Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan beberapa organisasi di Indonesia mengambil langkah berani dalam mengelola sumber daya alam, termasuk sektor pertambangan. Hal ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 yang memungkinkan ormas keagamaan mengelola lahan pertambangan melalui badan usaha.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menerima tawaran resmi dari pemerintah untuk pengelolaan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Sebelumnya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga telah menerima tawaran serupa. Selain NU dan Muhammadiyah, pemerintah juga menawarkan izin pengelolaan tambang kepada ormas lain, seperti Persatuan Islam (Persis)
Pertanyaan yang menarik muncul: Apakah Rifa’iyah, sebagai salah satu organisasi masyarakat (ormas) Islam di Indonesia, juga perlu mempertimbangkan langkah serupa? Namun, pertanyaan ini sesungguhnya lebih dalam dari sekadar aspek ekonomi atau bisnis. Belum diketahui betul, apakah Rifa’iyah termasuk mendapatkan tawaran serupa dari Pemerintah atau tidak. Tetapi hal tesebut tidaklah penting. Karena jika pun tawaran tersebut disampaikan, lebih baik tidak mengambil peluang tersebut. Pertanyaan judul di atas hanyalah pembuka. Yang perlu kita renungkan adalah: bagaimana Rifa’iyah mempersiapkan sumber daya manusia (SDM)-nya untuk menghadapi tantangan zaman tanpa kehilangan jati diri sebagai pengikut ajaran KH. Ahmad Rifa’i?
Peluang dan Tantangan
Era modern menawarkan banyak peluang, tetapi juga menuntut kesiapan dan kualitas SDM yang unggul. Dalam konteks ini, Rifa’iyah memiliki tantangan besar: bagaimana membangun individu yang kompetitif di dunia profesional dan wirausaha, tetapi tetap berpegang teguh pada nilai-nilai ajaran KH. Ahmad Rifa’i.
Dalam dunia yang semakin kompetitif, pendidikan tinggi, keterampilan teknologi, dan penguasaan ilmu pengetahuan menjadi faktor penting. Namun, sebagai warga Rifa’iyah, kita tidak boleh mengorbankan identitas dan prinsip-prinsip moral kita hanya demi mengejar kesuksesan duniawi. Justru, kita harus membangun SDM yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga memiliki keimanan dan akhlak yang kuat.
Perenungan
KH. Ahmad Rifa’i mengajarkan pentingnya menuntut ilmu sebagai jalan menuju kemuliaan. Namun, ilmu yang dikejar bukan hanya sekadar ilmu dunia, melainkan juga ilmu yang dilandasi dengan pemahaman agama yang kuat serta menjaga tradisi-tradisi baik yang diajarkan pendahulu Rifa’iyah kita.
Menilik dari apa yang penulis alami saat masa kanak-kanak, di mana ajaran mengaji kitab tarojumah menempa dalam waktu yang disiplin, di waktu pagi, sore, dan ba’da maghrib. Kita juga disuguhkan kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan nilai-nilai ajaran KH. Ahmad Rifa’i. Maka kita perlu menghadapi realitas ber-tarajumah saat ini dengan sebuah sikap.
Lalu, agar pegangan beragama masih mengakar kuat di tengah kehidupan bermasyarakat yang global dengan tantangan pesatnya perkembangan teknologi dan digitalisasi, rasanya kita perlu merenungkan beberapa pertanyaan berikut :
- Saat anak-anak kita mencapai umur madrasah tsanawiyah atau aliyah, apakah kitab karangan KH. Ahmad Rifa’i ’10 bismillah’ sudah benar-benar dikhatamkan dengan baik?
- Apakah dalam setiap kegiatan lembaga Rifa’iyah atau hajatan di tengah masyarakat Rifa’iyah masih terdapat satir untuk membedakan dan memisahkan jama’ah laki-laki dan perempuan? Atau bahkan kita menyediakan tempat tamu dan pintu yang berbeda di rumah yang memisahkan antara laki-laki dan perempuan?
- Apakah perilaku amar makruf nahi munkar masih biasa ditemukan di lingkungan kita dan diterima dengan sikap tho’at?
- Sebagai orang tua, apakah kita masih gigih untuk prioritas memadrasahkan anak-anak kita ke lembaga formal atau pondok pesantren yang berafiliasi dengan Rifa’iyah?
- Apakah suara-suara alat musik (alat malahi) yang sampai melalaikan ibadah kita masih membiasa di lingkungan Rifa’iyah sekitar kita?
- Apakah sikap beragama dan beribadah kita sudah sesuai dengan salah satu doktrin kuat KH. Ahmad Rifa’i, dengan meninggalkan ‘tinggal wajib milahur sunnah’?
- Apakah anak-anak kita, sudah kita dorong untuk ikut ‘nyekseni’ syahadat dan sholat saat mencapai umur baligh ke alim adil (kiai setempat)?
- Apakah semakin mudah ditemui para pemuda Rifa’iyah dengan cara berpakaian yang masih terlihat aurat? Atau anak gadis kita dengan gaya berpakaian ketat yang atasan ataupun bawahan hanyalah syarat untuk menutup aurat saja?
Tentu masih banyak pertanyaan yang bisa dilontarkan. Tetapi mari kita kembali ke pertanyaan awal, apakah Rifa’iyah harus mengelola tambang? Jawaban dari pertanyaan ini bukan sekadar “ya” atau “tidak”, tetapi lebih kepada kesiapan kita dalam menghadapi tantangan zaman. Mengelola sumber daya alam mungkin bisa menjadi salah satu pilihan, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita membangun SDM yang tetap berpegang teguh pada nilai-nilai tarojumah. Nilai-nilai ajaran KH. Ahmad Rifa’i perlu kita pertahankan. Alih-alih mengabadikan dan meneruskan ke generasi-generasi selanjutnya, sikap acuh dan pembiaran akan meruntuhkan Rifa’iyah. Karangan kitab KH. Ahmad Rifa’i yang lebih dari 65 kitab hanya akan menjadi artefak benda peninggalan sejarah saja. Nilai-nilai ajarannya akan tenggelam dalam laju waktu dan zaman, dan berakhir menjadi dongeng.
Mari kita tatap perkembangan zaman dengan kebutuhannya dengan sikap optimis dan inklusif. Menerima apa yang harus diterima. Berkreasi melakukan upaya-upaya perbaikan dalam penyesuaian kebutuhan zaman. Melakukan filtering apa yang harus kita hindari dengan cara menjaga dan meneruskan ideologi dan ajaran KH. Ahmad Rifa’i sejak dini. Semoga perenungan ini membawa kebaikan. Aamiin.
Oleh : Ahmad Zahid Ali, ST