Demokrasi: Dari Janji Manis Menjadi Tirani
“Demokrasi sudah busuk sejak akar hingga daun!” Kalimat ini mungkin mengejutkan, tetapi bukankah itu cermin jujur dari kenyataan? Sistem yang katanya “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” kini tak lebih dari drama basi penuh tipu daya. Rakyat menjerit di jalan, aparat membalas dengan gas air mata, pentungan, hingga mobil taktis yang menewaskan seorang driver ojol. Di manakah kemanusiaan? Apakah ini wajah indah demokrasi yang diagungkan? Jika benar, maka jujurlah kita: demokrasi telah lapuk, busuk, dan perlahan membunuh rakyatnya.
Regulasi yang Dipermainkan
Tragisme demokrasi makin jelas saat hukum dipermainkan. Sejak 2008, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP) tidak kunjung disahkan. Padahal, regulasi ini bisa menjadi senjata ampuh melawan korupsi. Namun, hampir dua dekade, RUU tersebut hanya menggantung di gedung Senayan. Mengapa? Karena undang-undang itu justru mengancam kepentingan mereka yang duduk di kursi empuk. Ironisnya, rakyat dituntut patuh membayar pajak, sedangkan uang pajak bisa dengan mudah disalahgunakan untuk kepentingan kotor pejabat.
Tirani Politik yang Kebal Hukum
Kasus pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR (saat ini dicopot), Imam Sahroni, menjadi bukti telanjang. Ia menyebut bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus “lapor dulu” ke partai jika ada kader yang ditangkap. Korupsi dianggap urusan internal partai, bukan lagi kejahatan terhadap rakyat. Inilah puncak kebejatan demokrasi. Sistem yang seharusnya melawan tirani justru melahirkan tirani baru—tirani partai politik yang rakus dan kebal hukum.
Suara Rakyat yang Terabaikan
Meski kita bisa menutup mata, kenyataan di jalanan menunjukkan rakyat muak. Demonstrasi besar-besaran bukan sekadar letupan emosi, melainkan jeritan kolektif setelah terlalu lama ditindas. Namun, negara bukannya mendengar, justru menekan. Polisi dan aparat seakan lupa mereka digaji dari keringat rakyat. Tindakan represif dan kekerasan yang berlebihan semakin memperjelas: demokrasi kita sedang sekarat.
Sistem yang Rusak
Sastrawan Tere Liye pernah menulis bahwa pemerintah dipenuhi politisi korup, sementara demokrasi hanyalah cara jahat yang dilegalisasi. Kata-kata ini terasa relevan bagi Indonesia hari ini. Sistem demokrasi bukan lagi mekanisme sehat, melainkan mesin besar yang dikendalikan segelintir elite. Begitu pula Soe Hok Gie menegaskan bahwa ketika nurani diganti manipulasi, demokrasi menemukan ajalnya.
Pemilu dan Panggung Boneka
Kini, pemilu lima tahunan hanyalah pesta mahal. Rakyat diberi janji manis, lalu ditinggalkan. Suara rakyat sekadar dibutuhkan untuk melegitimasi politisi naik singgasana kekuasaan. Tidak heran bila kemarahan rakyat hari ini wajar. Spanduk, teriakan, dan demonstrasi adalah bentuk jeritan hidup yang tak lagi bisa ditahan. Demokrasi telah berubah menjadi kandang sapi, di mana politisi berebut kotoran untuk memperkaya diri, sementara rakyat jadi korban.
Saatnya Berhenti Percaya Dongeng
Kita masih bisa berpura-pura percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, sampai kapan? Berapa banyak lagi korban kekerasan yang harus berjatuhan? Selain itu, berapa triliun uang negara yang akan terus raib di kantong politisi korup? Dan akhirnya, mau sampai kapan rakyat percaya pada dongeng demokrasi yang sejatinya busuk?
“Demokrasi sudah busuk sejak akar hingga daun.” Kalimat ini akan terus relevan selama rakyat ditindas. Karena itu, sudah waktunya kita jujur bahwa demokrasi di Indonesia memang busuk, dari akar hingga daun.
Baca Juga: Membubarkan DPR Bukan Solusi: Reformasi Demokrasi adalah Jalan
Penulis: Ahmad Zahid Ali
Editor: Ahmad Zahid Ali


