Hampir setiap hari, telinga kita akrab dengan berita tentang korupsi yang seakan menjadi penyakit kronis bangsa. Luka ini kian terasa perih ketika dana yang diselewengkan berasal dari pundi-pundi negara, yang salah satu sumber utamanya adalah pajak dari tetesan keringat rakyat. Wajar, sungguh wajar, jika lahir sebuah kegerahan, skeptisisme, bahkan keengganan untuk menunaikan kewajiban membayar pajak. “Untuk apa membayar jika akhirnya dirampok?” begitu bisik hati banyak orang.
Kegelisahan ini nyata dan harus kita akui. Namun, sebagai umat yang beriman dan bangsa yang berakal, kita tidak boleh larut dalam keputusasaan. Mari kita letakkan persoalan ini di atas meja kejujuran, kita bedah dengan pisau analisis data yang tajam, dan kita timbang dengan neraca keadilan syariat Islam agar kita menemukan jalan keluar yang mencerahkan dan diridai Allah SWT.
Cermin Data: Realitas Luka Korupsi
Sebelum melangkah ke ranah dalil, mari kita tatap wajah kita sendiri melalui cermin data. Ini bukan untuk menyebar pesimisme, tetapi untuk membangun kesadaran kolektif di atas pijakan data faktual. Berdasarkan pantauan dari lembaga kredibel seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) yang kita bandingkan dengan realisasi belanja APBN dari Kementerian Keuangan, kita melihat gambaran berikut:
Tahun | Kerugian Negara Akibat Korupsi (ICW) | Realisasi Belanja APBN (Kemenkeu) | Proporsi Kerugian terhadap Belanja |
2023 | Rp28,4 Triliun | Rp3.121,9 Triliun | ≈ 0,91% |
2022 | Rp42,75 Triliun | Rp3.090,8 Triliun | ≈ 1,38% |
2021 | Rp62,93 Triliun | Rp2.786,8 Triliun | ≈ 2,26% |
Secara nominal dan persentase, tren kerugian yang terungkap memang menunjukkan penurunan. Namun, kita harus jujur bahwa ini hanyalah puncak dari gunung es; angka dari kasus-kasus yang berhasil diungkap ke permukaan. Triliunan rupiah yang seharusnya menjadi jembatan, sekolah, rumah sakit, dan subsidi untuk fakir miskin lenyap ditelan kerakusan. Ini bukan sekadar angka, melainkan luka pada tubuh bangsa dan pengkhianatan terhadap amanah publik.
Ketika Amanah Dikhianati: Analisis Fikih atas Pajak dan Korupsi
Bagaimana syariat memandang persoalan pelik ini? Logika Ushul Fikih memberikan kita panduan yang sangat jelas, dengan memisahkan dua domain tanggung jawab: kewajiban rakyat (mukallaf) dan dosa penguasa (ulil amri) yang menyeleweng.
1. Bagi Rakyat: Kewajiban yang Tidak Gugur
Dalam kerangka negara modern, pajak adalah instrumen ijtihad untuk mewujudkan kemaslahatan umum (maslahah ‘āmmah), yang menjadi jantung dari tujuan syariat (Maqashid Syariah). Tanpa dana yang cukup, negara tidak dapat melindungi jiwa, harta, akal, dan agama rakyatnya.
Kewajiban membayar pajak, selama dilegitimasi oleh pemerintah yang sah untuk tujuan kebaikan bersama, berakar pada perintah untuk taat kepada pemimpin.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri (pemimpin) di antara kalian.” (QS. An-Nisā’: 59)
Ketaatan ini terikat selama perintah tersebut tidak berupa maksiat. Membayar pajak untuk membiayai infrastruktur dan layanan publik bukanlah maksiat. Adanya oknum yang korup tidak secara otomatis menggugurkan kewajiban pokok kita terhadap sistem negara yang menaungi jutaan rakyat lainnya. Rasulullah ﷺ bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat kepada pemimpin dalam perkara yang ia sukai maupun benci, kecuali bila diperintah dalam kemaksiatan. Jika diperintah maksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Analogi sederhananya: kewajiban kita adalah menyalurkan air ke sawah bersama. Jika ada oknum yang melubangi pipa di tengah jalan, bukan berarti kita berhenti mengalirkan air dari sumbernya. Justru, kita wajib terus mengalirkan sambil bersama-sama menambal lubang tersebut.
2. Bagi Penguasa/Pejabat: Dosa Besar dan Ancaman Allah
Di sisi lain, bagi para pejabat yang diberi amanah mengelola dana pajak, syariat memberikan peringatan yang luar biasa keras. Korupsi bukan sekadar kejahatan duniawi, melainkan sebuah pengkhianatan (khiyānah) besar kepada Allah, Rasul-Nya, dan seluruh rakyat.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul, dan jangan pula mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfāl: 27)
Ancamannya tidak main-main, menyentuh hingga keabadian di akhirat. Rasulullah ﷺ bersabda dengan tegas:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tidaklah seorang hamba yang diberi Allah amanah memimpin rakyat, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Wahai para pemegang kekuasaan, renungkanlah hadis ini! Harta korupsi yang dinikmati sesaat di dunia dapat menjadi penghalang abadi dari surga Allah. Kekuasaan adalah amanah yang akan ditimbang seadil-adilnya di Yaumul Hisab.
Jalan Keluar Bersama: Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Lalu, apa solusinya? Islam tidak mengajarkan kepasrahan yang pasif. Syariat justru memerintahkan kita untuk menjadi agen perubahan melalui prinsip agung amar ma’ruf nahi munkar (perintah kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Āli ‘Imrān: 104)
Ini adalah tugas kita bersama:
- Bagi Pemerintah: jalanilah taubat nasional. Perkuat sistem pengawasan internal, berantas korupsi tanpa pandang bulu, ciptakan birokrasi yang transparan dan efisien. Namun yang terpenting, tanamkanlah budaya amanah yang lahir dari rasa takut kepada Allah (takwa), bukan hanya takut pada KPK atau pengadilan. Jadikan setiap rupiah pajak sebagai wasilah meraih ridha Allah dengan melayani rakyat.
- Bagi Rakyat: jangan berhenti pada gerutuan. Salurkan kegerahan Anda menjadi energi positif. Tunaikan kewajiban pajak Anda sebagai bagian dari ikhtiar menjaga negara, sambil secara bersamaan menjadi pengawas yang kritis. Dukung lembaga antikorupsi, tuntut transparansi anggaran, jangan pernah memberi suap sekecil apa pun, dan gunakan hak suara Anda untuk memilih pemimpin yang terbukti amanah dan berintegritas. Jangan mudah disuap.
Penutup
Membangun Indonesia yang bersih dari korupsi adalah sebuah jihad kolektif. Rakyat menunaikan kewajibannya dengan kesadaran, dan pemerintah memegang amanahnya dengan ketakwaan. Keduanya saling mengawasi dan menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
Mari kita ubah narasi dari saling menyalahkan menjadi saling menguatkan. Semoga Allah SWT memberikan hidayah kepada para pemimpin kita untuk menjadi pemegang amanah yang adil, serta memberikan kesabaran dan kekuatan kepada rakyatnya untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Āmīn Yā Rabbal ‘Ālamīn.
Baca Juga: Ketika Imam Kehilangan Kepercayaan Makmum: Refleksi Krisis Kepemimpinan di Pati
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra