Pekalongan – Pimpinan Ranting (PR) Angkatan Muda Rifaiyah (AMRI) Kramatsari, Kota Pekalongan, menggelar kegiatan silaturahim dengan para masyayikh Rifa’iyah di dalam maupun luar kota pada Rabu (2/4). Kegiatan yang bertema “Motoran x Silaturahim” ini bertujuan mempererat hubungan antar sesama warga Rifa’iyah sekaligus mengenalkan generasi muda pada sejarah dan jaringan ulama dalam organisasi tersebut. Dinamakan ‘Motoran’ karena puluhan tahun kegiatan ini berjalan selalu menggunakan moda transport motor.
Di wilayah Kota Pekalongan, rombongan AMRI Kramatsari bersilaturahim kepada para masyayikh yang berperan dalam ngifayahi di Kramatsari. Mereka antara lain Kyai Affan Dzul Fadhol dari Madukaran, KH. Abdul Khafidz Akmal dari Kedungwuni, serta KH. Ahmad Izzuddin dari Paesan Utara. Sementara itu, untuk kunjungan luar kota, rombongan menyambangi salah satu sesepuh Rifa’iyah di Susukan, Kalibening, Banjarnegara, yakni Simbah Kyai Hadi yang kini berusia 95 tahun.
Ketua AMRI Kramatsari, Sofwan Zaky, yang memimpin rombongan berjumlah 38 orang tersebut, menuturkan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk kemandirian AMRI dalam menjalin hubungan dengan para ulama. “Ibarat anak kecil yang telah diizinkan keluar rumah tanpa didampingi bapaknya (Rifaiyah), Kami ingin menunjukkan bahwa AMRI juga memiliki semangat untuk menjaga tali silaturahim dan memperkokoh jalinan persaudaraan,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menyatakan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari upaya untuk mempererat persaudaraan dan meneguhkan ajaran yang diwariskan KH. Ahmad Rifa’i.
“Kegiatan ini sudah berlangsung selama puluhan tahun. Ini adalah cara kami untuk mengenalkan bahwa kita memiliki saudara seiman yang jauh di sana serta menguatkan tali persaudaraan antar sesama warga Rifa’iyah,” ujarnya.
Menelusuri Jejak Sejarah Rifa’iyah di Susukan
Di sela kunjungan, para peserta berziarah ke makam Mbah Karshif dan mendengarkan paparan sejarah Rifa’iyah di Susukan dari Kyai Hadi. Ia mengisahkan bahwa sebelum istilah Rifa’iyah dikenal, masyarakat setempat lebih familiar dengan sebutan “orang Budiyah” atau “orang Tarajumah”.

Menurutnya, pada masa lalu, masyarakat belum mengenal istilah Rifa’iyah, NU, maupun Muhammadiyah. Mereka hanya mengenal ibadah shalat tanpa afiliasi organisasi tertentu. “Taunya sholat, ya sholat gitu saja,” ujar beliau.
Perkembangan ajaran Rifa’iyah di Susukan bermula dari kedatangan KH. Kalma, seorang pedagang lulang (kulit kambing) dari Jetak, Wonopringgo, Pekalongan. Di sela aktivitas berdagang, ia membawa dua kitab berbahasa Jawa Pegon, yakni Ugo Wajib dan Ngibadat, yang kemudian diajarkan kepada masyarakat setempat. Dengan penerangan seadanya di dekat genen (tungku), mereka belajar kitab terjemahan (Tarajumah) dengan cara dituduhno artine bahkan hingga hafal kedua kita tersebut.
Seiring waktu, ajaran ini diteruskan dan mendapat dukungan dari tokoh-tokoh lain seperti Mbah Abdullah, Mbah Kasbullah, Mbah Mail, dan Mbah Sulaiman dari Karangtengah, Kalibening. Kini, komunitas Rifa’iyah di Susukan tetap bertahan dengan sekitar 120 kepala keluarga. “Kami berharap ajaran KH. Ahmad Rifa’i tetap dipegang teguh. Meski pernah ada upaya masuknya tarekat lain, warga tetap berpegang teguh jazem pada kitab Tarajumah,” ujar Kyai Hadi.
AMRI Kramatsari juga mencatat bahwa silaturahim ini telah dilakukan ke berbagai daerah, termasuk Pemalang (Tanahbaya Randudongkal, Badak Belik, Jatingarang, Longkeyang), Batang (Adinuso Subah, Donorejo, Gondang Subah, Tambakboyo), serta Kendal (Aram-aram, Purwosari, Cepoko Mulyo). Bahkan, beberapa daerah telah dikunjungi lebih dari satu kali.
Melalui kegiatan ini, AMRI Kramatsari berharap silaturahim dengan para masyayikh dan warga Rifa’iyah dapat terus terjalin erat, sekaligus menjaga warisan intelektual Islam melalui kitab-kitab Tarajumah. (HQ Hudanallah)