Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
No Result
View All Result
Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
Home Kolom

Bersyukur Menjadi Orang Rifa’iyah

Ahmad Saifullah by Ahmad Saifullah
May 20, 2025
in Kolom
0
Bersyukur Menjadi Orang Rifa’iyah
0
SHARES
177
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Siapa Orang Rifa’iyah Itu?

Kalau kita ditanya, apakah kita orang Rifa’iyah? Pasti sebagian besar, atau bahkan semuanya, membenarkan pertanyaan itu. Pengakuan itu sudah otomatis muncul di benak dan dilahirkan dari mulut. Menjadi orang Rifa’iyah sepertinya sudah menjadi kesadaran bersama, bahkan kesadaran itu meresap hingga ke bawah sadar.

Kalau pertanyaan diteruskan: faktor apa yang menyebabkan kita menjadi orang Rifa’iyah? Tentu serentak akan menjawab, karena faktor keturunan, sehingga sudah otomatis menjadi orang Rifa’iyah. Secara koor kita mengakui bahwa penentu tunggal silsilah keturunan manusia hanyalah Allah Swt. Setiap orang tak sedikit pun punya hak usulan siapa bapak-ibunya, kakek-neneknya, bahkan lahir di mana pun kita tidak punya peran sedikit pun untuk menentukan. Semuanya merupakan hak prerogatif Allah Swt.

Maka, yang menjadikan kita sebagai orang Rifa’iyah itu hanyalah Allah semata.

Kalau menjadi orang Rifa’iyah merupakan qadla dan qadar Allah, maka sebaiknya kita yakin dan mengimani bahwa:

  1. Menjadi orang Rifa’iyah merupakan jalan terbaik pilihan Allah Swt. Ikhlas menjalaninya merupakan wujud dari rukun iman yang keenam.
  2. Kita tidak punya pilihan lain kecuali menerima dan ridha terhadap ketentuan dan ketetapan Allah yang telah menjadikan kita sebagai orang Rifa’iyah. Sebagaimana sandaran kita kepada hadis Qudsi yang juga dikutip oleh KH. Ahmad Rifa’i dalam kitab Riāyat al-Himmah:

وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ لَمْ يَرْضَ بِقَضَائِيْ وَلَمْ يَصْبِرْ عَلَى بَلَائِيْ وَلَمْ يَشْكُرْ عَلَى نَعْمَائِيْ فَلْيَخْرُجْ تَحْتَ السَّمَاءِ وَلْيَطْلُبْ رَبًّا سِوَائِيْ

Nabi saw. bersabda: “Barang siapa yang tidak ridha dengan keputusan-Ku, tidak sabar terhadap ujian-Ku, dan tidak mensyukuri nikmat-nikmat-Ku, maka hendaklah ia keluar dari kolong langit-Ku dan mencari Tuhan selain Aku.”

Mudah dan Indah dalam Memahami Agama

Guru kita, KH. Ahmad Rifa’i, yang lahir pada 9 Muharam 1200 H di Desa Tempuran, Kendal, telah berkarya menulis sekitar 65 judul kitab dan ratusan tanbih dengan memakai bahasa Jawa (bahasa kaumnya), yang sebagian besar berbentuk syair. Di antara tujuannya adalah agar anak muridnya dengan mudah memahami ajaran agama Islam. Alhamdulillāh, pada kenyataannya memang sebagian warga Rifa’iyah memahami perihal sahnya iman dan sahnya ibadah sejak usia belia.

Menurut Dr. Karel A. Steenbrink dalam bukunya Beberapa Aspek tentang Islam Abad 19 mengatakan: “KH. Ahmad Rifa’i merupakan satu-satunya orang yang mampu mengemukakan Islam dengan bahasa sederhana tanpa memakai idiomatik Arab. Dan sebagai ulama, beliau merupakan seorang yang sangat produktif dalam mengarang kitab.”

Menurut sejarawan Indonesia, Prof. Sartono Kartodirdjo, dalam buku Protest Movement in Rural Java, gerakan yang dipimpin KH. Ahmad Rifa’i adalah satu-satunya dari 182 gerakan perlawanan terhadap kolonial Belanda yang masih eksis hingga sekarang. Hal itu berkat kesinambungan dan kelestarian keilmuan melalui kitab tarajumah.

Rasa syukur kita bisa dinyatakan dengan mengkaji, mengamalkan, dan mensyiarkan isi kitab tarajumah.

Rasa syukur kita juga bisa diaplikasikan dengan cara meneladani beliau. Beliau seorang pembaca, penulis, pencari, dan penyebar ilmu yang tangguh. Sudahkah kita meneladaninya? Adakah usaha dan wahana dari organisasi Rifa’iyah dalam mengembangkan keteladanan melek baca tulis (literasi) ini?

Selain mudah, bentuk tulisan syair merupakan keindahan bagi pelantun dan pendengarnya. Karena orang cenderung menikmati saat melantunkannya, apalagi didendangkan secara bersama-sama. Sehingga dengan berdendang, tanpa terasa orang dengan sendirinya menghafal ajaran-ajaran agama. Maka, tak salah kalau pakar pendidikan mengatakan hal itu sebagai metode hafal tanpa menghafal. Cukup bernyanyi, kamu tiba-tiba hafal.

Metode syair ini masih tetap eksis, bahkan semakin digemari dalam dunia pendidikan, terutama dalam metode pembelajaran. Kita bisa menyaksikan metode membaca kitab kuning ala Amtsilati, yang ditulis oleh KH. Taufiqul Hakim dari Bangsri, Jepara. Semua kitabnya menggunakan metode syiiran. Sekarang berkembang puluhan kitab lainnya dalam berbagai fan keilmuan selain nahwu sharaf dengan metode yang sama.

Kenapa metode syiiran bertahan sampai ribuan tahun? Menurut keyakinan saya, karena metode ini mencontoh metodenya Allah dalam al-Qur’ān. Metode dan ilmu Allah tidak akan pernah punah.

Bahkan, syair-syair kitab tarajumah sekarang diaransemen dengan berbagai genre musik, hingga sampai genre musik gamelan.

Sementara kita, selaku muridnya yang dimudahkan dan diindahkan oleh beliau, sudahkah kita bersyukur dengan memilih aktivitas nguri-uri kabudayan syiiran? Dan menjaga ajarannya yang ada dalam kitab tarajumah?

Metode Pendidikan Masa Depan

Lembaga pendidikan yang menggunakan metode ala Barat sangat berbeda dengan metode ala Rifa’iyah yang identik dengan Islam. Berdasarkan sejarah, lembaga pendidikan di Indonesia sering dikenal dengan dua jenis: pesantren dan sekolah. Pesantren merupakan pendidikan warisan Walisongo, sedangkan sekolah berasal dari Belanda.

Sekolah merupakan produk pendidikan ala Barat (Belanda), yang kemudian diadopsi oleh KH. Ahmad Dahlan—pendiri Muhammadiyah—untuk “diislamkan”, sehingga wadah sekolah diisi dengan ilmu-ilmu Islam. Madrasah Mu’allimin di Yogyakarta merupakan contoh pendidikan ala Barat yang telah diislamkan tersebut. Bahkan madrasahnya Mbah Dahlan ini berdiri sebelum Sekolah Taman Siswa milik Ki Hadjar Dewantara.

Sudah menjadi strategi dakwah umat Islam Nusantara sejak zaman Walisongo untuk selalu mengapresiasi budaya yang sudah ada, tetapi tetap mengarahkan substansi budaya tersebut menjadi Islami. Termasuk sekolah sebagai produk budaya Belanda yang diruwat menjadi Islami.

Sebagai contoh, menara pada awalnya merupakan budaya umat beragama Majusi (Zoroaster), penyembah api. Manārun artinya tempat perapian. Tapi kemudian diadopsi dan dijadikan bangunan yang menyertai masjid, dan fungsinya diubah. Sudah bukan tempat perapian lagi, tapi barangkali sekarang menjadi tempat pengeras suara.

Sebagaimana digambarkan dalam film Sang Pencerah—film besutan Hanung Bramantyo—pada awalnya orang-orang Islam alergi terhadap pendidikan sekolah yang digulirkan oleh KH. Ahmad Dahlan. Tetapi ternyata sekarang banyak orang mengikutinya, karena perubahan yang terjadi tersebut.

Kita bisa bertanya, kira-kira di mana letak perbedaan pendidikan ala Barat dengan pendidikan ala Rifa’iyah? Pertama, perbedaannya ada pada konsep ilmu.

Kita perlu mundur sejenak agar bisa membedakan konsep ilmu dan tujuan pendidikan KH. Ahmad Rifa’i dengan konsep dan tujuan pendidikan Barat.

Konsep ilmu KH. Ahmad Rifa’i dikenal sebagai:

اَلْعِلْمُ إِدْرَاكُ الشَّيْءِ بِحَقِيقَتِهِ

Utawi artine ilmu kelawan sabener tingal atine
Iku anemu ing sawiji-wiji kahanan kelawan satemene
Lan weruh maleh atine ing kamaqsudane
Ora selaya dene tingkah tinamune

“Yang dinamakan ilmu adalah sebenar-benarnya penglihatan hati, untuk menemukan suatu keadaan yang sesungguhnya, dan mengetahui juga maksud dari sesuatu itu, serta tidak menyelisihi hal yang telah diketahuinya.”

Dalam bahasa sederhananya, yang dinamakan ilmu adalah mengetahui sesuatu sampai pada hakikatnya. Tidak sebatas itu, dalam konsep beliau terdapat gagasan tentang ‘ilm nāfi’ (ilmu yang bermanfaat). Percuma mencari ilmu kalau tidak bermanfaat, karena akan menjadi beban berat bagi pelakunya di dunia dan akhirat. Bahkan secara terang-terangan, dalam QS. Ash-Shaff [61]: 2–3, Allah menegaskan kebencian-Nya terhadap orang yang tidak mengamalkan apa yang ia ketahui dan ucapkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ ﴿٢﴾ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

Mari kita perhatikan tulisan KH. Ahmad Rifa’i tentang konsep ilmu bermanfaat di dalam kitabnya Irsyād:

اَلْعِلْمُ النَّافِعُ يَزِيْدُ فِيْ خَوْفِكَ مِنَ اللهِ

Utawi ilmu manfaat wuwuh wedinira ing siksane
Netepi wajib ngedohi haram wedi dosane
Atawa wedi ing Allah luwih gunge kuasane
Ikulah wedine para Nabi ing Allah tinamune
Ikulah kelakuane wong duwe ilmu manfaat
Sabab pada weruh ing parnata gawe ibadah
Condonge ati ghalabah kerana akherat
Mengo saking pengalapan dunya laku ma’siat

“Ilmu yang bermanfaat itu adalah ketika bertambah rasa takutmu kepada siksa Allah, menunaikan kewajiban, menjauhi yang haram karena takut dosa, atau takut akan keagungan kekuasaan Allah. Itulah takutnya para Nabi kepada Allah. Hal tersebut merupakan perilaku orang yang ilmunya bermanfaat, sebab mereka tahu aturan ibadah, cenderung kepada akhirat, dan menjauhi pemanfaatan dunia untuk kemaksiatan.”

Dalam bahasa sederhananya, hamba yang mampu memanfaatkan ilmunya ditandai dengan kekhawatiran akan kedzalimannya di hadapan Tuhan, serta karena keagungan-Nya, ia merasa lemah, fakir, kecil, dan penuh dosa, hingga muncul perasaan “harap-harap cemas” (khauf warajā). Ketika dalam derajat demikian, seorang hamba akan mendekat kepada Allah. Sebagaimana kutipan KH. Ahmad Rifa’i dalam kitab Riāyat al-Himmah:

مَنْ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ هُدًى لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلَّا بُعْدًا

“Barang siapa ilmunya bertambah namun tidak dibarengi dengan bertambahnya petunjuk (ketakwaan), maka ia semakin jauh dari Allah.”

Sekarang kita bertanya, bagaimana dengan konsep ilmu modern? Mengutip definisi ilmu modern dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu ialah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis menurut metode ilmiah yang dapat digunakan untuk menjelaskan dan menerangkan suatu kondisi tertentu dalam bidang pengetahuan.

Dalam definisi ilmu tersebut, tidak sedikit pun disinggung kaitan ilmu dengan ketaatan kepada Allah. Padahal, dalam konsep pendidikan Islam, ilmu dan takwa ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Karena berilmu menuntut untuk diamalkan. Tidak mengamalkan ilmu berisiko tidak bertakwa, bahkan dibenci oleh Allah.

Sedangkan ilmu di Barat sebatas ilmu yang tujuannya untuk pencapaian duniawi; kemanfaatan ukhrawinya kurang diperhatikan. Hal ini bisa kita lihat dari sistem pendidikan yang diselenggarakan di kampus-kampus yang tidak mengenal kata ta’zīr bagi para mahasiswa yang melanggar syariat atau tidak memanfaatkan ilmunya sebagaimana mestinya.

Anies Baswedan, ketika menjadi Menteri Pendidikan, memelopori perubahan kurikulum pendidikan nasional dari KTSP menuju Kurikulum 2013. Di antara tujuannya adalah memperhatikan perkembangan akhlak dan ketakwaan siswa, dengan memasukkan penilaian sikap sosial dan sikap spiritual. Hal ini sejalan dengan konsep ‘ilm nāfi’-nya KH. Ahmad Rifa’i.

Yang menjadi kabar baik bagi umat Islam Indonesia, alhamdulillāh, mereka telah berhasil mengolaborasikan antara pendidikan ala Barat dan Islam. Antara pesantren dan sekolah bisa hidup berdampingan. Bahkan sekolah-sekolah dan kampus-kampus sekarang berbondong-bondong mendirikan asrama layaknya pesantren, dengan tujuan terbinanya akhlak dan ketaatan anak didik selama 24 jam.

Batik Rifa’iyah Batik Peradaban

Menurut seniman batik Pekalongan, Muhammad Sapuan, batik berdasarkan tujuannya dibedakan menjadi tiga kategori:

  1. Batik Batok
    Batok kelapa dulu sering kali dibawa oleh para pengemis untuk wadah uang. Sehingga maksud dari batik batok adalah batik yang tujuannya untuk mencari keuntungan materi semata.
  2. Batik Batuk
    Batuk kepala dijadikan simbol berpikir. Artinya, banyak batik yang dikaji dengan berbagai pendekatan ilmu yang mengandalkan akal. Batik sebagai simbol identitas tertentu juga masuk dalam kategori batik batuk ini.
  3. Batik Batin
    Maksud dari batik batin adalah batik dijadikan wasilah (sarana) laku hidup untuk memperbaiki keadaan batin seseorang. Membatik bukan sekadar bertujuan mendapatkan keuntungan materi, tetapi keuntungan dalam mendidik hati. Sehingga menjadi lebih sabar, syukur, ridha, ikhlas, mujāhadah, istiqāmah, tlaten, teberen, unen, upen, tiniron (ngeblat), benere kang diluru.

Batik Rifa’iyah termasuk dalam kategori batik batin, yang memfungsikan batik sebagai tharīqah (jalan), metode, dan sulūk untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Berdasarkan isyarat dari Rasulullah saw. bahwa kehancuran peradaban ditentukan oleh dua hal: ḥubb al-dunyā (cinta dunia) dan karāhiyyat al-mawt (takut mati), maka peradaban membatik ala Rifa’iyah merupakan upaya mencintai Allah dan mendidik kebaikan diri pelakunya. Bisa tidak bisa, pelaku batik tulis Rifa’iyah harus sabar, karena bisa jadi satu lembar kain jika dibatik membutuhkan waktu berbulan-bulan. Ia juga harus tlaten, supaya tidak mblobor, harus unen dengan mengucapkan syiiran syarat-syarat selama mbatik, dan seterusnya.

