Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
No Result
View All Result
Rifa'iyah
No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen
Home Cerpen

Cerpen: Pilihan Terakhir

Ahmad Zahid Ali by Ahmad Zahid Ali
September 11, 2025
in Cerpen
0
Cerpen: Pilihan Terakhir

Seorang pemuda sedang menelepon (Mart Production/Pexels)

0
SHARES
20
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Rifaiyah.or.id – Namanya Raka Prasetyo. Usianya baru 33 tahun, tapi sudah menyandang jabatan bergengsi: Staf Ahli Gubernur bidang Ekonomi dan Pembangunan. Sosoknya tidak terlalu menonjol secara fisik—kulit sawo matang, wajah biasa saja, tidak punya selera humor yang menghibur. Tapi kecerdasannya sudah menjadi legenda sejak masa sekolah. Raka selalu juara satu, selalu yang pertama menemukan jawaban, selalu yang paling rapi dalam bekerja. Kawan-kawannya menjulukinya the perfectionist.

Di balik itu, ia juga seorang petarung sejati. Sabuk hitam karate melingkari pinggangnya, bukan sekadar hiasan, tapi bukti latihan bertahun-tahun. Disiplin, keras, tak kenal kalah. Dalam setiap pergerakan mahasiswa dulu, ia selalu di depan. Kepemimpinannya lahir bukan dari pidato yang manis, tapi dari keberanian mengambil risiko. Banyak yang mengikutinya, karena Raka jarang salah langkah.

Kini, setelah duduk di ruang dingin penuh pendingin udara di gedung gubernuran, Raka menghadapi medan tempur yang berbeda. Bukan tatami dojo, bukan jalanan aksi mahasiswa, tapi ruang rapat kebijakan.

Sore itu, ia dipanggil oleh Sekretaris Daerah. Di hadapannya tergeletak map berlogo provinsi.

“Raka, ini ada rekomendasi yang harus segera kamu susun,” kata Sekda dengan nada setengah perintah.
“Vendor sudah ditentukan. Tinggal kamu bikin analisanya, supaya tampak meyakinkan.”

Raka membuka map itu. Nama vendor besar tertera jelas. Ia mengenalnya—perusahaan itu punya rekam jejak buruk: proyek mangkrak, laporan keuangan bermasalah, pernah disidik KPK meski lolos entah bagaimana.

Dadanya mengeras. “Pak, kalau saya boleh bicara, perusahaan ini—”

Sekda memotong cepat. “Saya tahu. Tapi ini sudah keputusan. Kamu cukup buat analisisnya. Formalitas.”

Kata “formalitas” itu menusuk telinga Raka lebih dalam daripada pukulan di dojo.

Di kamar kerjanya, ia menatap layar laptop. Kertas kosong menunggu analisisnya. Tapi jemarinya tak mau bergerak. Dalam benaknya, dua jalan terbentang:

  1. Menuruti perintah. Kariernya aman, gajinya tetap masuk, statusnya sebagai staf ahli tetap gemilang.

  2. Menolak. Integritas terjaga, tapi risikonya besar: ia bisa tersingkir, dicap pembangkang, mungkin tak ada tempat lagi di pemerintahan.

Ia teringat masa lalu. Ketika di dojo, ia pernah berhadapan dengan lawan lebih besar darinya. Saat itu ia tidak mundur, meski tahu akan babak belur. Baginya, kalah dengan terhormat lebih berarti daripada menang dengan cara kotor.

Malamnya, ia mengetik surat pengunduran diri. Kalimat-kalimatnya singkat, lugas, seperti dirinya:

“Saya tidak dapat melanjutkan tugas yang berpotensi mengkhianati prinsip integritas dan profesionalisme. Terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan.”

Ia menandatangani surat itu dengan tangan mantap.

Keesokan paginya, Raka menyerahkan suratnya langsung kepada Gubernur. Sang Gubernur membaca sekilas, lalu menatapnya.

“Kamu sadar apa risikonya, Nak?”
Raka menunduk sedikit, tapi suaranya tegas.
“Lebih baik saya kehilangan jabatan daripada kehilangan integritas.”

Langkah Raka meninggalkan kantor gubernuran terasa berat, tapi hatinya lega. Ia tahu, jalan hidupnya mungkin lebih sulit setelah ini. Tapi ia juga tahu: seorang petarung sejati tidak diukur dari berapa lama ia bertahan di arena, melainkan dari keberanian untuk keluar ketika arena itu sudah dipenuhi kecurangan.

Dan bagi Raka, keputusan itu adalah kemenangan terbesar dalam hidupnya.

Bersambung…


Penulis: Ahmad Zahid Ali
Editor: Ahmad Zahid Ali

Tags: Cerita pendek indonesiaCerpencerpen politikdilema etikaintegritasstaf ahli gubernur
Previous Post

Khutbah Jumat: Tafakur Sebagai Pondasi Harmoni dan Cinta Ilahi

Next Post

Penjelasan Kitab Tasyrihatal Muhtaj 16: Hukum Gadai dalam Fikih Syafi‘i

Ahmad Zahid Ali

Ahmad Zahid Ali

Khadim di Ponpes Miftahul Muhtadin Pati, Ketua 2 PP AMRI: Biro Pengembangan Pemikiran dan IPTEK, Senior Manajer Production Support di FMCG

Next Post
Hukum gadai dalam fikih Syafi‘i

Penjelasan Kitab Tasyrihatal Muhtaj 16: Hukum Gadai dalam Fikih Syafi‘i

  • Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    Gus Sakho, Gemilang Prestasi di Al-Azhar, Suluh Inspirasi Generasi Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rukun Islam Satu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sejarah Rifa’iyah dan Organisasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rifa’iyah Seragamkan Jadwal Ziarah Makam Masyayikh di Jalur Pantura

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kembali ke Rumah: Ayo Mondok di Pesantren Rifa’iyah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Rifa'iyah

Menjaga Tradisi, Menyongsong Masa Depan

Kategori

  • Bahtsul Masail
  • Berita
  • Cerpen
  • Keislaman
  • Khutbah
  • Kolom
  • Nadhom
  • Nasional
  • Sejarah
  • Tokoh
  • Video

Sejarah

  • Rifa’iyah
  • AMRI
  • UMRI
  • LFR
  • Baranusa

Informasi

  • Redaksi
  • Hubungi Kami
  • Visi Misi
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

© 2025 Rifaiyah.or.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Home
  • Berita
  • Nasional
  • Kolom
  • Nadhom
  • Tokoh
  • Bahtsul Masail
  • Khutbah
  • Sejarah
  • Video
  • Cerpen

© 2025 Rifaiyah.or.id