Dalam lintasan sejarah dakwah Rifa’iyah, nama KH Abdul Malik menjadi salah satu figur penting yang menjembatani generasi awal murid-murid KH Ahmad Rifa’i dengan masa penyebaran ajaran Tarajumah ke berbagai wilayah Jawa Tengah. Beliau dikenal sebagai sosok alim, tegas, dan rendah hati yang mengabdikan hidupnya untuk pendidikan dan dakwah Islam dengan ruh Rifa’iyah.
Riwayat Hidup
KH Abdul Malik lahir di Kendal, Jawa Tengah. Nama kecilnya adalah Muhammad Tuba, anak kedua dari lima bersaudara. Ayah beliau adalah KH Muhammad Ridwan bin Muhammad Tuba dari Purwosari, Patebon, Kendal. Dengan demikian, KH Abdul Malik merupakan keturunan ketiga dari KH Muhammad Tuba, salah satu murid generasi pertama KH Ahmad Rifa’i.

Ibunda beliau bernama Nyai Klimah yang berasal dari Desa Damarsari, Patebon, Kendal. Dari lingkungan keluarga inilah KH Abdul Malik tumbuh dalam suasana keagamaan yang kuat dan penuh keteladanan.

Sanad Keilmuan
Seperti kebanyakan santri di masa itu, KH Abdul Malik tidak menempuh pendidikan formal. Pendidikan beliau berlangsung di lingkungan pesantren dan keluarga ulama. Sejak kecil beliau dididik langsung oleh ayahnya dan para saudara di Purwosari, Kendal, dengan dasar-dasar ajaran Tarajumah — kitab-kitab karya KH Ahmad Rifa’i yang diterjemahkan dalam bahasa Jawa Pegon.
Menginjak dewasa, beliau dititipkan di pondok pesantren yang diasuh oleh Kiai Basari Batang, Kiai Basari merupakan keturunan dari Kiai Ilham batang (murid generasi pertama KH Ahmad Rifa’i).
Setelah nyantri tarojumah di Purwosari dan Batang beliau meneruskan pendidikan pesantrennya ke Kaliwungu Kendal, kemudian melanjutkan ke Tebu Ireng Jombang dan pendidikan terakhir beliau di Kediri Jawa Timur
Meski lama belajarnya di Jawa Timur tidak diketahui secara pasti, perjalanan intelektual tersebut membentuk keluasan pandangan dan keteguhan prinsip dakwah beliau.
Perjalanan Hidup dan Dakwah
Ketika menuntut ilmu di Jawa Timur, KH Abdul Malik dipanggil pulang oleh Haji Shidiq Kretegan yang bermaksud menjadikannya menantu. Dalam usia sekitar dua puluh tahun, beliau diberangkatkan menunaikan ibadah haji oleh calon mertuanya, dan setelah pulang haji, beliau menikah dengan Nyai Qomariyah binti Haji Shidiq Kretegan, yang juga sepupu dari istri KH Badjuri.
Dari pernikahan ini beliau dikaruniai 27 anak, namun hanya tiga yang hidup hingga dewasa: Adham, Fahrudin, dan Muhammad Rojab.
Bersama KH Badjuri, beliau mengasuh santri dan mendirikan pusat pengajaran Tarajumah di Kretegan. Beberapa santri generasi awalnya kelak menjadi ulama besar, di antaranya KH Satori (Karawang), KH Rois Yahya (Pati), KH Amin Ridho (Wonosobo), KH Kalmain (Ambarawa), KH Hambali (Randudongkal), KH Ali Zuhri (Pati) dan lainnya yang masih menjadi keterbatasan penulis.
Setelah wafatnya Nyai Qomariyah, beliau menikah dengan Nyai Kastum dari Corean, Pekalongan, dan mulai memperluas dakwah ke wilayah Pekalongan. Meski dari pernikahan ini tidak dikaruniai anak, jejak dakwahnya di daerah tersebut terus dilanjutkan oleh generasi penerus hingga kini.
Sekitar tahun 1960, KH Abdul Malik pindah ke Desa Jetis Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, dan menikah dengan Nyai Asmanah binti Mbah Muksin. Dari pernikahan ini lahir lima anak: Umi Zubaidah, Siti Nafishah, Hanik, Maskur Abdul Malik, dan Rokhisatun.
Bertahun tahun menyebarkan agama Islam di daerah Semarang dan sekitarnya Mbah Malik menuai pro dan kontra terutama saat menyebarkan agama di wilayah tersebut, Namun karena kebulatan tekad dan prinsipnya halangan dan rintangan itupun dapat di laluinya.
Dari Bandungan, beliau aktif berdakwah ke berbagai daerah seperti Semarang, Wonosobo, Temanggung, dan Batang. Metode dakwahnya dikenal lugas dan terjadwal — menggunakan sistem selapanan (pengajian setiap 35 hari) yang efektif menjangkau masyarakat pedesaan.
Pengabdian dan Santri
Selain berdakwah keliling, rutinitas beliau sehari-hari ketika berada di Bandungan adalah mendidik putra-putrinya para santri yang pada waktu itu ikut mondok di sana. Terdapat puluhan santri pada waktu itu. Salah satu muridnya adalah KH Imbuh Jumali, pengasuh pesantren di Pomahan, Temanggung.
Dalam pengajaran, beliau menekankan pada penguasaan kitab-kitab Tarajumah KH Ahmad Rifa’i. Sedangkan bagi santri yang ingin memperdalam kitab kuning non-Tarajumah, beliau arahkan untuk belajar ke ulama lain seperti KH Abdul Basir dan KH Maskur, yang juga masih kerabat dari Kretegan.
Wafat dan Warisan
KH Abdul Malik wafat di Bandungan pada Jumat Wage, 2 Desember 1988 M / 22 Rabi‘ Ats Tsani 1409 H. Beliau meninggalkan santri-santri dan keturunan yang terus melanjutkan dakwah Rifa’iyah di berbagai wilayah Jawa Tengah. Hingga kini, banyak masyarakat meyakini keberkahan hidup mereka berkat ta’dhim, hurmat, dan istiqamah dalam mengamalkan ajaran beliau.
Pesan Moral KH Abdul Malik
1. Tanbihun Tanbeh Pekeleng
“Kon eling sing prayetno, ojo eleng podo sembrono.
Wong pinter dipletèr, wong bodo dibebodo.
Sing eling awaké gering, sing ora eling dadi maling.
Malingé maling opo? Maling agomo.”
2. SORNO DOPES
-
SOR: dari kata Asor — jadilah manusia yang tetap rendah hati (Asor) walau berpangkat tinggi.
-
NO: dari kata Ino (hina) — semakin mulia seseorang, semakin ia merasa hina di hadapan Allah.
-
DO: dari kata Bodo — semakin tinggi ilmu, semakin merasa bodoh/menunduk di hadapan kebesaran Allah.
-
PES: dari kata Apes — hidup manusia tak selalu sempurna; setiap manusia memiliki apes-nya.
Maka tetep eling lan waspodo supoyo selamet dunyo tumeko akhirate.
Penutup
KH Abdul Malik adalah contoh nyata ulama Rifa’iyah yang tidak hanya alim dalam ilmu, tetapi juga teguh dalam dakwah. Dari Kretegan hingga Bandungan, beliau menanamkan semangat keikhlasan, kesederhanaan, dan cinta ilmu. Warisan beliau merupakan jejak dakwah yang hidup dalam diri santri-santrinya dan ajaran yang terus diamalkan hingga hari ini.
Baca sebelumnya: Kiyai Abdul Hanan: Ulama Rifa’iyah dari Tambangsari Pati yang Teguh Menegakkan Syariat
Penulis: Miftahul Huda
Editor: Ahmad Zahid Ali


