Doa-doa selalu dipanjatkan di mana pun, kapan pun, karena manusia menyadari keterbatasannya dan mengimani Tuhan, penebar rahmat bagi kelangsungan dan kebaikan hidup manusia.
Saya jadi terharu membuka kitab Ibtidāʾ Doa lan Jawab yang ditulis oleh KH. Ahmad Rifa’i (kemudian kami sebut sebagai Mbah Rifa’i), seorang Pahlawan Nasional kelahiran Kendal dan wafat di Manado, Sulawesi Utara. Betapa Mbah Rifa’i sangat mencintai umatnya. Beliau tak pernah tega menyematkan doa yang panjang lebar, yang kemudian kadang hanya dijawab dengan amin oleh pendengarnya tanpa kesadaran akan maknanya.
Kitab doa Simbah yang jumlahnya ratusan itu sangat sederhana. Setiap doa tidak lebih dari dua baris syair yang sarat makna. Bahkan Mbah Rifa’i mendasari setiap doa dengan ilmu, tentu untuk memahami maksud doa, makna yang terkandung di dalamnya, yang sesuai dengan kondisi dan nuansa hidup manusia Jawa.
Doa-doanya lebih mementingkan proses hidup manusia daripada hasil materi dunia semata. Dari ratusan doa, tidak ditemukan doa agar cepat kaya, tetapi doa permohonan kebaikan ikhtiar kita:
اللَّهُمَّ أَعْطِنَا حُسْنَ اخْتِيَارِنَا # هَىْ الله مُوْؼِيْ تُوْهَانْ سِيْه مٓمَارِݟَنَا
إݟ كَوُلَ سٓدَيَا سَاهَىْ وَوٓنْتَنَا # اِخْتِيَارْ كَوُلَ كَارَنَا تُوْهَان كَسٓجَئْنَا
“Ya Allah, mudah-mudahan Engkau memberikan kepada kami kebaikan ikhtiar kami, dan kehendak ikhtiar karena Allah semata.”
Untuk apa kaya kalau ikhtiarnya batil? Asalkan ikhtiarnya halal dan baik, maka kaya atau miskin bukan ukuran kesuksesan. Tetapi selamat dan celaka itulah yang menjadi ukuran akurat dari kesuksesan.
Doa-doa Simbah indah dalam lantunannya karena tersurat dalam syair. Tapi yang kita saksikan, doa-doa itu jarang dikutip, bahkan oleh para pengikutnya dalam berbagai acara. Karena para pendoa lebih “mementingkan dirinya sendiri”, sedangkan Mbah Rifa’i selalu berikhtiar agar manusia berucap dengan menyadari maknanya. Manusia bukan layaknya burung beo, melainkan hati dan akalnya selalu bertanggung jawab atas apa yang disampaikan. Bukan pula ibarat orang-orang pemabuk yang mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya.
Apakah kita tidak merenungi ayat berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…”
Dengan mentadabburi doa-doa Mbah Rifa’i, kita menyadari bahwa selama ini berdoa justru menjadikan orang-orang seperti mabuk (tidak tahu maknanya). Bagaimana mungkin bisa khusyuk, sementara kebanyakan tidak tahu maknanya? Sebagaimana substansi kandungan ayat tersebut: syarat khusyuk adalah mengetahui makna—menyadari apa yang diucapkan. Karena khusyuk itu menyinkronkan hati, pikiran, dan ucapan.
Para tokoh, berdoalah dengan doa yang sederhana, yang dipahami maknanya oleh orang-orang awam, sebagaimana telah disusunkan oleh Simbah dalam kitab Doa lan Jawab, sehingga doa-doanya tidak membuat orang awam mabuk. Pimpinan pusat berkewajiban menerbitkan kitab Doa lan Jawab sebagai langkah solutif. Supaya tidak mabuk lagi… mabuk lagi… he…he…
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra