Rifaiyah.or.id – Sudah tiga bulan Raka Prasetyo meninggalkan kursi staf ahli gubernur. Berita pengunduran dirinya sempat mengisi headline media. Banyak yang menyebutnya gila — melepaskan jabatan prestisius hanya karena menolak meneken rekomendasi. Namun bagi Raka, itu keputusan yang tak bisa ditawar.
Kini, ia berkantor di sebuah ruangan sederhana di ruko dua lantai di pinggir kota. Plang kecil bertuliskan “Prasetyo Consulting: Transparansi dan Efisiensi Anggaran” terpampang seadanya. Idealisme Raka menjelma dalam bentuk usaha rintisan. Ia percaya, masih banyak daerah dan lembaga yang butuh sistem pengelolaan digital yang bersih.
Hari itu, telepon kantornya berdering. Seorang pengusaha besar, Surya Atmadja, mengundangnya bertemu di hotel bintang lima. Surya adalah taipan yang dikenal luas, tapi juga sering dikaitkan dengan “permainan proyek” di balik layar.
“Pak Raka, saya tahu reputasi Anda,” kata Surya sambil menyalakan cerutunya. “Anda orang bersih, dan justru itu yang saya butuhkan. Ada proyek e-budgeting bernilai ratusan miliar. Saya ingin Anda jadi konsultan resminya. Tentu fee-nya tidak kecil.”
Raka menatapnya lekat. Tawaran besar itu seperti jalan pintas menuju kejayaan konsultan barunya. Tapi intuisi petarung dalam dirinya merasakan sesuatu yang janggal. Surya terlalu cepat, terlalu percaya, terlalu mulus.
“Apa Bapak yakin saya orang yang tepat? Saya terkenal keras menolak vendor bermasalah.”
Surya tertawa pelan. “Justru itu. Nama Anda akan jadi tameng. Sisanya biar tim saya yang urus.”
Kata tameng itu membuat perut Raka terasa mual. Ia tahu, jika menerima, namanya akan dipakai untuk melindungi permainan busuk yang sama seperti yang ia tinggalkan dulu.
Malamnya, Raka berjalan sendirian di trotoar kota. Lampu jalan redup, dan pikirannya penuh dilema. Ia butuh proyek besar agar kantornya bertahan. Tapi jika ia ikut arus Surya, ia tahu sedang menggali kubur integritasnya sendiri.
Di kejauhan, sebuah mobil hitam berhenti. Dua pria berbadan tegap turun, menghampirinya.
“Mas Raka, Bos Surya ingin kepastian malam ini juga,” salah satu dari mereka berkata dengan nada setengah mengancam.
Raka menggenggam erat ponselnya, bersiap kalau sesuatu terjadi. Nalurinya sebagai petarung kembali hidup. Malam itu, ia sadar: dunia bisnis tak kalah keras dibanding politik. Dan pilihannya kali ini bisa menentukan apakah ia akan tetap tegak, atau hancur di bawah cengkeraman mafia proyek.
Bersambung…
Baca Sebelumnya: Cerpen: Pilihan Terakhir
Penulis: Ahmad Zahid Ali
Editor: Ahmad Zahid Ali