Sejarah Rifa’iyah dan Organisasi

A.PENDAHULUAN

Organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam pada umumnya muncul secara formal pada awal abad ke-20. Misalnya seperti Syarikat Islam (1912), Muhamadiyah (1912) Persatuan Islam (1920) dan Nahdlatul Ulama (1926). Akan tetapi Rifa’iyah baru muncul pada pertengahan abad ke-20 (1991).

Meskipun demikian, Rifa’iyah apabila dilihat dari gerakannya telah ada semenjak Syekh Ahmad Rifa’i mendirikan pesantren di Kalisalak pada tahun 1940-an dan membangun komunitas santri dengan kebudayaan Islam yang khas.

Gerakan itu kemudian diteruskan oleh murid-murid beliau dari generasi ke generasi secara berkesinambungan sehingga ajaran Syekh Ahmad Rifa’i berkembang di masyarakat.

Hubungan antar warga Rifa’iyah dibangun melalui jejaring guru-murid dan kekeluargaan. Suatu daerah mengirimkan santri ke daerah lain kemudian sebagian mereka dinikahkan sehingga hubungan mereka makin kokoh.

Jejaring santri Rifa’iyah yang demikian dipertahankan hingga bertahun-tahun lamanya. Pada tahun 1965 barulah beberapa ulama Rifa’iyah di Kabupaten Pemalang mendirikan Yayasan dengan tujuan untuk melindungi lembaga-lembaga dakwah dan aset-aset pondok, masjid dan mushalla yang tersebar di desa-desa.

Selanjutnya pada tahun 1991 ulama dan cendikiawan muslim yang berasal dari basis Rifa’iyah berkumpul di Cirebon mendeklarasikan berdirinya Rifa’iyah-Tarajumah sebagai wadah perjuangan seperti halnya ormas-ormas Islam yang lain.

B.TOKOH SENTRAL RIFA’IYAH

1.Syekh Ahmad Rifa’i

Tokoh sentral Rifaiyah, Syekh Ahmad Rifa’i, adalah cucu KH. Abu Sudja (Raden Sutjowidjoyo), Penghulu Landrat Kabupaten Kendal yang berasal dari keraton Yogyakarta. Syekh Ahmad Rifa’I dilahirkan di Kendal tanggal 9 Muharrom 1200 H (1786 M). Ayahnya bernama KH Muhammad bin Abu Sudja dan ibunya bernama Siti Rochmah. Ketika berusia 6 tahun ayahnya meninggal, kemudian diasuh oleh kakeknya selama dua tahun. Setelah kakeknya meninggal tinggal bersama kakak perempuannya bernama Nyai Radjiyah, isteri KH Asy’ari, pendiri pesantren Kaliwungu. Di tempat inilah Ahmad Rifa’i dibesarkan hingga menjadi dewasa dan menjadi ulama muda yang energik.

2. Gurunya di Tanah Air

Guru Syekh Ahmad Rifa’i di tanah Jawa ialah KH. Asy’ari, seorang ulama Dalem Keraton Mataram Yogyakarta. KH Asy’ari dilahirkan di Wanantara Yogya pada tahun 1746. Nama lengkapnya Asy’ari bin Ismail bin H Abdurrahman bin Ibrahim. Silsilah nasabnya sampai kepada Sayidina Ali. KH Asy’ari lebih dikenal dengan nama Kyai Guru, beliau datang ke Kaliwungu pada tahun 1781 atas perintah Sultan Mataram untuk mendirikan pesantren. Sebelumnya beliau mendalami ilmu-ilmu agama di Mekah selama 10 tahun.

KH Asy’ari mengenal KH Abu Sudja beserta putra-putri dan cucu-cucunya dengan baik mengingat keduanya sebagai pengemban amanat dari dari Sultan Mataram. Pada tahun 1786, ketika usianya mencapai 40 tahun, KH Asy’ari menikah dengan cucu KH Abu Sudja bernama Nyai Radjiyah binti Muhammad bin Abu Sudja. Beliaulah kelak yang mengasuh dan mendidik Ahmad Rifa’i hingga menjadi ulama muda yang terkenal wara, cerdas, tegas, kreatif dan berani.

Pada masa kanak-kanak Ahmad Rifa’i belajar ilmu agama pada orang tuanya. Kemudian setelah berusia 8 tahun ia belajar pada kakak iparnya, yaitu KH. Asy’ari, pendiri dan pengasuh pondok pesantren Kaliwungu hingga ia meneruskan pelajaran ke Mekah Saudi Arabia pada tahun 1230H/1816 Μ.

3. Gurunya di Timur Tengah

Ulama Muda Ahmad Rifa’i berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan mukim di sana untuk meneruskan belajar selama 8 tahun. Di Mekah beliau berguru kepada ulama-ulama bermadzhab Syafi’i dan ulama-ulama bermadzhab Hanbali. Di antara gurunya yang bermadzhab Syafi’i ialah Isa al-Barawi, nama lengkapnya Isa bin Ahmad bin Isa bin Muhammad Az-Zubairi Asy-Syafi’i Al-Qahiri Al-Azhari. Dan gurunya yang bermadzhab Hambali ialah Syekh Faqih Muhammad bin Abdul Aziz Al-Jaisi.

