Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
No Result
View All Result
Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
Home Cerpen

Cerpen: Keseimbangan di Kampung Fa Ihsan

Tim Redaksi by Tim Redaksi
September 19, 2025
in Cerpen
0
Keseimbangan

Sapu dan pengki diletakkan di tepi jalan berpaving. (Foto: Daniel von Appen/Unsplash)

0
SHARES
13
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Kehidupan Religius yang Semarak

Kampung Fa Ihsan terkenal sebagai kampung santri. Sejak subuh hingga malam larut, suara pengajian, dzikir, dan shalawat bersahutan dari mushala dan majelis-majelis kecil di rumah warga. Setiap orang seolah berlomba menghadirkan pengajian dengan pengeras suara yang keras, kadang mengusik tetangga kampung yang memiliki kebutuhan komunikasi. Akibatnya, hampir tak ada satu malam pun yang sepi dari ceramah, mauidhah hasanah, dan perbincangan soal halal-haram, surga-neraka.

Sisi Lain yang Terabaikan

Namun, di balik semarak ruhani itu, ada sisi yang terabaikan. Selain itu, jalan kampung dipenuhi sampah, selokan tersumbat, dan jika hujan turun, air menggenang ke mana-mana. Anak-anak jarang bergerak bebas selain saat berangkat dan pulang dari majelis dan madrasah. Kerja bakti sudah lama hilang, bahkan sekadar menyapu halaman dianggap kurang penting. Bahkan, jika ada yang mengajak berolahraga, sebagian orang berbisik sinis, “Itu lagha, perbuatan sia-sia.”

Peran Kiai Binahu

Di tengah masyarakat seperti itu, Kiai Binahu menjadi cahaya utama. Beliau alim, tawadhu, dan hampir tak pernah menolak undangan. Di tangannya selalu terselip tasbih, bibirnya senantiasa basah dengan zikir. Dari pagi hingga malam, ia berpindah dari satu majelis ke majelis lain, menyampaikan ilmu dengan sabar. Namun demikian, akhir-akhir ini tubuhnya mulai melemah. Sorot wajahnya sayu, fisiknya tak lagi sekuat dulu.

Kekhawatiran Keluarga dan Santri

Suatu pagi, ia duduk di serambi rumah sambil memegangi dada. Napasnya terasa berat. Nyai Umriyah, istrinya, membawa segelas air hangat.
“Abah, sudah saatnya mengurangi jadwal. Abah bukan mesin. Kalau Abah sakit, siapa yang akan membimbing masyarakat?” ucapnya lirih.

Belum sempat Kiai menjawab, datang Kang Partela, santri senior yang setia mendampingi.
“Yai,” ujarnya sambil membuka buku catatan, “malam ini ada undangan dari kampung seberang, besok pagi dari ibu-ibu, lusa undangan dari majelis seberang kecamatan. Jadwal seperti biasa, penuh.”

Kiai menghela napas panjang. “Partela, tubuh ini semakin sulit mengikuti. Apakah tidak ada cara mengatur ulang kegiatanku?”

Perdebatan dengan Cak Jelunat

Saat itu juga, Cak Jelunat—pengurus majelis Kampung Fa Ihsan yang terkenal vokal—datang membawa kabar.
“Kiai, masyarakat sudah menunggu. Jangan sampai kecewa. Kalau Kiai tidak hadir, majelis bisa bubar!” katanya keras.

Kiai menatapnya tenang. “Jelunat, sabar, aku ingin bicara. Memang majelis penting. Akan tetapi, lihatlah kampung kita: jalan kotor, selokan tersumbat, anak-anak memilih tidur daripada berolahraga. Bukankah menjaga kebersihan dan kesehatan juga perintah agama, Cak?”

Cak Jelunat mendengus. “Kiai, jangan bawa-bawa hal duniawi. Yang penting ruhani! Olahraga, kerja bakti, itu hanya buang-buang waktu. Orang santri seharusnya sibuk ngaji, zikir, dan salat, bukan menyapu jalan!”

Suara Pemuda: Mas Tanbih

Suasana menjadi tegang. Kang Partela menunduk, mencoba menahan diri. Dari sudut serambi, Mas Tanbih—pemuda kampung yang baru pulang mondok—angkat bicara.
“Maaf, Cak Jelunat. Saya kira Kiai benar. Bukankah Rasulullah juga mengajarkan kebersihan? Bukankah beliau kuat secara fisik karena menjaga tubuhnya? Kalau kita hanya ngaji tapi tubuh rapuh, bagaimana pengajian bisa jalan dan menjadi teladan?”

Cak Jelunat menoleh tajam. “Kamu masih muda, jangan sok tahu! Sejak kapan kebersihan lebih utama dari ngaji?”

Mas Tanbih tidak mundur. “Sejak Rasulullah bersabda, ath-thahuru syathrul iman—kebersihan adalah sebagian dari iman. Apakah itu bukan agama, Cak?”

Kiai Binahu mengangkat tangannya menenangkan. “Cukup. Kita tidak perlu berdebat panjang di sini. Oleh karena itu, nanti malam, kumpulkan warga di masjid. Saya akan bicara langsung.”

Penjelasan di Masjid Muawanah

Malam itu, Masjid Muawanah penuh. Warga duduk bersila, menanti penjelasan Kiai. Lampu-lampu terang dinyalakan, mikrofon disiapkan. Ratusan telinga dan hati bersiap mencatat setiap kata Kiai.

Kiai Binahu berdiri dengan tongkat kecil di tangannya. Suaranya tenang namun tegas.
“Saudara-saudaraku, selama ini kita sibuk menghidupkan majelis. Itu baik. Namun, di sisi lain, saya melihat sesuatu yang kurang. Jalan kita kotor, selokan mampet, tubuh kita lemah tanpa olahraga. Kita mengira itu perkara dunia, padahal itu bagian dari agama.”

Warga saling pandang. Bisik-bisik terdengar. Cak Jelunat berdiri dengan suara lantang.
“Kiai! Kami butuh ilmu, bukan kerja bakti. Jangan kurangi pengajian! Olahraga itu lagha!”

Beberapa orang mengangguk setuju, tetapi banyak yang ragu.

Kebersihan sebagai Bagian dari Iman

Kiai menatap Jelunat penuh kesabaran. “Jelunat, bukankah engkau tahu sabda Nabi, al-mu’minul qawiy khairun wa ahabbu ilallah minal mu’minidh dha’if—Mukmin yang kuat lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah? Kekuatan itu jasmani dan ruhani. Dengan demikian, kalau kita hanya mengurus ruhani tapi lalai jasmani, berarti kita belum sempurna.”

Mas Tanbih berdiri mendukung. “Betul, Kiai. Saya siap memimpin kerja bakti. Mari kita buktikan bahwa menjaga kebersihan dan olahraga tidak mengurangi ibadah, justru menambah iman.”

Suasana masjid bergemuruh. Sebagian masyarakat mulai setuju. Ada yang berkata, “Benar juga…,” ada pula yang tetap ragu.

Dukungan Nyai Umriyah

Melihat kegaduhan, Nyai Umriyah maju dari shaf perempuan. Dengan suara lembut tapi menusuk hati, ia berkata:
“Saudara-saudaraku, kalau Kiai jatuh sakit karena terlalu banyak beban pengajian, siapa yang akan membimbing kita? Oleh sebab itu, bukankah lebih baik kita bergiliran mengisi majelis, sambil menjaga kampung kita tetap bersih? Itu bukan mengurangi agama, justru menyempurnakan.”

Kata-kata itu membuat banyak warga terdiam. Cak Jelunat masih ingin membantah, tetapi melihat wajah Kiai yang teduh, lidahnya kelu.

Perubahan di Kampung Fa Ihsan

Sejak hari itu, perubahan mulai terasa. Setiap Jumat pagi, warga berkumpul untuk kerja bakti. Jalan disapu, selokan dibersihkan. Anak-anak muda mengikuti senam ringan yang dipimpin Mas Tanbih, sementara orang tua berjalan kaki sambil berdzikir bersama Kiai Binahu.

Majelis pengajian tetap berlangsung, hanya lebih teratur. Kang Partela dan Mas Tanbih bergiliran mengisi, sementara Kiai Binahu hadir di malam-malam tertentu. Selain itu, Nyai Umriyah mengadakan majelis ibu-ibu tentang kebersihan rumah tangga. Mereka bersama membeli alat-alat kebersihan dan setiap pagi membersihkan rumah serta halaman masing-masing.

Awalnya, Cak Jelunat masih mencibir. “Ngaji jadi berkurang,” katanya di warung kopi. Namun lambat laun, ia tergerak. Saat melihat anak-anak muda lebih segar, jalan kampung bersih, dan pengajian tetap hidup, hatinya luluh.

Akhirnya Menemukan Keseimbangan

Suatu sore, Cak Jelunat mendekati Kiai Binahu yang sedang duduk di serambi masjid.
“Kiai… maafkan saya. Ternyata saya salah. Saya kira olahraga dan kebersihan hanya sia-sia. Ternyata itu juga ibadah.”

Kiai Binahu tersenyum, menepuk bahunya. “Tidak ada yang terlambat, Jelunat. Kita semua belajar. Yang terpenting, sekarang kita sudah menemukan keseimbangan: ruhani terjaga, jasmani sehat, lingkungan pun bersih.”

Matahari sore menyinari Kampung Fa Ihsan. Dari kejauhan terdengar suara anak-anak mengaji, bersahut dengan tawa mereka yang sedang bermain bola di lapangan bersih. Akhirnya, kampung itu menemukan napas baru: perpaduan antara pengajian, kebersihan, dan kesehatan. Jadi seimbang.

Baca Juga: Obor Rifaiyah Tegal: K. Tawan, K. Mukmin


Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra

Tags: cerpen inspiratifcerpen islamigotong royongkerja baktikisah pesantren
Previous Post

Khutbah Jumat: Ikhtiar Menjaga Keseimbangan Ruhani Jasmani

Next Post

Silaturahim Menag dengan Pimpinan Ormas Islam: Rifa’iyah Dorong Akses Kitab Tarajumah dari Leiden

Tim Redaksi

Tim Redaksi

Next Post
Silaturahim Menag dengan Pimpinan Ormas Islam

Silaturahim Menag dengan Pimpinan Ormas Islam: Rifa’iyah Dorong Akses Kitab Tarajumah dari Leiden

  • Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rukun Islam Satu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sejarah Rifa’iyah dan Organisasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rifa’iyah Seragamkan Jadwal Ziarah Makam Masyayikh di Jalur Pantura

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kembali ke Rumah: Ayo Mondok di Pesantren Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Rifa'iyah

Menjaga Tradisi, Menyongsong Masa Depan

Kategori

  • Bahtsul Masail
  • Berita
  • Cerpen
  • Keislaman
  • Khutbah
  • Kolom
  • Nadhom
  • Nasional
  • Sejarah
  • Tokoh
  • Video

Sejarah

  • Rifa’iyah
  • AMRI
  • UMRI
  • LFR
  • Baranusa

Informasi

  • Redaksi
  • Hubungi Kami
  • Visi Misi
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 Rifaiyah.or.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen

© 2025 Rifaiyah.or.id