Membangun Budaya Literasi Nasional: PR Baru, Tantangan Lama
Kualitas literasi membaca Indonesia kembali menjadi sorotan. Beragam data, mulai dari capaian PISA terbaru hingga evaluasi Kemendikdasmen, menunjukkan bahwa kemampuan membaca dan menulis siswa Indonesia masih berada pada titik yang mengkhawatirkan. Pemerintah pun mendorong perubahan kebijakan yang lebih fundamental—menempatkan membaca sebagai kebiasaan sehari-hari sejak usia sekolah.
Kemampuan Membaca dan Menulis Siswa Masih Lemah
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menegaskan bahwa kemampuan memahami teks siswa Indonesia masih lemah. Hal ini tampak dari capaian literasi dalam berbagai asesmen, baik nasional maupun internasional, yang selalu berada pada posisi tertinggal.
Tidak hanya membaca, kemampuan menulis siswa juga dinilai memasuki titik yang mengkhawatirkan. Budaya literasi yang rapuh ini tidak lahir dalam semalam—ia merupakan akumulasi dari kebiasaan membaca yang minim, prioritas pendidikan yang tidak merata, hingga pola asuh keluarga yang lebih bersifat konsumtif daripada edukatif.
Data UNESCO dan PISA: Potret yang Tidak Bisa Diabaikan
UNESCO mencatat minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang, hanya 1 orang yang rajin membaca. Angka ini memberi gambaran betapa rendahnya budaya literasi di tingkat masyarakat.
Di sisi lain, hasil PISA 2022 menunjukkan:
-
Rata-rata skor literasi membaca siswa Indonesia:
-
371 (PISA 2018)
-
359 (PISA 2022) — turun 12 poin
-
-
Meski skor turun, peringkat Indonesia naik 5 posisi, namun pencapaian 359 poin masih di bawah rata-rata OECD, serta tertinggal jauh dari negara seperti Singapura (543 poin).
Tanpa kemampuan membaca yang baik, mustahil lahir generasi yang mampu berpikir kritis dan berdaya saing global.
Kebiasaan Baru: Membaca Buku dan Menulis Ringkasan
Untuk menjawab persoalan ini, pemerintah meluncurkan kebijakan yang memprioritaskan literasi sebagai kebiasaan harian di sekolah. Salah satu langkah pentingnya adalah mengembalikan PR sebagai tugas berbasis buku.
Murid kini diminta:
-
Membaca 1–2 buku hingga tuntas
-
Menulis ringkasan atau resensi
Langkah ini dinilai lebih relevan dibanding pola lama yang hanya berkutat pada lembar soal. Tujuannya bukan sekadar memahami isi buku, tetapi melatih kemampuan menyusun kembali informasi dengan pemikiran sendiri.
Ini merupakan fondasi sederhana namun krusial bagi kualitas generasi mendatang.
Digitalisasi Tidak Boleh Menggerus Literasi Dasar
Mu’ti mengingatkan bahwa kemajuan teknologi dan penggunaan perangkat berbasis AI di sekolah seharusnya tidak menggantikan kemampuan dasar membaca dan menulis.
Digitalisasi harus:
-
Mendukung, bukan menggantikan latihan literasi manual
-
Mendorong kebiasaan membuat catatan tangan
-
Menjaga agar siswa tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga pengolah informasi
Tanpa literasi yang kuat, teknologi justru berpotensi memperlebar kesenjangan kemampuan dasar antarsiswa.
Peran Keluarga: Mengubah Pola Konsumtif Menjadi Investasi Literasi
Mu’ti juga menyoroti bahwa banyak orang tua di Indonesia masih bersikap konsumtif, namun enggan membeli buku untuk anak-anaknya.
Ia memberi contoh:
“Kalau dia membeli sesuatu yang sifatnya konsumtif, berapa pun harganya dia mau. Tapi beli buku Rp20.000 saja komplain di medsos. Ini masyarakat seperti ini juga perlu kita ubah.”
Perubahan budaya literasi tidak akan pernah berhasil tanpa dukungan keluarga sebagai lingkungan belajar pertama.
Dukungan Sistemik: Dana BOS dan Pengadaan Buku
Sebagai langkah struktural, pemerintah mewajibkan sekolah penerima Dana BOS untuk mengalokasikan minimal 10% dari total dana yang diterima untuk pembelian dan pengadaan buku.
Kebijakan ini dituangkan dalam Permendikbud-Ristek Nomor 8 Tahun 2025.
Jika porsi 10% masih dianggap tidak cukup, pemerintah membuka peluang untuk meningkatkannya pada tahun-tahun berikutnya. Langkah ini diharapkan dapat memperluas akses buku berkualitas bagi seluruh siswa di Indonesia.
Fondasi yang Menentukan Masa Depan
Pada akhirnya, membaca bukan sekadar aktivitas akademik—ia adalah fondasi pembentuk karakter, pengetahuan, dan daya kritis. Pemerintah berharap siswa Indonesia tidak hanya mengenal buku, tetapi membangun kebiasaan membaca hingga selesai, memahami isinya, dan menuliskan kembali dengan pemikiran mereka sendiri.
Membangun literasi adalah kerja panjang. Namun fondasi sederhana ini akan sangat menentukan kualitas generasi yang akan datang.
Baca juga: Menata Ulang Relasi Kita dengan Alam Usai Bencana Banjir dan Longsor di Sumatera
Penulis: Ahmad Zahid Ali
Editor: Ahmad Zahid Ali
Sumber: Kompas, Youtube/Kemendikdasmen



Been playing on winph444 for a little while now. It’s alright, got a decent variety. Could be better, could be worse. Check it out and make your own judgement: winph444.