Deskripsi Masalah
Istilah harta gono-gini berasal dari masyarakat Jawa yang merujuk pada harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan. Dalam konteks hukum Indonesia, harta ini dikenal sebagai harta bersama dan diatur dalam beberapa peraturan, antara lain:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
- Menurut hukum negara (positif di Indonesia): Dalam Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.” Artinya, meskipun yang bekerja atau berpenghasilan hanya satu pihak, selama tidak ada perjanjian pisah harta, maka harta yang diperoleh tetap dianggap milik bersama.
- Menurut hukum Islam: Dalam Kompilasi Hukum Islam (Pasal 97) dinyatakan bahwa “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak atas separuh dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”
Dalam Islam, prinsip keadilan ditegakkan dengan melihat kontribusi masing-masing pasangan, baik secara langsung (ekonomi) maupun tidak langsung (mengurus rumah tangga). Oleh karena itu, pembagian harta gono-gini juga mempertimbangkan peran nonfinansial pasangan.
Secara historis, konsep ini berkembang karena adanya pengakuan bahwa dalam pernikahan, suami dan istri saling membantu, baik dalam bentuk kerja nyata maupun dukungan moral, sehingga harta yang diperoleh selama itu dianggap hasil kerja sama keduanya.
Dalam kehidupan rumah tangga, khususnya di kalangan pedagang, sering dijumpai praktik pemisahan keuangan antara suami dan istri, yang dikenal dalam istilah Jawa sebagai “duwet lanang duwet wadon.” Maksudnya, uang hasil dagang suami tidak dicampur dengan uang hasil dagang istri. Masing-masing mengelola sendiri keuangannya, meskipun kebutuhan rumah tangga ditanggung bersama.
Permasalahan muncul ketika membahas kewajiban zakat. Dalam kondisi seperti ini, bisa saja harta masing-masing tidak mencapai nishab (batas minimum wajib zakat), sehingga keduanya merasa tidak berkewajiban mengeluarkan zakat. Namun, jika harta suami dan istri digabung, total nilainya bisa mencapai atau melebihi nishab, sehingga seharusnya dikenakan zakat.
Pertanyaan
Apakah tetap diwajibkan zakat dengan mengumpulkan harta keduanya?
Jawaban
Harta suami istri yang dijadikan satu (khalṭah) dan telah mencapai nishab zakat selama satu tahun Hijriah (ḥaul), maka harta tersebut wajib dizakati menurut qawl jadīd-nya Imam Syafi‘i yang menyatakan bahwa khalṭah tidak dikhususkan hanya pada hewan ternak (mawāshī).
Harta gono-gini dalam perspektif fikih adalah harta yang diperoleh selama pernikahan dan menjadi milik bersama suami dan istri. Untuk zakatnya, harta gono-gini yang mencapai nishab (syarat minimal harta yang wajib dizakati) perlu dizakati dengan ketentuan yang berlaku, yaitu 2,5% dari total nilai harta.
Penjelasan Lebih Lanjut
- Harta Gono-gini:
Harta gono-gini adalah harta yang diperoleh selama pernikahan, baik dari hasil usaha bersama, hibah, warisan, atau sumber lainnya. - Syarat Zakat:
Zakat wajib dikeluarkan jika harta gono-gini mencapai nishab dan telah dimiliki selama satu tahun Hijriah.
يَقُولُ ٱلشِّيرَازِيُّ:
“فَأَمَّا ٱلْخُلْطَةُ فِي غَيْرِ ٱلْمَوَاشِي وَهِيَ ٱلْأَثْمَانُ وَٱلْحُبُوبُ وَٱلثِّمَارُ فَفِيهَا قَوْلَانِ: قَالَ فِي ٱلْقَدِيمِ: لَا تَأْثِيرَ لِلْخُلْطَةِ فِي زَكَاتِهَا؛ لِأَنَّ ٱلنَّبِيَّ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((ٱلْخَلِيطَانِ مَا ٱجْتَمَعَا عَلَى ٱلْحَوْضِ وَٱلْفَحْلِ وَٱلرَّعْيِ))، وَلِأَنَّ ٱلْخُلْطَةَ إِنَّمَا تَصِحُّ فِي ٱلْمَوَاشِي؛ لِأَنَّ فِيهَا مَنْفَعَةً بِإِزَاءِ ٱلضَّرَرِ، وَفِي غَيْرِهَا لَا يُتَصَوَّرُ غَيْرُ ٱلضَّرَرِ؛ لِأَنَّهُ لَا وَقْصَ فِيهَا بَعْدَ ٱلنِّصَابِ.”
