Bayangkan sebuah warisan yang tak hanya indah di mata, tapi juga kaya makna di hati. Sebuah tradisi yang diwariskan turun-temurun, dari tangan ke tangan perempuan, diiringi lantunan kidung dan selawat yang menenangkan jiwa. Itulah Batik Rifaiyah, permata dari Desa Kalipucang Wetan, Batang, Jawa Tengah. Namun, keindahan ini kini berada di ambang kepunahan, menghadapi tantangan zaman yang menggerus eksistensinya.
Sebuah Identitas yang Bernyawa
Batik Rifaiyah bukan sekadar kain bermotif. Ia adalah identitas Kabupaten Batang, sebuah narasi 166 tahun yang terukir dalam setiap goresan malam dan sentuhan warna. Lahir dari perjuangan K.H. Ahmad Rifai, seorang ulama dan pahlawan nasional, batik ini menjadi simbol perlawanan dan spiritualitas. Perempuan-perempuan Rifaiyah, dengan tangan terampil mereka, tak hanya menciptakan karya seni, tetapi juga menjaga api ajaran Islam yang dibawa oleh Kiai Rifai.
Kearifan Lokal dalam Setiap Goresan
Dari perspektif sosiologi, Batik Rifaiyah adalah contoh nyata bagaimana kearifan lokal membentuk pola hidup dan nilai-nilai masyarakat. Proses membatik, yang hanya dilakukan oleh perempuan, mengajarkan kesabaran, ketekunan, dan penghayatan spiritual. Motif-motifnya, yang berjumlah 24 dengan warna sogan ireng-irengan (cokelat kehitam-hitaman), bukan sekadar hiasan. Setiap motif seperti pelok ati atau kotak kitir memiliki makna spiritual mendalam, merefleksikan ajaran hidup dan penghormatan terhadap alam. Bahkan, pembatasan dalam menggambarkan hewan secara utuh adalah bentuk adaptasi ajaran Islam ke dalam seni, menunjukkan bagaimana agama dapat menyatu dengan ekspresi budaya.
Pemberdayaan Perempuan dari Masa Lalu
Dahulu, membatik adalah rutinitas yang membekali perempuan Rifaiyah kemandirian sejak usia dini. Miftahutin, yang akrab disapa Utin, mengingat bagaimana pada era 70-an, setiap anak perempuan Rifaiyah berusia 9 tahun sudah belajar membatik. Ini adalah bentuk pemberdayaan ekonomi dan sosial yang luar biasa pada masanya, memungkinkan mereka memiliki keterampilan yang mandiri dan tidak selalu bergantung pada laki-laki. Membatik menjadi lelaku (kebiasaan atau jalan hidup) yang membentuk karakter dan peran perempuan dalam komunitas.
Ancaman Kepunahan dan Tantangan Modernitas
Namun, roda zaman tak selalu berpihak pada tradisi. Batik Rifaiyah kini menghadapi ancaman serius. Dari 116 pembatik pada tahun 2016, kini hanya tersisa 35 orang, rata-rata berusia 45 hingga 80 tahun. Generasi muda semakin enggan meneruskan tradisi ini. Mengapa?
- Perubahan Gaya Hidup dan Prioritas: Anak-anak muda saat ini disibukkan dengan pendidikan formal dan tuntutan zaman yang berbeda. Waktu luang yang dulu digunakan untuk belajar membatik kini terkikis.
- Persepsi Ekonomi: Proses membatik yang lama, bisa berbulan-bulan, dengan pendapatan yang relatif kecil, dianggap tidak menarik oleh generasi yang mencari penghasilan cepat. Mereka lebih memilih pekerjaan pabrik yang menawarkan upah mingguan atau bulanan. Ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai ekonomi modern sering kali bertabrakan dengan nilai-nilai tradisional.
- Minimnya Dokumentasi dan Regenerasi: Kurangnya upaya dokumentasi dan regenerasi membuat ilmu serta keterampilan membatik Rifaiyah tidak tersampaikan dengan baik kepada generasi penerus.
Membangkitkan Kembali Bara yang Merah Jeda: Upaya Pemberdayaan di Era Kini
Di tengah ancaman ini, muncullah secercah harapan dari sosok seperti Utin. Ia mendirikan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Tunas Cahaya, sebuah inisiatif pemberdayaan yang vital. KUB ini tidak hanya menjadi tempat produksi dan pemasaran, tetapi juga ruang belajar dan diskusi bagi siapa saja yang ingin mengenal Batik Rifaiyah.
- Edukasi dan Pelatihan: KUB Tunas Cahaya aktif mengajar anak muda, bekerja sama dengan sekolah-sekolah mulai dari SD hingga SMA di Batang. Pelatihan membatik dimasukkan ke dalam kurikulum atau ekstrakurikuler, seperti di SMK Negeri 1 Warungasem. Ini adalah upaya strategis untuk menanamkan kembali kecintaan pada kearifan lokal sejak dini.
- Ekonomi Berkelanjutan: KUB juga membantu memasarkan hasil karya pembatik, memperluas jangkauan dari sekadar Desa Kalipucang Wetan hingga ke kolektor mancanegara. Dengan harga kain yang bisa mencapai jutaan rupiah, ini menunjukkan potensi ekonomi yang besar jika dikelola dengan baik, sekaligus memberikan insentif bagi generasi muda. Nur Wahidah, seorang pembatik muda, adalah contoh nyata bagaimana membatik bisa menjadi sumber pendapatan keluarga yang fleksibel.
- Kolaborasi Multisektoral: Upaya ini juga melibatkan berbagai pihak, mulai dari desainer, pemerhati batik, hingga konsorsium pengusaha peduli vokasi dan pemerintah daerah. Kolaborasi ini penting untuk menciptakan ekosistem yang mendukung kelestarian Batik Rifaiyah.
Refleksi Sosiologis: Keseimbangan antara Tradisi dan Modernitas
Kasus Batik Rifaiyah mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas. Kearifan lokal seperti Batik Rifaiyah bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga modal sosial yang berharga untuk masa depan. Pemberdayaan komunitas, terutama perempuan, melalui pelestarian kearifan lokal dapat menciptakan kemandirian ekonomi, memperkuat identitas budaya, dan bahkan menjaga kesehatan mental (seperti yang disebutkan Utin, membatik dapat mencegah pikun).
Pelajaran sosiologi yang bisa kita ambil adalah bahwa pelestarian kearifan lokal memerlukan pendekatan holistik. Tidak cukup hanya menuntut generasi muda untuk melestarikannya, tetapi juga menciptakan lingkungan yang mendukung, memberikan nilai ekonomi, dan menanamkan pemahaman akan makna serta kebanggaan.
Seperti kata Utin, “Membatik itu sebuah skill yang tidak hilang, yang bisa membuat manusia tua itu mandiri.”
Ini adalah esensi pemberdayaan: memberikan bekal hidup yang abadi, menghubungkan masa lalu dengan masa depan, dan memastikan bahwa setiap goresan Batik Rifaiyah akan terus bercerita dari generasi ke generasi.
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra

