Raka Prasetyo, Sosok Perfeksionis
Namanya Raka Prasetyo. Usianya baru 33 tahun, tapi sudah menyandang jabatan bergengsi: Staf Ahli Gubernur bidang Ekonomi dan Pembangunan. Sosoknya tidak terlalu menonjol secara fisik—kulit sawo matang, wajah biasa saja, tidak punya selera humor yang menghibur. Namun, kecerdasannya sudah menjadi legenda sejak masa sekolah. Raka selalu juara satu, selalu yang pertama menemukan jawaban, dan selalu paling rapi dalam bekerja. Tak heran, kawan-kawannya menjulukinya the perfectionist.
Selain itu, ia juga seorang petarung sejati. Sabuk hitam karate yang melingkari pinggangnya bukan sekadar hiasan, melainkan bukti latihan bertahun-tahun. Disiplin, keras, dan tak kenal kalah adalah ciri khasnya. Dalam setiap pergerakan mahasiswa dulu, ia selalu di depan. Kepemimpinannya lahir bukan dari pidato yang manis, melainkan dari keberanian mengambil risiko. Karena itulah, banyak yang mengikutinya, sebab Raka jarang salah langkah.
Dari Aksi ke Ruang Kebijakan
Kini, setelah duduk di ruang dingin penuh pendingin udara di gedung gubernuran, Raka menghadapi medan tempur yang berbeda. Bukan lagi tatami dojo, bukan pula jalanan aksi mahasiswa, tetapi ruang rapat kebijakan.
Sore itu, ia dipanggil oleh Sekretaris Daerah. Di hadapannya tergeletak map berlogo provinsi.
“Raka, ini ada rekomendasi yang harus segera kamu susun,” kata Sekda dengan nada setengah perintah.
“Vendor sudah ditentukan. Tinggal kamu bikin analisanya, supaya tampak meyakinkan.”
Raka membuka map itu. Nama vendor besar tertera jelas. Ia mengenalnya—perusahaan itu punya rekam jejak buruk: proyek mangkrak, laporan keuangan bermasalah, bahkan pernah disidik KPK meski lolos entah bagaimana.
Dadanya mengeras. “Pak, kalau saya boleh bicara, perusahaan ini—”
Namun, Sekda segera memotong cepat. “Saya tahu. Tapi ini sudah keputusan. Kamu cukup buat analisisnya. Formalitas.”
Kata formalitas itu menusuk telinga Raka lebih dalam daripada pukulan di dojo.
Dilema Integritas
Di kamar kerjanya, ia menatap layar laptop. Kertas kosong menunggu analisisnya. Akan tetapi, jemarinya tak mau bergerak. Dalam benaknya, dua jalan terbentang:
- 
Menuruti perintah. Kariernya aman, gajinya tetap masuk, statusnya sebagai staf ahli tetap gemilang. 
- 
Menolak. Integritas terjaga, tetapi risikonya besar: ia bisa tersingkir, dicap pembangkang, dan mungkin tak ada tempat lagi di pemerintahan. 
Saat itu, ia teringat masa lalu. Ketika di dojo, ia pernah berhadapan dengan lawan yang jauh lebih besar darinya. Meski tahu akan babak belur, ia tidak mundur. Baginya, kalah dengan terhormat jauh lebih berarti daripada menang dengan cara kotor.
Keputusan Terberat
Malamnya, ia akhirnya mengetik surat pengunduran diri. Kalimat-kalimatnya singkat, lugas, dan mencerminkan dirinya:
“Saya tidak dapat melanjutkan tugas yang berpotensi mengkhianati prinsip integritas dan profesionalisme. Terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan.”
Ia menandatangani surat itu dengan tangan mantap.
Keesokan paginya, Raka menyerahkan suratnya langsung kepada Gubernur. Sang Gubernur membaca sekilas, lalu menatapnya.
“Kamu sadar apa risikonya, Nak?”
Raka menunduk sedikit, tetapi suaranya tegas.
“Lebih baik saya kehilangan jabatan daripada kehilangan integritas.”
Pilihan Terakhir
Langkah Raka meninggalkan kantor gubernuran terasa berat, tetapi hatinya lega. Ia tahu, jalan hidupnya mungkin akan lebih sulit setelah ini. Namun, ia juga yakin: seorang petarung sejati tidak diukur dari berapa lama ia bertahan di arena, melainkan dari keberanian untuk keluar ketika arena itu sudah dipenuhi kecurangan.
Dan bagi Raka, keputusan itu adalah kemenangan terbesar dalam hidupnya.
Bersambung…
Penulis: Ahmad Zahid Ali
Editor: Ahmad Zahid Ali
 
			 
					
 
                                 
                                

