Hari Raya Idulfitri selalu hadir sebagai momentum kebahagiaan bagi umat Islam di seluruh dunia. Ia menjadi hari kemenangan, hari kembali kepada fitrah, dan hari berkumpul bersama keluarga serta sanak saudara. Tawa, pelukan, dan doa mengalir dari rumah ke rumah, dari kampung ke kampung.
Namun, tidak semua orang merayakan Idulfitri dalam suasana yang sama.
Sejarah mencatat, KH. Ahmad Rifa’i mengalami lebaran yang jauh dari gambaran kebahagiaan lahiriah tersebut. Dalam Layang lan Tanbih, surat yang beliau tulis pada Kamis, 22 Dzulhijah 1275 H, setelah tiba di Ambon, tergambar jelas bagaimana sejak 22 Sya’ban beliau tidak lagi bersama keluarga, kerabat, dan para santri tercinta secara intens.
Pada tanggal 22 Sya’ban, KH. Ahmad Rifa’i diadili di Masjid Jami’ Batang. Proses persidangan kemudian dipindahkan ke Masjid Jami’ Pekalongan dan berlangsung sepanjang bulan Ramadan. Bulan yang bagi kebanyakan umat Islam diisi dengan ibadah, kebersamaan, dan persiapan menyambut Idulfitri, justru menjadi bulan ujian berat bagi beliau.
Tanggal 6 Syawal, KH. Ahmad Rifa’i harus mendekam di penjara Pekalongan hingga 16 Syawal 1275 H, atau bertepatan dengan 4 Mei 1859 M. Sebuah Idulfitri yang sunyi, terpenjara, dan penuh keterasingan.
Beliau menuliskan sendiri pengalaman itu dalam bahasa yang jujur dan getir:
“Wulan Syakban ping rolikur ingdalem Mesjid Batang pitung dino, terus katimbalan ing negoro Pekalongan manggon ingdalem masjid sajeroning wulan Romadhon, wulan Syawal tanggal ping nem manggon ingdalem bui, kaping nembelas wulan Syawal terus kakesahan dateng Ambon.”
Pekalongan pun menjadi saksi pijakan terakhir kaki beliau di tanah Jawa. Dari kota inilah KH. Ahmad Rifa’i berpisah secara fisik dengan para santri dan tanah kelahirannya, menuju pengasingan yang panjang.
Namun, saya meyakini bahwa secara batin beliau adalah sosok yang telah mencapai ketenangan sejati—sebagaimana digambarkan Al-Qur’an: “Lā khaufun ‘alaihim wa lā hum yaḥzanūn”—tidak ada rasa takut dan tidak pula bersedih. Tubuhnya boleh terpisah oleh lautan, tetapi ilmunya tetap hidup dan berdenyut di tanah Jawa.
Di seberang pulau, para santri yang diliputi rindu tidak berhenti menyalin, membaca, memahami, dan mengamalkan puluhan karya yang beliau tinggalkan. Kitab-kitab itu menjadi penghubung ruhani antara guru dan murid, antara pengasingan dan perjuangan.
Lalu saya bertanya pada diri sendiri, “sebagai santri generasi hari ini”, apakah hati ini benar-benar terketuk ketika membaca pesan dan doa beliau:
“Mugo-mugoho anak muridku sekabehe podo asih nemen-nemeni maham ingdalem kitabku Tarajumah Syar’iyyah kang wus ono negoro Jowo.”
Doa itu sederhana, tetapi mengandung amanah yang besar: cinta, kesungguhan, dan kesetiaan pada kitab Tarajumah Syar’iyyah.
Lebaran di bui bukan sekadar kisah penderitaan. Ia adalah cermin keteguhan, keikhlasan, dan warisan ruhani yang terus menagih jawaban dari generasi setelahnya—termasuk kita hari ini.
Baca Juga: Pengaruh Syekh Muhammad ibn Jazari dalam Ilmu Qiro’at KH. Ahmad Rifa’i
Penulis: Muhammad Nawa Syarif
Editor: Yusril Mahendra

