“Utawi partelane ilmu syara kang manfaat… lan ngundaaken ilmu ning ningali kebatinan, mata ati nira ing cela awakira kesalahan.“
(Kh. Ahmad Rifai: Abyan Al-Hawa’ij, juz 2)
KH. Ahmad Rifai seorang pahlawan nasional bumi nusantara, dalam kitabnya Abyan Al-Hawaij mengungkap rahasia ilmu manfaat, diantaranya mempunyai ciri: semakin tahu diri, kesalahan diri, cela diri, bukan malah disibukkan dengan cela orang lain.
Senada dengan hal itu, sebelumnya di abad ke-12, seorang sufi besar bernama Najmuddīn Kubrā pernah menulis sebuah peringatan yang menusuk: “siapa yang terlalu sibuk melihat keburukan orang lain, sesungguhnya sedang buta terhadap kegelapan dalam dirinya sendiri.”
Kalimat itu lahir dari tradisi muḥāsabah (introspeksi spiritual) yang mendalam, sebuah praktik pembersihan batin yang mengharuskan seseorang untuk terus-menerus memeriksa niat, pikiran, dan tindakannya sendiri sebelum menilai orang lain.
Hampir delapan abad kemudian, di era media sosial dan budaya komentar instan, kata-kata KH. Ahmad Rifai dan Najmuddīn Kubrā justru semakin relevan. Kita hidup dalam zaman di mana mengomentari kehidupan orang lain terasa lebih produktif daripada mengurus kehidupan sendiri.
Timeline, beranda medsos dipenuhi analisis terhadap kesalahan publik figur, kritik terhadap pilihan hidup tetangga, bahkan persekusi digital terhadap orang asing yang bahkan tidak kita kenal. Sementara itu, pertanyaan mendasar—siapa sebenarnya aku? Dimana posisiku? ke mana aku menuju? Tujuan sejati hidupku apa? terlupakan dalam kebisingan.
Potensi manusia menilai di luar dirinya, secara alamiah lebih mungkin dibanding muhasabah diri, karena manusia cenderung menggunakan inderanya untuk menangkap yang diluar dirinya sebagai bahan menilai, menyetempel, bukan sebagai bahan tafakkur, tadabbur dan tazakkur untuk mencari hikmah dibalik banyak hal yang diserapnya.
Ilusi Produktivitas dalam Kritik
Membahas kekurangan orang lain memberi sensasi produktif. Ada kepuasan tersendiri ketika kita merasa bisa mengidentifikasi kesalahan orang lain, seolah-olah itu membuktikan kita lebih baik atau lebih bijak. Namun, neuroscience (ilmu saraf/otak) memberikan penjelasan yang mengejutkan: aktivitas ini justru merupakan bentuk penghindaran kognitif.
Penelitian dalam bidang moral cognition mengidentifikasi fenomena yang disebut externalized evaluation—kecenderungan otak untuk mengarahkan kritik keluar sebagai mekanisme pertahanan agar tidak perlu menghadapi lapisan emosi yang lebih menyakitkan di dalam diri.
Ketika beban batin menumpuk: kecemasan, kekecewaan, rasa tidak berdaya, selanjutnya otak mencari objek eksternal untuk dianalisis. Ini memberikan ilusi kontrol dan kompetensi, padahal sejatinya kita sedang menjauh dari diri sendiri.
Dr. Matthew Lieberman dari UCLA (Universitas California), dalam penelitiannya tentang social cognitive neuroscience, menemukan bahwa ketika seseorang terlalu fokus pada evaluasi eksternal, aktivitas di default mode network (DMN)—jaringan otak yang bertanggung jawab untuk introspeksi dan pemahaman diri—justru menurun. Artinya, semakin kita sibuk mengawasi dan mengomentari orang lain, semakin tumpul kemampuan kita untuk memahami diri sendiri.
Dari Kontemplasi ke Distraksi Digital
Tradisi Islam memiliki konsep murāqabah (pengawasan diri) yang mengajarkan bahwa setiap muslim harus senantiasa mengawasi hati dan pikiran mereka sendiri, seolah-olah Allah melihat setiap gerak batin mereka.
Imam Al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menekankan bahwa penyakit hati yang paling berbahaya adalah ujub (bangga diri) dan riya’ (ingin dipuji), yang sering kali muncul dalam bentuk kritik terhadap orang lain untuk menutupi kekurangan diri sendiri.
Ini sejalan dengan temuan contemplative neuroscience—bidang yang mempelajari dampak kontemplasi dan meditasi (shalat, zikir) terhadap otak.
Penelitian dari University of Wisconsin-Madison menunjukkan bahwa praktik kontemplasi yang konsisten memperkuat prefrontal cortex, area otak yang bertanggung jawab untuk regulasi emosi, pengambilan keputusan, dan kesadaran diri. Sebaliknya, pola pikir yang terus-menerus reaktif terhadap stimulus eksternal—seperti fokus pada kesalahan orang lain—melemahkan kapasitas introspektif ini.
Dengan kata lain, setiap kali kita memilih untuk membahas aib orang lain, otak kita mematikan ruang refleksi yang seharusnya bekerja untuk diri kita sendiri.
Externalized Cognition: Ketika Pikiran Kehilangan Kemudi
Neuroscience kontemporer memperkenalkan istilah externalized cognition—keadaan di mana pikiran berhenti memimpin dari dalam dan mulai bereaksi pada stimulus luar. Ini adalah kondisi mental di mana seseorang kehilangan kemampuan untuk berpikir secara otonom dan hanya merespons apa yang ada di luar dirinya: berita viral, drama publik, tren media sosial.
Studi dari Harvard University menunjukkan bahwa orang yang menghabiskan lebih banyak waktu untuk menilai orang lain cenderung mengalami penurunan dalam self-referential processing—kemampuan otak untuk memproses informasi yang relevan dengan diri sendiri. Hasilnya? Mereka kehilangan kejernihan tentang siapa mereka sebenarnya, apa yang mereka inginkan, dan ke mana mereka menuju dalam kehidupan.
Dalam tradisi tasawuf, kondisi ini disebut ghaflah (kelalaian)—kondisi dimana seseorang lupa akan tujuan hidupnya yang sejati karena terlalu tenggelam dalam urusan duniawi yang tidak substansial. Ibn ‘Aṭā’illāh al-Sakandarī dalam al-Ḥikam mengingatkan: “diantara tanda-tanda orang yang senantiasa bersandar kepada amal-amalnya, adalah kurangnya ar-raja’ (rasa harap kepada rahmat Allah) di sisi alam yang fana.” ini adalah peringatan bahwa fokus yang berlebihan pada kesalahan amal—baik diri sendiri maupun orang lain—justru menjauhkan kita dari kedamaian batin yang sejati bersama Allah SWT.
Biaya Kognitif dari Menghakimi
Penelitian psikologi sosial menunjukkan bahwa aktivitas menghakimi orang lain memiliki biaya kognitif yang tinggi. Ketika kita mengevaluasi orang lain secara negatif, otak harus mengaktifkan berbagai sistem: theory of mind (untuk memahami perspektif orang lain), moral reasoning (untuk menilai benar-salah), dan emotion regulation (untuk mengelola perasaan yang muncul).
Ironisnya, energi mental yang dihabiskan untuk menghakimi orang lain ini seharusnya bisa digunakan untuk self-regulation— kemampuan untuk mengelola emosi, perilaku, dan pikiran diri sendiri.
Studi dari Stanford University menemukan bahwa individu yang sering terlibat dalam penilaian negatif terhadap orang lain memiliki tingkat cognitive flexibility (fleksibilitas kognitif) yang lebih rendah, yang berarti mereka kurang mampu beradaptasi dengan situasi baru dan kurang kreatif dalam menyelesaikan masalah.
Jalan Kembali: Dari Kritik Eksternal ke Kejernihan Internal
Lalu, apa jalan keluarnya? Bagaimana kita bisa keluar dari siklus menghakimi yang pada akhirnya merugikan diri kita sendiri?
Pertama, kita perlu menyadari bahwa setiap kali kita merasa terdorong untuk mengkritik orang lain, itu mungkin adalah tanda bahwa ada sesuatu dalam diri kita yang perlu diperhatikan. Psikologi menyebut ini sebagai projection—mekanisme pertahanan dimana kita memproyeksikan kualitas atau perasaan yang tidak nyaman dalam diri kita kepada orang lain.
Kedua, kita perlu mempraktikkan murāqabah dan muḥāsabah secara konsisten. Luangkan waktu setiap hari—bahkan walau hanya lima menit—untuk duduk dalam keheningan dan bertanya pada diri sendiri: Bagaimana keadaanku hari ini? Apa yang aku rasakan? Apa yang benar-benar penting bagiku? Apa tujuan Allah menghidupkanku?
Penelitian menunjukkan bahwa praktik refleksi diri yang konsisten meningkatkan kecerdasaan emosi (emotional intelligence) dan kesejahteraan psikologis.
Ketiga, batasi konsumsi konten yang mendorong pola pikir menghakimi. Media sosial dirancang untuk memicu respons emosional cepat, termasuk keinginan untuk menilai dan mengomentari. Dengan mengurangi paparan terhadap konten semacam itu, kita memberi otak ruang untuk kembali ke mode introspektif.
Kejernihan Datang dari Dalam
Najmuddīn Kubrā mengajarkan bahwa cahaya spiritual (nūr) hanya bisa muncul ketika kita membersihkan cermin hati dari debu-debu kelalaian dan kesombongan. Selama cermin itu tertutup oleh fokus pada kekurangan orang lain, kita tidak akan pernah bisa melihat cahaya yang sebenarnya ada dalam diri kita.
Neuroscience modern menegaskan kebijaksanaan kuno ini: kejernihan mental, kreativitas, dan kedamaian batin hanya bisa muncul ketika kita mengalihkan perhatian dari kebisingan eksternal dan mengarahkannya ke dalam. Ketika energi mental yang selama ini kita hamburkan untuk mengoreksi orang lain perlahan kembali menjadi sumber kekuatan dari dalam, kita akan menemukan bahwa hidup menjadi lebih ringan, lebih terarah, dan lebih bermakna.
Maka pertanyaan yang perlu kita ajukan pada diri sendiri bukanlah: Apa yang salah dengan orang lain? Melainkan: Apa yang perlu aku perbaiki dalam diriku sendiri? Darimana aku berasal dan akan kemana aku berjalan? sejatinya Siapa yang harus aku tuju? Bukankah hidup ini hanya sebentar? Dst
Karena pada akhirnya, satu-satunya kehidupan yang benar-benar bisa kita ubah adalah kehidupan kita sendiri. Dan satu-satunya cermin yang benar-benar perlu kita bersihkan adalah cermin hati kita sendiri.
Referensi
Ahmad Rifa’i, Abyan Al-Hawaij, Juz 2
Al-Ghazālī, Abū Ḥāmid. Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Beirut: Dār al-Ma’rifah.
Ibn ‘Aṭā’illāh al-Sakandarī. al-Ḥikam. Kairo: Maktabah al-Ṣafā, 2001.
Najmuddīn Kubrā. Fawā’iḥ al-Jamāl wa Fawātiḥ al-Jalāl, Tehran: Intishārāt-i Mawlā, 1996.
Lieberman, Matthew D. Social: Why Our Brains Are Wired to Connect. New York: Crown Publishers, 2013.
Davidson, Richard J., and Antoine Lutz. “Buddha’s Brain: Neuroplasticity and Meditation.” IEEE Signal Processing Magazine. (2008)
Kelley, William M., et al. “Finding the Self? An Event-Related fMRI Study.” Journal of Cognitive Neuroscience 14, no. 5 (2002)
Tang, Yi-Yuan, Britta K. Hölzel, and Michael I. Posner. “The Neuroscience of Mindfulness Meditation.” Nature Reviews Neuroscience (2015)
Baumeister, Roy F., et al. “Ego Depletion: Is the Active Self a Limited Resource?” Journal of Personality and Social Psychology (1998)
Baca Juga: Ketika Rasa Syukur Mengubah Otak: Sains di Balik Kebahagiaan Sederhana
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Ahmad Zahid Ali & Yusril Mahendra

