasi Kita dengan Alam Usai Bencana Banjir dan Longsor di Sumatera

Rifaiyah.or.id – Musibah banjir dan longsor yang kembali melanda Sumatera, menewaskan ratusan warga dan memaksa ribuan lainnya mengungsi, menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan di Indonesia telah memasuki tahap yang mengkhawatirkan. Bencana ini tidak dapat dipandang sebagai peristiwa alam semata. Ia merupakan akumulasi dari kesalahan manusia, khususnya dalam tata kelola lingkungan hidup yang lemah, serta praktik eksploitasi sumber daya yang tidak terkendali.

Pengakuan pemerintah bahwa sejumlah kebijakan masa lalu—terutama dalam sektor pertambangan dan perizinan lahan—turut berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan adalah langkah penting. Namun pengakuan tidak cukup. Negara, sebagai pemegang mandat pengelolaan sumber daya alam, memiliki tanggung jawab utama memastikan bahwa setiap izin usaha tidak mengorbankan keselamatan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan. Kelemahan pengawasan, longgarnya perizinan, dan lemahnya tindakan korektif telah menciptakan kondisi yang membuat wilayah rentan menghadapi bencana serupa dari waktu ke waktu.

Karena itu, pemerintah perlu menempatkan reformasi tata kelola lingkungan sebagai agenda yang tidak dapat ditawar. Pengetatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) harus dilaksanakan tidak hanya pada tahap dokumen, tetapi juga pada proses verifikasi dan implementasinya. Seluruh proses perizinan perlu berjalan secara transparan, akuntabel, dan melibatkan masyarakat yang terdampak langsung. Pengawasan lapangan harus diperkuat dengan teknologi, kapasitas lembaga, dan keberanian politik untuk menghentikan praktik pelanggaran.

Selain itu, penegakan hukum terhadap perusak lingkungan harus dilakukan secara konsisten. Selama masih ada korporasi yang dapat merusak ekosistem tanpa konsekuensi hukum yang jelas, kerusakan lingkungan akan terus berulang. Penindakan tidak boleh berhenti pada kasus-kasus kecil; aktor besar yang terbukti lalai atau melanggar aturan harus diproses setegas-tegasnya.

Di sisi lain, pemerintah bersama masyarakat perlu menjalankan upaya restorasi ekologis secara menyeluruh. Rehabilitasi daerah aliran sungai, reforestasi kawasan kritis, dan pemulihan ekosistem pascatambang harus menjadi prioritas kebijakan. Tanpa pemulihan menyeluruh, wilayah yang rusak akan tetap menjadi kantong risiko tinggi bagi bencana hidrometeorologi.

Tulisan ini menegaskan bahwa relasi kita dengan alam perlu ditata ulang. Eksploitasi sumber daya alam tidak boleh mengesampingkan keselamatan manusia dan kelestarian lingkungan. Bencana Sumatera adalah peringatan keras bahwa kita harus memperbaiki sistem sekarang juga. Kegagalan untuk bertindak hanya akan mewariskan kerentanan yang lebih besar bagi generasi mendatang.

Inilah saatnya pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat bekerja dalam kerangka kebijakan yang berkeadilan ekologis. Keselamatan publik harus menjadi pertimbangan tertinggi. Alam telah memberi peringatan yang jelas—tindakan tegas dan reformasi mendasar harus segera dilakukan.

Baca juga: Pesantren Rifa’iyah: Keorganisasiannya Hingga Tahun 1980-an

Penulis: Ahmad Zahid Ali
Editor: Ahmad Zahid Ali