KH.Ahmad Sadzirin Amin menjelaskan bahwa Syekh Ahmad Rifa’I setelah dari Mekah melanjutkan pelajarannya ke Mesir selama 12 tahun. Di Mesir beliau berguru pada ulama-ulama yang terkenal waktu itu, di antaranya Syekh Ibrahim Al-Badjuri, seorang ulama yang terkenal Alim Allamah dan kitab-kitabnya banyak dibaca di pesantren-pesantren di Nusantara.

Sanad keilmuan Syekh Ahmad Rifa’i dari gurunya di Mesir adalah sebagai berikut:

  1. Allah Subhanahu wa Taala
  2. Malaikat Jibril AS
  3. Nabi Muhammad SAW
  4. Abdullah Ibnu Abbas ra (w. 68 Η)
  5. Atha bin Abi Rabah Al-Maki Al-Quraisyi (w. 115 H)
  6. Abdul Muluk bin Juraij (w. 125 H)
  7. Muslim bin Khalid Az-Zanji (w. 160 H)
  8. Al-Imam Al-Mujtahid Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (w.204 H)
  9. Syaikh Ibrahim bin Ismail bin Yahya Al-Muzanie (w.264 H)
  10. Syaikh Ibnul Qasim utsman bi Said bin Basyar Al-Anmarie (w.)
  11. Syaikh Abil Abbas Ahmad bi Suraij (w. 306 H)
  12. Syekh Abu Ishaq Al-Marwazie (w. 340 H)
  13. Syekh Abu Yazid Al-Marwazie (w. 350 H)
  14. Syekh Abu Bakar Al-Qaffal Al-Marwazie (w. 417 H)
  15. Syaikh Abdullah bin Ysuf Al-Juwainie (w. 438 H)
  16. Syaikh Abdul Muluk bin Abdullah Al-Juwaini (Imam Al-Haramain) (w.478 H)
  17. Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali (w.505 H)
  18. Syaikh Abu Fadlal bin Yahya (w.560H)
  19. Syaikh Abil Qasim Abdul Karim Ar-Rifa’i (w. 623 H)
  20. Syekh Abdurrahman bin Syekh Abdul Ghafar Al-Quzwainie (w. 665 H)
  21. Syekh Muhammad bi Muammad Shahibus Syamil Ash-Shaghir (w.)
  22. Syekh Al-Kamal Silar Ar-Dabili (w.)
  23. Syekh Muhyiddin An-Nawawie w. (676 H)
  24. Syaikul Islam Ulauddin Ibnul Athar (w.750 H)
  25. Al-Hafidh Abdurrahman bin Husain Al-Iraqie ((w. 806 H)
  26. Al-Hafidz Ahmad Ibnu Hajar Al-Aqalanie (w.852 H)
  27. Imam Zakaria Al-Asharie (w. 925 H)
  28. Syaikh Syihabuddin Ar-Ramlie (w. 981 H)
  29. Imam Ibnu Hajar Al-Haitamie (w. 983 H)
  30. Syekh Syihabuddin Ar-Ramlie (w. 1004 H)
  31. Syekh Ali bin Isa Al-Halabie (w. 1010 H)
  32. Syekh Al-Sulthan Al-Muzajie (w.)
  33. Syekh Ahmad Al-Basybisyie (w. 1019 H)
  34. Syekh Ahmad Al-Khalifie (w. 1100 H)
  35. Syekh Asy-Syamsi Al-Khifnie (w. 1178 H)
  36. Syaikh Abdullah bin Hijazie Asy-Syarqawie (w. 1227 H)
  37. Syekh Ibrahim Al-Bajurie (w.1276 H)
  38. Syekh Ahmad Rifa’i Al-Jawi (w.1286 H) (Syadzirin Amin, Gerakan Syekh Ahmad Rifa’i, 1995:54-55)

Demikian sanad keilmuan Syekh Ahmad Rifa’i di bidang ilmu fikih dari guru-gurunya di Mesir. Sanad lain dapat ditelusuri dari guru-gurunya yang ada di Mekah yang bermadzhab Syafi’i, seperti Imam Al-Barawie, atau dari sanad Syekh Asy’arie Kaliwungu yang mengambil ilmu dari guru-gurunya yang bermadzhab Syafi’i di Mekah tentu akan nyambung dengan ulama-ulama dari kalangan madzhab Asy-Syafi’i. Kesinambungan sanad Syakh Ahmad Rifa’i dengan ulama-ulama madzhab Asy-Syafi’i sangat tegas dinyatakan dalam kitab-kitabnya bahwa pengajarannya itu bermadzhab Asy-Syafi’i.

Adapun sanad ilmu tasawuf, Syekh Ahmad Rifa’i melalui jejaring ulama sebagai berikut:

  1. Allah SWT Jalla Jalaluh.
  2. Sayidina Jibril AS
  3. Junjungan Nabi Muhammad SAW
  4. Imam Ali bin Abi Thalib ra
  5. Imam Husen bin Ali bin Abi Thalib
  6. Imam Ali Zaenal Abidin bin Husen bin Ali bin Abi Thalib
  7. Imam Muhammad Al-Baqir
  8. Imam Ja’far Ash-Shadiq
  9. Imam Musa Al-Kadhim
  10. Syekh Abul Hasan Ali bin Musa Ar-Ridha
  11. Syekh Ma’ruf Al-Karkhie
  12. Syekh Sirri Al-Saqathie
  13. Syekh Abul Qasim Al-Junidi Al-Bahdadi
  14. Syekh Abu bakar bin Jabbar Asy-Syili Al-Baghdadi
  15. Syekh Abu Fadhal Abdul Wahid At-Tamimi
  16. Syekh Abuul Farij Muhammad Ath-Thurthusi
  17. Syekh Abdul Hasan Ali bin Ahmad Al-Hakarie
  18. Syekh Abu Said Al-Mubarak Al-Mahzumi
  19. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Qaddasallahu Sirrahu
  20. Syekh Abdul Aziz
  21. Syekh Muhammad Al-Hatakie
  22. Syekh Syamsuddin
  23. Syekh Sarafuddin
  24. Syekh Zaenuddin
  25. Syekh Nuruddin
  26. Syekh Waliyuddin
  27. Syekh Hasanuddin
  28. Syekh Yahya
  29. Syekh Abu Bakar
  30. Syekh Abdurrahim
  31. Syekhul A’dham Ahmad Usman Al-Makkie
  32. Syekh Ahmad Rifa’i Al-Jawie (Dr. Mukhlisin As’ad, An-Na’atul Khairiyah fi Afkari Syekh Ahmad Rifa’i Al-Jawie)

4. Mendirikan Pesantren Kalisalak

Sepulangnya dari Timur Tengah, KH. Ahmad Rifa’i kembali mengajar di pesantren kakak iparnya di Kaliwungu dan berdakwah keliling kota di sekitar Kendal, Semarang dan Wonosobo sehingga terkenal namanya di masyarakat. Pekerjaan ini ditekuni hingga beliau diasingkan ke Kalisalak Kabupaten Batang.

Dengan alasan stabilitas keamanan, KH. Ahmad Rifa’i diasingkan dari Kendal ke Kalisalak, sebuah desa yang letaknya jauh dari kota Batang. Di Kalisalak beliau mendirikan pesantren untuk mengajarkan Al-Qur’an dan pokok-pokok agama Islam. Awalnya pesantren hanya dikunjungi santri dari daerah sekitar Batang, kemudian berkembang hingga santrinya datang dari berbagai pelosok tanah Jawa, termasuk dari tanah Pasundan (Jawa Barat).

Selain mengajar santri, beliau berdakwah keliling kota dan desa. Target yang ingin dicapai agar masyarakat memiliki iman yang benar (amrih sahe iman), dapat beribadah dengan benar (lan amrih sahe ibadah) dan dapat bermuamalah dengan sah dan benar (amrih rizki kang halal).

Gerakan ini dilaksanakan dengn tekun hingga terbentuk masyarakat yang memiliki budaya tersendiri. Kaum laki-laki dan perempuan diatur agar selalu berbusana santri, laki-laki memakai pakaian yang sopan, menutupi aurat dan memakai kopiah. Perempuan berbusana muslimah, menutupi aurat dan memakai kerudung. Dalam pengajian majelis laki-laki dipisahkan tempatnya dengan majelis perempuan, atau ditutup dengan satir yang tinggi hingga tidak nampak dan tidak bercampur. Laki-laki dan perempuan tidak berjabatan tangan dan tamu-tamu mengucapkan salam dari balik hijab atau dari balik pintu, dan seterusnya. Gerakan demikian dilanjutkan oleh murid-murid hingga terbentuk komunitas santri Tarajumah atau santri Rifa’iyah yang dikenal di masyarakat.

Namun sayangnya gerakan ini dipandang sebagai gerakan radikal dan eksklusif, maka tidak lama kemudian Syekh Ahmad Rifa’i ditangkap, dan setelah melalui proses peradilan yang panjang, pada tahun 1859 beliau ditangkap dan diasingkan dari Kalisalak Batang ke Ambon Kepulauan Maluku. Kemudian pada tahun 1861 dipindahkan Maluku ke Minahasa, dan akhirnya wafat di sana pada tahun 1875. Beliau dimakamkan di komplek pemakaman Kiai Modjo, di bukit Tondata kelurahan Kampung Jawa Tondano Kabupaten Minahasa, berdekatan dengan makam Kiai Hasan Maulani yang berasal dari Lengkong Kabupaten Kuningan Cirebon.

Syekh KH. Ahmad Rifa’i yang gigih menentang kaum penjajah dan berhasil menanamkan semangat patriotisme kepada masyarakat, terutama kepada murid-muridnya, pada tahun 2004 mendapat gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Susilo Bambang Yudoyono.

5.Murid-Muridnya

Murid-murid Syekh Ahmad Rifa’i yang dapat dicatat sebagai penerus gerakannya sebanyak 51 orang. Mereka adalah generasi pertama (al-sabiquna al-awwalun) yang menyebarkan ajaran KH. Ahmad Rifa’i yang tertuang dalam kitab-kitab Tarajumah ke pelosok-pelosok desa.

Penyebaran kitab-kitab Tarajumah yang dilakukan oleh murid-murid senior tersebut, pertama pertama dengan gerakan menyalin kitab-kitab karya Syekh Ahmad Rifa’i dan hasilnya disebarkan ke masyarakat. Saat itu mencari alat tulis masih sangat sulit, kertas dan tinta tidak mudah didapat, tetapi pekerjaan mulia ini bagi murid-murid dapat membawa berkah, karena mereka mendapat uang pengganti yang dapat dimanfaatkan untuk biaya mondok (living cost). Yang kedua para murid menjalankan tugas menyebarkan ajaran guru kepada masyarakat dengan membangun pesantren yang dimulai dari membangun sebuah tajug, kemudian membangun bilik tempat tinggal santri, kemudian membangun masjid untuk menampung jamaah yang ada di sekitarnya dan kemudian mendirikan shalat jum’at. Murid-murid Syekh Ahmad Rifa’i generasi pertama hampir semuanya melaksanakan penyebaran agama Islam kepada masyarakat dengan menggunakan kitab-kitab Tarajumah, kemudian diteruskan oleh murid-murid generasi berikutnya hingga sekarang.

6. Keturunannya

Keturunan KH. Ahmad Rifa’i, di samping keturunan dari Jawa ada keturunan dari Minahasa Sulawesi Utara. Ketika beliau diasingkan dari Ambon ke Minahasa, Syekh Ahmad Rifa’i sempat menikah dengan mantan istri Residen Minahasa bernama Nyai Rumambi. Dari pernikahannya ini beliau dikaruniai keturunan yang kini tersebar di Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan lainnya.

Keturunan beliau dari Minahasa dapat diketahui dengan mudah, karena mereka selalu mencantumkan nama Rifa’i di belakang namanya. Misalnya H. Abdurrahman Rifa’i, H. Abdurrahim Rifa’i, Sumardjono Rifa’i, Suwarso Rifa’i, Rachmat Rifa’i, Iskandar Rifa’i, Hj. Masrikah Rifa’i, HHj. Mastin Rifa’i, Hj. Ayun Rifa’i dan lain-lainnya. Akan tetapi sayangnya mereka tidak paham bahasa Jawa, meskipun tinggal di desa namanya Kampung Jawa Tondano dan namanya Kampung Reksonegoro Gorontalo, tetapi tidak paham bahasa Jawa sehingga tidak dapat memahami karya-karya Eyangnya yang tertulis dalam bahasa Jawa itu.

Adapun keturunan beliau dari Tanah Jawa, tidak banyak diketahui orang. Padahal tertulis dalam sejarah bahwa beliau sebelum pergi ke Mekah, telah menikah dengan seorang perempuan asli Kendal, bernama Ummul Umrah. Dari pernikahannya ini, beliau dikaruniai lima orang anak, yaitu KH. Raden Khobar, KH. Raden Juned, KH. Raden Jauhari, Raden Roro Nyai Zaenah, dan Raden Roro Nyai Fathimah yang lebih dikenal dengan nama Raden Roro Nyai Umroh.

Akan tetapi sejak beliau ditangkap dan diasingkan ke Ambon, keturunannya terputus dan tidak disebut lagi dalam sejarah. Kecuali Raden Roro Nyai Umroh yang menjadi isteri Imam Puro (Maufuro) seorang santri senior yang diserahi tugas untuk mengurus pesantren. Pasca penangkapan Syekh Ahmad Rifa’i, keadaan. makin mencekam, Imam Puro yang diserahi amanat untuk mengurus pesantren Kalisalak merasa sangat tertekan. Tidak lama kemudian beliau pergi bersama keluarganya meninggalkan desa Kalisalak menuju ke Malaka untuk mencari keselamatan. Beliau tinggal di sana hingga wafatnya, tetapi tidak diketahui tempat

tinggalnya hingga sulit untuk dicari jejaknya. Dengan demikian sejarah perjalanan keluarga Syekh Ahmad Rifa’i dari Tanah Jawa menjadi terputus. Adapun pernikahannya dengan mantan isteri Demang Kalisalak, hingga beliau menjalani proses verbal di Pengadilan Batang dan diasingkan ke Ambon masih belum diberi keturunan (anak).

7.Karya-Karyanya

Syekh Ahmad Rifa’i, selain seorang muballigh dan pengasuh pondok pesantren juga seorang penulis yang produktif. Karya-karyanya dituangkan dalam bahasa Jawa dan ditulis dengan huruf Arab pegon dengan tinta merah dan hitam yang lebih dikenal dengan kitab Tarajumah. Jumlahnya mencapai 69 judul kitab, isinya mencakup ilmu ushul, fikih dan tasawuf. Di antara kitabnya yang menerangkan ilmu telu: ushul, fikih dan tasawuf, ialah Kitab Husnul Mithalab (1259 H/1842 M), Asnal Miqashad (1261 H/1845 M), Abyanal Hawa’ij (1265 H/1848 M) dan Ri’ayatul Himmah (1266 H/1849 M). Dan di antara kitabnya yang hanya menerangkan satu bidang ilmu atau tema-tema tertentu (tematik), ialah Kitab Tabyinal Ishlah (fikih munakahat, 1264H/1847M), Tasyrihatal Muhtaj (fikih mu’amalah, 1265 Η/1848 M), Mushlihat (fikih Mawarits, 1270 H/1853 M). dan Wadlihah (fikih haji, 1272 H/1855 M).

8. Pandangannya

Syekh Ahmad Rifa’i dalam kitab-kitabnya selalu menegaskan bahwa ajarannya itu mengikuti madzhab Ahlussunnah wal-Jamaah (Syafi’i Madzhabe Ahli Sunni Thariqathe). Yaitu dalam ilmu ushul mengikuti madzhab Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam ilmu fikih mengikuti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, dengan penekanan pada madzhab Asy-Syafi’i, dan dalam ilmu tasawuf mengikuti Imam Al-Junaidi dan Imam Al-Ghozali. Namun demikian ada beberapa pandangannya yang dianggap kontroversial, yaitu pemikiran tentang rukun Islam satu dan beberapa praktek keagamaan yang dilaksanakan oleh masyarakat dianggap tidak sah karena tidak memenuhi syarat.

Dalam kitab Syarihul Imam beliau menjelaskan bahwa pokok-pokok agama yang harus dilaksanakan ada lima, yaitu membaca syahadat, melaksanakan shalat, membayar zakat, puasa di bulan Ramadhan dan pergi haji ke Baitullah. Tetapi dalam kitab Tahyirah beliau menegaskan bahwa rukun Islam itu hanya satu (sawiji belaka), yaitu membaca dua kalimah syahadat. Penegasan ini mendapat komentar dari para ulama, bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat merupakan sendi agama Islam yang pokok (rukun umdah), sedangkan rukun-rukun yang lain, seperti shalat, zakat, puasa dan haji adalah sendi-sendi yang menyempurnakan (rukun kamalah) dan keabsahannya tergantung pada dua kalimat syahadat tersebut. Dengan demikian baik dalam pandangan teologis maupun sosiologis bahwa orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat berarti telah menjadi muslim meskipun orang tersebut belum menjalankan rukun-rukun yang lainnya.

Selain itu ada beberapa praktek keagamaan di masyarakat yang dianggap tidak memenuhi persyaratan, diantaranya praktek shalat jumat dan praktek pernikahan. Pada waktu itu praktek shalat jumat tidak mempertimbangkan adad al-jum’at yang memenuhi persyaratan sesuai ketentuan ulama fikih. Begitu juga khatib dan khutbahnya tidak mempertimbangkan syarat-rukun, sehingga hukumnya tidak sah. Demikian juga praktek pernikahan, tidak dilaksanakan oleh wali dan saksi yang adil, hukumnya tidak sah. Apalagi akad nikahnya dilaksanakan oleh Penghulu (qadhi) yang diangkat oleh raja kafir, hukumnya tidak sah. Untuk mengatasi hal ini Syekh Ahmad Rifa’i menyelenggarakan shalat jum’at sendiri dan para santri yang akad nikahnya dilaksanakan oleh Penghulu di Kantor, dinikahkan kembali di pesantrennya (tajdid al-nikah).

Sikap Syekh Ahmad Rifa’i yang demikian menimbulkan kesalah fahaman di kalangan mayoritas umat Islam, sehingga beliau dituduh telah mengajarkan aliran sesat. Dengan tuduhan tersebut ditambah dengan sikapnya terhadap pemerintah kolonial yang keras, akhirnya beliau dijatuhi hukuman pengasingan, yaitu ke Ambon, kemudian ke Minahasa.

9.Perjuangannya

Syekh Ahmad Rifa’i hampir seluruh hidupnya untuk berjuang. Perjuangannya meliputi urusan dunia dan urusan akhirat (umur al-dunya wa al-dien). Banyak akademisi yang memberikan komentar bahwa Kiai Rifa’i dalam setiap kesempatan selalu membangun semangat berjuang untuk negeri dan menanamkan jiwa patriotisme kepada para murid agar menentang penjajahan. Semangat juang dan jiwa patriotisme itu beliau tulis dalam kitab-kitabnya agar selalu dibaca oleh murid-murid dan disebarkan kepada masyarakat. Beliau prihatin melihat masyarakat muslim di Tanah Jawa yang hidup terbelakang, bodoh, miskin dan tertindas akibat dari penjajahan. Beliau ingin mengubah keadaan masyarakat agar percaya diri, bermental kuat, berakidah yang lurus, beribadah yang benar, bermu’amalah yang jujur, dan terbebas dari belenggu kaum penjajah yang dzalim.

Konsep perjuangan ini disosialisasikan melalui dakwah keliling kota dan pengajian-pengajian umum. Tema-tema perjuangan, anti kolonialisme dan anti imperialisme selalu dilontarkan dalam dakwahnya. Demikian pula upaya dalam mendidik murid-murid agar fanatik Islam, fanatik kebangsaan, dan benci penjajahan. Syekh Ahmad Rifa’i melarang murid-murid (haram hukumnya) menjadi pegawai yang ada hubungannya dengan pemerintah Belanda. Semangat ini dituangkan dalam tulisan dan dakwahnya. Karya-karya beliau hampir seluruhnya ditemukan adanya kecaman terhadap pemerintah penjajah dan birokrat pribumi yang bekerja sama dengan mereka. Kata-kata raja kafir, raja dzalim, orang munafik,dan orang fasik selalu dilontarkan kepada kaum penjajah dan orang-orang yang membantu penjajah untuk menindas rakyat. Beliau memandang bahwa bekerja sebagai petani meskipun rendah adalah lebih baik dari pada menjadi pegawai pemerintah penjajah.

Menjadi pegawai yang mengabdi kepada penjajah hukumnya haram dan pelakunya berdosa. Dari pandangannya ini KH. Ahmad Rifa’i memandang semua birokrat pribumi yang bekerja pada kaum penjajah adalah fasik, tidak dapat menjadi panutan umat (ora sah ginawe guru). Pandangan beliau yang demikian selalu menjadi pegangan murid-murid dan berimbas hingga setelah zaman kemerdekaan. Warga Rifa’iyah hingga awal masa kemerdekaan masih banyak yang belum berminat menjadi pegawai, karena khawatir fasik, dan tidak sah menjadi panutan umat.

 

C.ORGANISASI RIFA’TYAH

1. Tahun Berdiri

Rifa’iyah sebagai Organisasi Kemasyarakatan Islam baru didirikan pada tanggal 25 Desember 1991. Yaitu pada saat ulama dan cendekiawan Rifa’iyah menyelenggarakan Silaturahmi Nasional Pertama di komplek Pondok Pesantren Al-Ishlah Jungjang, mereka mendeklarasikan berdirinya organisasi Rifa’iyah-Tarajumah.

Sebelum itu, pada tahun 1965, sudah berdiri Yayasan yang berpusat di Kabupaten Pemalang dan berdiri cabang-cabang dan ranting di Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Tokoh-tokoh pendiri sekaligus pengurus pusat Yayasan Pendidikan Islam Rifa’iyah (Yasrif) ialah Ust. Carbin, Kiai Ramli, Kiai Achmad Chambali, Mohammad Nasir, Solechan, Ali Hadji Abdurachim, Thoha dan Abdullah Thohir. Mereka adalah ulama muda Rifa’iyah yang memiliki semangat untuk melestarikan perjuangan dakwah dan pendidikan KH. Ahmad Rifa’i. Dengan berdirinya Yayasan tersebut, Rifa’iyah telah memiliki badan hukum yang sah dan legal walaupun masih terbatas.

2. Latar Belakang Berdirinya Organisasi

Organisasi Rifaiyah lahir terinspirasi hasil Seminar Nasional “Mengungkap Pembaharuan Islam Abad XIX Gerakan Kiyai Haji Ahmad Rifa’i, Kesinambungan dan Perubahannya” yang diselenggarakan di Balai Kajian Sejarah Yogyakarta tanggal 12-13 Desember 1990 dan semangat Festival Istiqlal 1991 di Jakarta.

Seminar Nasional di Yogyakarta diselenggarakan oleh Jama’ah Rifa’iyah bekerjasama dengan Jurnal Ilmu dan Kebudayan Al-Qur’an, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, dan Masyarakat Sejarawan Indoneia Cabang Yogyakarta. Seminar selama 2 (dua) hari, dihadiri 200 peserta, dari basis Rifa’iyah, ormas Islam, Perguruan Tinggi dan Ulama Pondok Pesantren, termasuk KH Ma’mur Noor dari Cirebon. Nara sumber, antara lain Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo (pakar sejarah), Dr. Kuntowidjojo (dosen UGM), Drs. Tasyhadi (Kepala Balai Kajian Sejarah Yogyakarta), Adabi Darban, MA (dosen UGM), Dr. Simuh (Rektor IAIN Suka), Drs. Hasyim Asy’ary, MA (dosen UGM), H. Karkono Kamadjaya Partokusumo (Budayawan), Drs. Anhari Basuki, SU (dosen Undip), Drs. Wasyim Bilal (Budayawan), Drs. Amaluddin, MS (dosen Undip), Drs. Musa Al-Asy’ari (dosen IAIN Suka), dan Drs. Marzuki Rasyid (Dekan Fak Syari’ah IAIN Suka). Nara sumber internal antara lain Drs. Mukhlisin Muzarie, Drs. Mursidin Romli, Drs. Slamet Siswadi dan Chaeruddin Hasbullah.

Keputusan penting dari Seminar tersebut menyimpulkan, pertama bahwa ilmu ushul, fikih, tasawuf yang diajarkan oleh KH. Ahmad Rifa’i dalam kitab-kitab Tarajumah sesuai faham Ahlussunnah Waljamaah yang dikenal di pondok-pondok pesantren di Indonesia. Kedua merekomendasikan agar warga Rifa’iyah mendirikan organisasi sebagai wadah perjuangan melestarikan dakwah Syekh Ahmad Rifa’i. Ketiga merekomendasikan agar jamaah Rifa’iyah mengusulkan KH Ahmad Rifa’i dianugerahi Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Sedangkan Festival Istiqlal di Jakarta, warga Rifa’iyah menampilkan berbagai karya KH Ahmad Rifa’i dan kebudayaan Jawa berupa Terbang. Terbang Jawa dari Wonosobo dengan tembang berupa syarat-syaratan ditampilkan di arena Festifal di Jakarta.

Dalam Festival Istiqlal itu warga Rifa’iyah membuka stand selama 5 (lima) hari dengan membagi-bagikan brosur berbahasa Inggris dan berbahasa Indonesia kepada para pengunjung. Stand Rifa’iyah setiap hari dikunjungi ribuan orang dari dalam dan luar negeri sehingga nama Syekh Ahmad Rifa’i Al-Jawi dikenal oleh masyarakat luas. Secara keseluruhan kegiatan tersebut menginspirasi berdirinya organisasi Rifaiyah sebagai wadah perjuangan untuk melestarikan dakwah dan pendidikan Syekh Ahmad Rifa’i.

Jama’ah Rifa’iyah sesungguhnya telah mengajukan Makalah tentang pemikiran dan gerakan KH Ahmad Rifa’i Al-Jawi kepada Panitia Simposium, tetapi karena banyaknya makalah yang masuk, terutama dari Daerah Jawa Timur, DIY dan Daerah luar Jawa bekas Kesultanan, maka Makalah tentang Pemikiran dan Gerakan. KH Ahmad Rifa’i tersebut tidak sempat dibacakan.

3. Para Pendiri Rifa’iyah

Seperti dijelaskan di atas bahwa Rifa’iyah didirikan oleh Ulama dan Cendekiawan Rifa’iyah dalam Silaknas yang diselenggarakan di Cirebon tanggal 25 Desember 1991. Tokoh-tokoh pendiri antara lain KH. Ali Munawir Ridwan (Kendal), KH. Muhammad Saud Al-Arba’ie (Kendal), KH Ahmad Sadzirin Amin (Pekalongan), KH. Rois Yahya Dahlan (Pati), KH Hakamuddin Halali (Cirebon), KH Moch. Asiri Dasuki (Cirebon), KH Ali Nahri (Batang), Hasyim Asy’ari, MA (Yogyakarta), dan Drs. Mukhlisin Muzarie (Cirebon). Kemudian dikukuhkan oleh Notaris Haji Junaedi SH Notaris Kabupaten Kendal pada tanggal 5 Maret 2007 dengan mencantumkan nama-nama penghadap/pendiri yaitu KH. Ali Munawir Ridwan, KH Ahmad Sadzirin Amin, H. Mukhlisin Muzarie, KH. Ali Nahri, H Abdul Cholik dan H. Abdul Jamil Kendal.

Sebelumnya, pada tahun 2004 Rifa’iyah telah didaftarkan di Kementerian Dalam Negeri dan diperpanjang pada tanggal 1 April 2009 hingga berlaku sampai dengan tahun 2013. Kemudian Badan Hukumnya disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tangal 15 September 2015. Dengan demikian Rifa’iyah sebagai organisasi kemasyarakatan Islam telah legal dan berbadan hukum yang sah.

4. Asas dan Aqidah

Organisasi Rifa’iyah berasaskan Pancasila, ber’aqidah Islamiyah, berhaluan Ahlussunnah wal-Jama’ah.

5.Visi, Misi, dan Tujuan

a. Visi

Islam kamil, syamil, lugas, tegas, mudah difahami dan mudah diamalkan, sesuai ajaran Ahlussunnah wal-Jama’ah dan wawasan ke-Indonesia-an.

b. Misi

1) Membangun pesantren memadu sistem pendidikan salaf dan sistem pendidikan modern.

2) Menyelenggarakan pengajaran Al-Qur’an, pengajian kitab-kitab kuning, dan pengajian kitab-kitab Tarajumah.

3) Menyelenggarakan pendidikan formal berbasis lingkungan, bercorak keagamaan, umum, dan kejuruan, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

4) Membangun lembaga dakwah, ekonomi, sosial dan budaya yang berwawasan ke-Islaman dan ke-Indonesiaan.

c. Tujuan

Menjadi wadah perjuangan warga Rifa’iyah dan simpatisan dalam melestarikan dakwah KH Ahmad Rifa’i yang syamil, kamil, lugas, tegas, mudah difahami dan mudah diamalkan, menuju masyarakat Indonesia yang taat beragama, ramah, dan peduli terhadap sesama.

6. Kepengurusan PP Rifa’iyah

Kepengurusan Rifaiyah-Tarajumah periode pertama (1991-1997) Ketua Umum KH.Muhammad Saud Al-Arba’ie (Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Muttaqin) Cepokomulyo Kendal dan Sekretaris Umum KH. Ahmad Sadzirin Amin (Pengasuh Pondok Pesantren INSAF) Kedungwuni Pekalongan.

Periode kedua (1997-2004) hasil Muktamar-V Tahun 1997 di Wonosobo, Ketua Dewan Syuro Rifa’iyah KH Munawir Ridhwan (Pengasuh Pondok Pesantren Bantaran Kendal), Sekretaris Dewan Syuro Prof. Dr. KH. Abdul Jamil, MA (Semarang), Ketua Umum KH Ahmad Sadzirin Amin (Pekalongan) dan Sekretaris Jenderal Drs. H.Mukhlisin Muzarie. M.Ag (Cirebon).

Periode Ketiga (2004-2008) hasil Muktamar VI Tahun 2004 di Semarang setelah melalui voting, terpilih Ketua Dewan Syuro KH. Munawir Ridhwan (Kendal), Sekretaris Dewan Syuro Prof. Dr. KH. Abdul Jamil, MA (Semarang), Ketua Umum KH. Ahmad Sadzirin Amin (Pekalongan) dan Sekretaris Jenderal Drs. H.Mukhlisin Muzarie. M.Ag (Cirebon).

Periode keempat (2008-2013) hasil Muktamar VII Tahun 2008 di Kendal setelah melalui voting, terpilih Ketua Dewan Syuro KH Ahmad Sadzirin Amin, Sekretaris Dewan Syuro Prof. Dr. KH Abdul Jamil, MA, Ketua Umum Dr. H. Mukhlisin Muzarie, M.Ag dan Sekretaris Jendelal H. Imam Ghozaly, S.Ag (Karawang).

Namun karena KH Ahmad Sadzirin Amin wafat dan Prof. Dr. KH Abdul Jamil, MA pindah tugas, semula Rektor IAIN Walisongo Semarang alih tugas menjabat Kepala Litbang Agama Jakarta, kemudian Direktur Jenderal Bimas Islam, dan kemudian Direktur Jenderal Penyelenggara Urusan Haji Kementerian Agama di Jakarta, maka berdasarkan hasil Muspim tahun 2011 yang membahas pergantian antar waktu, menetapkan jabatan Ketua Dewan Syuro KH Muhammad Amin Ridho, Sekretaris Dewan Syuro H. Nurzuhad, SE.

Periode kelima (2013-2018) berdasarkan hasil Muktamar VIII Tahun 2013 di Pekalongan menetapkan Ketua Dewan Syuro KH Muhammad Amin Ridho, sekretaris Dewan Syuro K. Muhammad Ma’ruf Sabrawi, Ketua Umum Dr. H. Mukhlisin Muzarie, M.Ag dan sekretaris Jenderal H. Imam Ghozali S.Ag. Periode berikutnya (2018-2023) berdasarkan Keputusan Muktamar IX Tahun 2018 di Wonosobo menetapkan Ketua Dewan Syuro KH. Imbuh Jumlai (Temanggung), Sekretaris KH Muhammad Ma’ruf Sabrawi (Batang), Ketua Umum Dr. KH. Mukhlisin Muzarie, M.Ag, Sekretaris Jenderal H.Saeful Arif, SH, MKn

7. Wilayah Binaan

Wilayah binaan Pimpinan Pusat Rifa’iyah meliputi 24 propinsi, yaitu propinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Banten, Jawa Timur, Bali, Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Bangka Belitung, Bengkulu, Riau, Kepulauan Riau (Kepri), Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat.

Wilayah binaan tersebut sebagiannya telah terbentuk kepengurusan yang lengkap dan sebagian lagi baru terkonsolidasi dan tersosialisasi. Problem utama dalam pembinaan jamaah Rifa’iyah adalah masalah transportasi. Selain harus menjangkau daerah pedesaan di luar Jawa yang masih sulit, juga biayanya cukup besar.

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.