Bumi bulat vs Bumi datar menjadi perdebatan panjang sejak peradaban kuno hingga era digital. Dalam sejarah, berbagai budaya punya pandangan berbeda tentang bentuk planet kita. Islam dan sains modern menghadirkan argumen, bukti, dan penjelasan yang menghubungkan fenomena alam dengan pemahaman agama.
Di Yunani Kuno, tokoh seperti Thales (626–548 SM) membayangkan Bumi datar yang mengambang di air, Anaximander (586–526 SM) menganggapnya silinder datar, dan Anaximenes mengira benda-benda langit pun datar. Namun, perubahan besar datang pada masa Aristoteles (384–322 SM). Ia mengamati gerhana Bulan yang selalu menampilkan bayangan melengkung, perbedaan ketinggian Bintang Utara di berbagai lintang, dan kapal yang “tenggelam” dari lambung terlebih dahulu saat menjauh. Argumen ini mengukuhkan pandangan bahwa Bumi bulat.
Tak lama kemudian, Eratosthenes mengukur keliling Bumi dengan metode sederhana: membandingkan bayangan tongkat di dua lokasi berbeda. Hasilnya 46.250 km—hanya meleset sekitar 15% dari ukuran modern.
Kebangkitan Teori Bumi Datar di Era Modern
Pada abad ke-19, Samuel Rowbotham (1816–1884) mempopulerkan kembali konsep Bumi datar melalui Astronomi Zetetic. Ia menggambarkan Bumi sebagai piringan datar berpusat di Kutub Utara, dikelilingi dinding Antartika, dengan Matahari dan Bulan berjarak sekitar 4.800 km di atasnya.
Gerakan ini berlanjut lewat S.G. Fowler (1952) dan Samuel Shenton yang mengubah Universal Zetetic Society menjadi The International Flat Earth Society (IFS) pada 1956. Penerusnya, Charles K. Johnson, menerbitkan The International Flat Earth News untuk “mengembalikan kewarasan dunia” dengan merujuk Alkitab.
Di Indonesia, isu ini kembali ramai pada 2017 melalui kanal YouTube Flat Earth 101, memicu terbentuknya komunitas hingga rencana konferensi nasional pada 2019.
Pandangan Cendekiawan Muslim
Mayoritas ulama bersepakat Bumi bulat. Ibnu Taimiyyah mengutip Imam Abul Husain Ibnul Munadi yang menyatakan ijma’ bahwa langit dan Bumi berbentuk bola. Ilmuwan Muslim seperti Al-Biruni menolak teori Bumi datar karena tidak sesuai dengan fenomena siang-malam dan penampakan planet. Ibnu Khaldun menulis dalam Muqaddimah bahwa Bumi berbentuk bola, sementara Musa al-Khawarizmi dan Al-Idrisi menghasilkan peta globe.
Beberapa mufasir mendukung pandangan bulat:
- Ismail Haqqi al-Barwaswi (Tafsir Ruh al-Bayan) – “Bumi itu bulat, tetapi karena sangat besar, setiap bagiannya terlihat datar.”
- An-Naisaburi – Menolak penafsiran literal yang menafikan kebulatan Bumi.
- Fakhruddin ar-Razi – Menilai anggapan Bumi datar pada QS. al-Ghasyiyah: 20 sebagai pendapat lemah.
- Rasyid Rida – Menafsirkan istilah dahw al-ardh sebagai indikasi Bumi berbentuk bola.
Sebaliknya, sebagian mufasir klasik memandang Bumi datar:
- Jalaluddin (Tafsir Jalalain) – Menyebut Bumi datar menurut ulama syara’.
- Al-Qurthubi – Menafsirkan QS. ar-Ra’d: 3 sebagai bantahan terhadap pendapat Bumi bulat.
Dampak pada Praktik Ibadah
Empat praktik ibadah utama yang memerlukan kajian astronomi: arah kiblat, awal bulan hijriah, waktu salat, dan salat gerhana.
Kasus arah kiblat kota Hanoi (Vietnam) menunjukkan perbedaan signifikan:
- Model Bumi bulat → 283,56° (condong ±14° ke utara dari barat).
- Model Bumi datar → 303,26° (melenceng ±19,70° dari arah sebenarnya).
Model Bumi bulat juga digunakan dalam perhitungan waktu salat, rukyatul hilal, hingga prediksi gerhana, lengkap dengan koreksi refraksi, ketinggian, perata waktu, dan ufuk. Hingga kini, belum ada metode astronomis berbasis Bumi datar yang setara.
Bukti Astronomis Bumi Bulat
- Bintang Sirkumpolar – Di lintang tertentu, ada bintang yang tak pernah terbenam. Rumusnya: deklinasi bintang > (90° − lintang pengamat). Fenomena ini tak terjadi di ekuator, tapi di kutub semua bintang terlihat sirkumpolar.
- Gerhana Bulan – Bayangan Bumi yang menutupi Bulan selalu melengkung.
- Fase Planet Inferior – Venus dan Merkurius menunjukkan fase sabit hingga cembung sesuai posisinya terhadap Matahari, hanya mungkin dijelaskan pada model heliosentris.
- Gerak Retrograde Planet Superior – Planet seperti Mars tampak bergerak mundur terhadap latar bintang akibat perbedaan kecepatan orbit Bumi dan planet tersebut.
Kesimpulan
Sejarah membuktikan bahwa gagasan Bumi datar lahir dari mitologi dan keterbatasan pengamatan zaman kuno. Meski sempat bangkit di era modern, bukti astronomis konsisten mendukung bentuk Bumi bulat.
Dalam Islam, perbedaan pandangan ini bukan masalah akidah, sehingga tidak layak memecah persatuan umat. Yang terpenting, praktik ibadah tetap berlandaskan perhitungan astronomi yang akurat, sebagaimana diwariskan ilmu falak yang memadukan agama dan sains.
Referensi: https://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/elfalaky/article/view/29488/17700
Penulis: Yusril Mahendra
Editor: Yusril Mahendra