Keluarga Rifa’iyah: Keluarga Ideal untuk Manusia

Suatu hari, seorang kandidat doktor dari Universitas Indonesia (UI), Adlien Fadlia, mengutarakan kesimpulannya setelah sekian lama meneliti keluarga Rifa’iyah. Menurutnya, cara berkeluarga ala Rifa’iyah merupakan jawaban terhadap tantangan zaman, mengingat bahwa perceraian suami-istri akhir-akhir ini meningkat.

Berdasarkan data buku laporan Statistik Indonesia, jumlah kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.334 kasus pada 2022. Angka ini meningkat 15,31% dibandingkan tahun 2021 yang mencapai 447.743 kasus. Jumlah kasus perceraian di tanah air pada tahun lalu bahkan mencapai angka tertinggi dalam enam tahun terakhir.

Adapun mayoritas kasus perceraian di dalam negeri pada 2022 merupakan cerai gugat, yaitu perkara yang gugatan cerainya diajukan oleh pihak istri dan telah diputus oleh pengadilan. Jumlahnya sebanyak 388.358 kasus atau 75,21% dari total kasus perceraian di tanah air pada tahun lalu.

Dalam budaya masyarakat Rifa’iyah, bagi kedua calon mempelai, beberapa bulan sebelum akad nikah, terlebih dahulu mereka mempelajari ilmu munakahat dan ilmu berkeluarga. Biasanya mereka mencari seorang kiai atau ustaz untuk membimbing dan menerangkan kitab Tabyīn al-Iṣlāḥ. Tujuannya adalah supaya mereka tahu tentang hak dan kewajiban masing-masing suami istri, juga mengetahui risiko dari nusyūz (durhaka) seorang istri.

Kemudian, ada ketentuan bahwa apabila seorang istri bekerja untuk membantu ekonomi suami, sebaiknya dikerjakan di dalam rumah tangga. Aplikasi dari ajaran tersebut menghasilkan budaya wirausaha wanita yang terwujud dalam berbagai bentuk UMKM, termasuk batik Rifa’iyah, konveksi, perajin emping, ceting, opak, dan lain-lain. Dengan berprofesi di dalam rumah, maka seorang istri tidak meninggalkan kewajibannya melayani suami dan mengasuh anak.

Masih banyak kenikmatan dan anugerah Allah yang diberikan kepada orang dan masyarakat Rifa’iyah, yang apabila diungkap tak berkesudahan, bisa menjadi berbuku-buku. Maha Benar firman Allah:

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللّٰهَ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Naḥl: 18)

Semoga kita selalu bersyukur telah ditakdirkan oleh Allah Swt. menjadi orang Rifa’iyah.

Wallāhu a‘lam.


Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra

Tags: ajaran KH. Ahmad RifaiOrganisasi RifaiyahpendidikanTarajumahwarga Rifaiyah
Previous Post

Penjelasan Kitab Ri’ayah al-Himmah 5: Kewajiban Seorang Mukallaf

Next Post

Bahtsul Masail Rifa’iyah: Tengkulak vs Penjual

Ahmad Saifullah

Ahmad Saifullah

Jurnalis Freelance

Next Post
Bahtsul Masa’il Rifa’iyah: Zakat Harta Gono Gini

Bahtsul Masail Rifa’iyah: Tengkulak vs Penjual

  • Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rukun Islam Satu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rifa’iyah Seragamkan Jadwal Ziarah Makam Masyayikh di Jalur Pantura

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kembali ke Rumah: Ayo Mondok di Pesantren Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ramadhan Warga Rifaiyah Jakarta di Masjid Baiturrahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Rifa'iyah

Menjaga Tradisi, Menyongsong Masa Depan

Kategori

  • Bahtsul Masail
  • Berita
  • Cerpen
  • Keislaman
  • Khutbah
  • Kolom
  • Nadhom
  • Sejarah
  • Tokoh
  • Video

Sejarah

  • Rifa’iyah
  • AMRI
  • UMRI
  • LFR
  • Baranusa

Informasi

  • Redaksi
  • Hubungi Kami
  • Visi Misi
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 Rifaiyah.or.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen

© 2025 Rifaiyah.or.id