Di sebuah desa kecil yang terletak di pesisir pantai utara, berdiri sebuah pesantren yang telah lama didirikan. Pesantren tersebut dipimpin oleh seorang kiai bijaksana bernama Kyai Alim Adil. Beliau dikenal masyarakat, bukan hanya karena keluasan ilmu agamanya, tetapi juga karena kebijaksanaannya yang mencerminkan sifat-sifat mulia seorang pemimpin spiritual.
Pada suatu pagi yang cerah, di bawah sinar matahari yang mulai menyapa desa, seorang santri baru bernama Syarif berjalan perlahan menuju pesantren tersebut. Dengan membawa secarik surat dari orang tuanya, Syarif sangat berharap bisa mendapatkan bimbingan yang baik untuk kehidupannya. Ia merasa bingung, berada di antara keraguan dan keyakinan: apakah ia mampu menjalani kehidupan pesantren yang keras dan penuh tantangan?
Syarif sudah lama mendengar tentang Kyai Alim Adil dan bagaimana beliau mendidik para santri menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas dalam ilmu agama, tetapi juga bijaksana dalam menghadapi kehidupan. Namun, Syarif belum pernah bertemu langsung dengan beliau. Pagi itu, ia bertekad untuk bertemu sang kiai.
Setelah beberapa waktu berjalan, akhirnya Syarif tiba di halaman pesantren. Di sana, ia melihat seorang lelaki tua sedang duduk di bawah pohon, dikelilingi oleh beberapa santri yang tampak serius mendengarkan nasihat beliau. Dengan hati berdebar, Syarif mendekati mereka.
“Assalamu’alaikum, Kiai,” sapa Syarif dengan suara gemetar.
“Wa’alaikumussalam, Nak. Apa yang membuatmu datang jauh-jauh ke sini?” tanya Kyai Alim Adil dengan senyum lembut yang memancarkan ketenangan.
Syarif pun menceritakan niatnya untuk menuntut ilmu di pesantren ini. Kiai mendengarkan dengan saksama, lalu memberikan nasihat yang mendalam.
“Syarif, hidup ini seperti perjalanan panjang yang penuh liku-liku. Jika kau ingin mengetahui jalan yang benar, maka kau harus menapaki setiap langkah dengan kesabaran dan keteguhan hati. Ingatlah kata-kataku ini:
Lan saben wong tan ilmu gawe amal lakune,
Iki ditolak sekeh amal tan katarimane.
Segala amal perbuatan, jika tidak didasari ilmu, niscaya akan menjadi sia-sia.”
Kata-kata itu menembus hati Syarif. Ia merasa ada sesuatu yang dalam dari ucapan Kiai. Selama ini, ia hanya terfokus pada pengetahuan, namun kurang memperhatikan bagaimana mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa bulan berlalu. Syarif mulai belajar banyak hal tentang kehidupan di pesantren. Ia tidak hanya mempelajari agama, tetapi juga cara hidup yang penuh disiplin, ketulusan, dan keteguhan iman. Setiap hari, ia semakin memahami pesan-pesan Kyai Alim Adil. Salah satunya adalah tentang pentingnya ikhlas dalam setiap perbuatan.
Suatu hari, Syarif mendapat kesempatan untuk berbicara lebih lama dengan Kiai. Ia bertanya:
“Kiai, bagaimana cara agar kita selalu bisa ikhlas dalam setiap amal?”
Kyai Alim Adil tersenyum bijak dan berkata:
Ikhlas iku bersihaken ati ing Allah nejane,
Gawe ibadah ora keno nejo liyane.
“Ketika kita berbuat kebaikan, janganlah mengharapkan pujian atau imbalan. Ingatlah selalu bahwa setiap amal yang kita lakukan, jika diniatkan karena Allah, maka itu akan memberikan kedamaian dalam hati kita. Seperti yang selalu saya katakan, ‘Keikhlasan adalah cahaya yang menerangi jalan menuju kebahagiaan sejati.’”
Sejak saat itu, Syarif merasa semakin terinspirasi. Ia mulai berusaha menerapkan ajaran Kiai dalam setiap aspek kehidupannya—baik dalam pergaulan, dalam belajar, bahkan dalam hal-hal kecil sekalipun.
Tahun demi tahun berlalu. Syarif pun tumbuh menjadi santri yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijaksana dan ikhlas dalam setiap perbuatannya. Setiap langkahnya dipenuhi semangat untuk selalu memberikan manfaat bagi sesama.
Suatu hari, Kyai Alim Adil memanggil Syarif ke hadapannya:
“Syarif, aku bangga padamu. Kau telah menjadi contoh yang baik bagi santri lainnya. Ingatlah selalu pesan yang pernah aku sampaikan:
‘Jangan pernah lelah berbuat kebaikan, karena kebaikan itu akan kembali kepada kita, bahkan lebih besar dari yang kita beri.’”
Syarif menunduk hormat. Ia tahu, tanpa bimbingan dan nasihat dari Kiai, ia tidak akan menjadi pribadi seperti sekarang ini.
“Terima kasih, Kiai. Saya akan terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik,” jawabnya dengan penuh tekad.
Cerpen ini menyampaikan pesan penting tentang ilmu, amal, dan keikhlasan, sebagaimana yang diajarkan oleh Kyai Alim Adil. Semoga kisah ini memberikan inspirasi dan manfaat bagi para pembaca.
Baca Juga: Obor Rifaiyah Tegal: K. Tawan, K. Mukmin
Penulis: Muhammad Nawa Syarif
Editor: Yusril Mahendra