“وَقَالَ فِي ٱلْجَدِيدِ: تُؤَثِّرُ ٱلْخُلْطَةُ لِقَوْلِهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((لَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُتَفَرِّقٍ، وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ))، وَلِأَنَّهُ مَالٌ تَجِبُ فِيهِ ٱلزَّكَاةُ، فَأَثَّرَتِ ٱلْخُلْطَةُ فِي زَكَاتِهِ كَٱلْمَاشِيَةِ، وَلِأَنَّ ٱلْمَالَيْنِ كَٱلْمَالِ ٱلْوَاحِدِ فِي ٱلْمُؤَنِ، فَهِيَ كَٱلْمَوَاشِي.”
وَيَقُولُ ٱلنَّوَوِيُّ:
“وَلَوِ ٱشْتَرَكَ أَهْلُ زَكَاةٍ فِي مَاشِيَةٍ زَكَّيَا كَرَجُلٍ، وَإِلَّا ظَهَرَ تَأْثِيرُ خُلْطَةِ ٱلثَّمَرِ وَٱلزَّرْعِ وَٱلنَّقْدِ وَعَرْضِ ٱلتِّجَارَةِ.”
ومِمَّا يُرَجِّحُ ٱلْأَخْذَ بِمَذْهَبِ ٱلشَّافِعِيِّ ٱلْجَدِيدِ أَنَّ طَرْحَ ٱلْأَسْهُمِ ٱلَّتِي لَا تَبْلُغُ ٱلنِّصَابَ يَجِبُ أَلَّا يَتِمَّ إِلَّا بَعْدَ ٱلْتَّحَقُّقِ مِنْ أَنَّ أَصْحَابَهَا لَا يَمْلِكُونَ مَا يُكَمِّلُ ٱلنِّصَابَ، وَفِي هَذَا مَشَقَّةٌ عَلَى ٱلشَّرِكَةِ، وَٱلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ ٱلتَّيْسِيرَ.
كَيْفَ تُؤَدَّى زَكَاةُ ٱلْخَلِيطَيْنِ؟
يُعْتَبَرُ ٱلْخَلِيطَانِ -مِنْ أَيِّ ٱلْقِسْمَيْنِ كَانَا- مَالًا وَاحِدًا لِرَجُلٍ وَاحِدٍ فِي تَعَلُّقِ ٱلزَّكَاةِ بِهِمَا. أَيْ: فَإِذَا بَلَغَ مَجْمُوعُ ٱلْخَلِيطَيْنِ نِصَابًا، وَحَالَ عَلَيْهِ ٱلْحَوْلُ، وَهُوَ كَذَلِكَ، وَجَبَتِ ٱلزَّكَاةُ فِيهِمَا، وَإِنْ كَانَتْ حِصَّةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنَ ٱلْمَالِكَيْنِ مُنْفَرِدَةً لَا تَبْلُغُ نِصَابًا.
دَلِيلُهُ:
حَدِيثُ ٱلْبُخَارِيِّ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنْهُ، وَقَدْ مَرَّتْ بِكَ فَقَرَاتٌ مِنْهُ، وَفِيهِ:
“لَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُفْتَرِقٍ، وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ، خَشْيَةَ ٱلصَّدَقَةِ.”
وَمَعْنَاهُ: إِذَا كَانَ نَصِيبُ كُلِّ مَالِكٍ مُفْتَرِقًا أَوْ مُتَمَيِّزًا عَنْ غَيْرِهِ، فَلَا يُجْمَعُ مَعَهُ لِيُصْبِحَ ٱلْمَجْمُوعُ نِصَابًا فَتُجْتَنَبُ فِيهِ ٱلزَّكَاةُ، وَإِذَا كَانَ مُخْتَلِطًا بِهِ، فَلَا يُمَيَّزُ عَنْهُ حَتَّى لَا تَجِبَ فِيهِ ٱلزَّكَاةُ؛ لِأَنَّهُ يُصْبِحُ أَقَلَّ مِنَ ٱلنِّصَابِ.
وَهَذَا ٱلْحُكْمُ -كَمَا تَرَى- مِنْ شَأْنِهِ فِي بَعْضِ ٱلْأَحْيَانِ: أَنْ يُوجِبَ فِي ٱلْمَالَيْنِ زَكَاةً لَمْ تَكُنْ وَاجِبَةً فِيهِمَا لَوْلَا ٱلِاخْتِلَاطُ، كَمَا أَنَّ مِنْ شَأْنِهِ أَيْضًا فِي أَحْيَانٍ أُخْرَى أَنْ يُقَلِّلَ نِسْبَةَ ٱلزَّكَاةِ فِيهِمَا، وَقَدْ كَانَتْ أَكْثَرَ فِيهِمَا لَوْلَا ٱلِاخْتِلَاطُ.
Sumber Bahtsul Masa’il Rifa’iyah : Hasil Rumusan Bahtsul Masa’il Waqi’iyah Bahtsul Masa’il Rifaiyah (BMR)