Diskriminasi terhadap Rifa’iyah dimulai sejak Pemilu 1971 dan 1977, ketika mayoritas masyarakat Kabupaten Demak, Jawa Tengah, menyalurkan aspirasinya kepada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bahkan, sebagian pegawai negeri secara diam-diam memilih partai berlambang Ka’bah tersebut, kemungkinan demi menjaga keselamatan pribadi.
Demikian pula para santri Tarajumah yang dikenal mendukung PPP. Namun, hasil akhir pemungutan suara justru memperlihatkan kemenangan mengejutkan bagi Golkar. Ternyata banyak santri Tarajumah memilih Golkar secara diam-diam karena alasan keamanan serta adanya instruksi dari Pimpinan Pusat Yayasan Pendidikan Islam Rifa’iyah Jawa Tengah.
Sayangnya, kondisi ini dimanfaatkan oleh sebagian tokoh PPP untuk melaporkan kelompok santri Tarajumah sebagai aliran sesat. Laporan tersebut diajukan ke Kejaksaan Negeri Demak tanpa proses klarifikasi yang terbuka dan adil. Tanpa melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Departemen Agama setempat, Kejari Demak langsung mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: B.04/K.3.Dm.3/12/1980 tanggal 26 Desember 1980 yang melarang ajaran Islam Alim Adil dan kitab Ri’āyatul Muhimmah karya KH. Ahmad Rifa’i di wilayah hukumnya.
Kejari Demak kemudian meminta Kejati Jateng menerbitkan surat larangan serupa. Pada tahun 1981, terbitlah SK Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Nomor: Kep-012/K.3/4/1981 tanggal 2 April 1981. Surat tersebut menjadi dasar razia besar-besaran terhadap rumah warga Tarajumah dan tempat ibadah, dengan penyitaan kitab-kitab karya KH. Ahmad Rifa’i, termasuk Al-Qur’an. Ironisnya, yang menjadi sasaran adalah warga Yayasan Pendidikan Islam Rifa’iyah hanya karena memiliki kitab yang dianggap “mirip” dengan yang dilarang.
Padahal, sejak awal Pemilu, warga Rifa’iyah Demak telah diam-diam mendukung Golkar atas instruksi pimpinan Yasrif untuk menjaga keselamatan karena Demak merupakan basis PPP. Namun rahasia itu terbongkar dan memicu tekanan terhadap masjid, musala, dan majelis taklim Rifa’iyah. Aktivitas mereka dibekukan, termasuk pelaksanaan salat Jumat dan pengajian.
Hal serupa terjadi di Dukuh Beran, Watesalit, Kabupaten Batang. Ketika warga Rifa’iyah kecewa terhadap sikap arogan kepala desa dan beralih mendukung PPP dan PDI dalam Pemilu 1982, mereka dilaporkan atas tuduhan membuat keresahan. Kejari Batang kemudian menyita kitab-kitab KH. Ahmad Rifa’i dengan dalih SK Kejati Jateng dan hingga kini belum dikembalikan.
Bupati Batang, Drs. Soehod, sempat berjanji akan mengusahakan pengembalian kitab-kitab tersebut. Surat permohonan pun dikirim ke Kejati Jateng (Nomor: 220/996, tanggal 2 Juni 1992), namun tidak mendapat tanggapan.
Karena janji-janji tak ditepati dan aparat pemerintah terus mengaitkan SK Kejati Jateng dengan ajaran Rifa’iyah, maka Rifa’iyah mengajukan permohonan gelar Pahlawan Nasional bagi KH. Ahmad Rifa’i melalui DPRD Tk. II Batang (15 Maret 1993, Nomor: 045/PP/Rif’ah/3/1993). Namun permohonan tersebut ditangguhkan dengan alasan mengaitkan Rifa’iyah dengan ajaran Islam Alim Adil dan menyatakan bahwa organisasi Rifa’iyah belum sah secara hukum. Tuduhan ini bertentangan dengan UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan PP No. 18 Tahun 1986 tentang pelaksanaannya.
Rifa’iyah mengirim surat protes dan menawarkan dialog dengan DPRD, Muspida, dan instansi terkait. Dialog akhirnya digelar pada 22 November 1993 di Kejari Batang. Namun, dialog tersebut lebih menyerupai sidang pengadilan daripada diskusi. Rifa’iyah bersyukur karena hasil dialog dirumuskan secara positif oleh MUI dan NU. Namun sayangnya, ketika kesimpulan dikirim ke Kejati Jateng, tidak ada tanggapan hingga kini.
Sebelumnya, pada 9 April 1991, Koramil 03 Wonosalam Demak mengirimkan Surat Instruksi Nomor: Inst.13/03/IV/1991 yang meminta warga menyerahkan kitab-kitab Rifa’iyah dan melarang pelaksanaan salat Jumat. Tindakan ini dilakukan dengan dalih menjaga stabilitas nasional, padahal Kejati dan Kejari Demak telah mengeluarkan surat klarifikasi bahwa SK tersebut tidak ditujukan secara langsung kepada organisasi Rifa’iyah.
Pada tahun 1993, Kepala Kantor Sospol Batang kembali menuduh Rifa’iyah sebagai bagian dari ajaran Alim Adil. Tuduhan ini juga datang dari Bupati Batang, DPRD II Batang, dan Koramil Demak. Tidak ada satu pun tanggapan resmi terhadap surat-surat klarifikasi dari Rifa’iyah.
Menjelang Pemilu 1997, Golkar Jateng di bawah Letjen TNI (Purn) Alip Pandoyo menjanjikan akan menyelesaikan masalah SK Kejati Jateng jika Rifa’iyah bersedia mendukung Golkar. Namun, janji itu tak ditepati. Rifa’iyah menggelar pengajian akbar di berbagai kabupaten, mengundang tokoh-tokoh Golkar, dan kembali dijanjikan penyelesaian SK. Namun hingga kini, tak ada realisasi.
Bahkan pelaksanaan Muktamar V Rifa’iyah tahun 1997 di Wonosobo hampir dibatalkan karena alasan SK Kejati. Izin baru dikeluarkan setelah campur tangan Drs. H. Abdul Djamil, M.A. dari IAIN Walisongo.
Rifa’iyah sempat berniat membawa persoalan ini ke YLBH dan Komnas HAM, namun urung dilakukan demi menjaga citra pemerintah dan stabilitas daerah. Ulama dan pemimpin Rifa’iyah berhasil menenangkan para pemuda yang hampir saja menggelar aksi besar-besaran sebagai bentuk penolakan terhadap diskriminasi sistemik ini.
Kini, di era Reformasi, praktik diskriminasi terhadap Rifa’iyah seperti itu tidak boleh lagi terulang di negara hukum seperti Indonesia. Rifa’iyah tidak menuntut lebih. Mereka hanya memohon agar keadilan dan kebenaran ditegakkan sebagaimana mestinya di bumi Nusantara yang kita cintai ini. Alhamdulillah, berkat perjuangan mandiri warga Rifa’iyah, SK Nomor 12 Kejati Jawa Tengah tentang pelarangan ajaran Islam Alim Adil akhirnya dicabut. Kini, kita bebas menjalani aktivitas keagamaan.
Memoar KH. Ahmad Syadzirin Amin
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra