Alkisah, seorang remaja anak mbarep penjual tahu di Kabupaten Pekalongan, tiap pukul 03.30 dinihari harus mengayuh sepeda onthel menuju pesantren di Batang. Sepeda onthelnya terpaksa gonta-ganti, karena memang ia tidak mempunyai ontel sendiri. Kereta kayuh itu hasil pinjaman dari tetangga-tetangganya.
Tiap dinihari kaki kurusnya mengayuh pedal menaklukkan jarak 10 kilometer demi satu tujuan: bisa ngaji kepada seorang Kiai.
Anehnya, setelah sampai di hadapan Kiai, ia malah tidak bisa ngaji sama sekali. Beberapa hari hanya menjalani titah guru membersihkan ruangan, kumbahan, sampai tangga bambu. Kadang pemuda kismin ini juga harus nyawah, tandur, matun, dst.
Tubuhnya kurus, kulit hitam sawo matang, rambut ikal. Ia harus bersabar khidmat kepada Guru, walau sesekali muncul perasaan kecewa, karena aktivitasnya di pesantren tidak sesuai dengan niat awal.
Sebenarnya pemuda ini kepingin bisa jenak bersama santri-santri lain di Pesantren, tapi kenyataannya tiap hari laju ke pesantren. Ia harus menyingkronkan antara kebutuhan mencari ilmu dan biaya hidup keluarga. Selepas dari pesantren, ia harus bersauh di pasar untuk berdagang tahu demi kelangsungan hidup tujuh adik dan satu Ibunya.
Berdagang juga musiman, kadang ramai, dan kadang sepi pembeli. Ketika jam menunjukkan angka 11.00 ia mulai gusar, mengingat bisa tidak bisa harus menghabiskan dagangannya, karena hasil dagangan sudah dinantikan Simak, untuk beli kedelai, dan biaya makan delapan keluarganya. Kadang saking paniknya, tahu yang masih banyak itu diobral, yang penting kembali modal.
Berbondong-bondong pembeli mengerumuni demi mendapatkan tahu murah. Sontak kaget remaja Golput (golongan putra tahu) itu, karena tak diduga seorang Ibu pedagang daun pisang sebelah menyabetkan pelepah pisang ke remaja itu. Ternyata ramainya pembeli mengakibatkan daun pisang terinjak-injak. Dengan nada nyaring ibu itu bertubi-tubi mengusir agar tidak lagi berdangang di sebelahnya.
Nafasnya berat menyangga hidup yang semakin tidak diinginkan. Di pasar begini, di pondok begitu. Membuat matanya sering berkaca-kaca menahan gejolak rasa tentang hidup yang seberat apapun harus dijalaninya.
Pagi berjalan ke siang. Siang berganti malam. Sungguh hidup bukan tentang menjalani apa yang diinginkan tetapi sesungguhnya hidup itu terus berjuang menjalani apa yang digariskan oleh Tuhan.
Karena alasan yang paling terang diberikan Tuhan di hadapan hambanya : inni ‘alamu ma la ta’lamuun (Sungguh Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui).
Dan Allah SWT tidak membiarkan manusia kebingungan dalam menjalani beragam peristiwa yang paradok dengan harapan-harapannya. Allah memberi kaidah hidup: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).
Sebagaimana puasa yang mempunyai spirit mujahadah diri dalam rangka menaklukkan keinginan-keinginan, harapan-harapan, untuk hanya bersimpuh pada titah Tuhan semata.
Paesan Tengah, 21/9/1446
Ahmad Saifullah