Kemarin, seorang ibu dari kalangan UMRI menghubungi saya lewat pesan singkat. Ia bertanya tentang bagaimana hukum perempuan mengikuti senam atau berjoget menurut pandangan ulama Rifa’iyah.
Dalam hati saya sempat bergumam, “Lho, kok tanya ke saya?” Bukankah perkara hukum seperti ini ranahnya para kiai—lebih tepatnya Biro Hukum dan Syariat di Pimpinan Pusat Rifa’iyah? Maka, saya coba arahkan ibu tersebut untuk langsung berkonsultasi dengan pihak yang berwenang.
Namun, si Ibu tersenyum lewat chat-nya, “Saya belum kenal orang-orang di biro itu. Lagipula, biasanya njenengan yang sering nulis hal-hal menarik semacam ini.”
Jujur saja, dada saya langsung mengembang—antara tersanjung dan grogi. Untung tak ada yang memotret ekspresi saya yang sedang GR itu.
Akhirnya, di sela-sela jadwal mengajar, saya sempatkan menulis sedikit catatan ini. Sebab saya teringat pesan guru saya:
“Aja tau nolak panyuwunan apik saka wong liya. Sing nggugah atine wong iku Pangeran. Yen awakmu nolak, podo karo nolak Pangeran.”
(Selama itu permintaan baik, jangan pernah ditolak. Sebab yang menggerakkan hati seseorang untuk meminta tolong adalah Allah. Menolak berarti menolak kehendak-Nya.)
Pesan sederhana, tapi setiap kali saya ingat, hati ini selalu bergetar.
Konteks Sosial: Ketika Ibu-Ibu Mengikuti Senam Aerobik
Dalam keseharian masyarakat desa, istilah senam aerobik sering disebut joget. Fenomena ini bisa kita lihat sebagai gejala sosial modern, terutama ketika rutinitas ibu rumah tangga kini banyak terbantu oleh teknologi.
Menimba air sudah digantikan pompa listrik, mencuci pakaian oleh mesin cuci, bahkan pekerjaan rumah lainnya kini banyak diserahkan pada asisten rumah tangga.
Akibatnya, banyak ibu-ibu memiliki waktu luang lebih banyak—tenaga tersisa, dan tak jarang, juga kantong yang tebal.
Nah, waktu luang, tenaga, dan finansial inilah yang sering melahirkan pertanyaan:
“Waktu senggang ini enaknya dipakai apa ya?”
Sebagian ibu mengisinya dengan pengajian rutin—harian, mingguan, bahkan selapanan. Namun, tak sedikit yang merasa perlu kegiatan lain, terutama yang berkaitan dengan kesehatan, kecantikan, pergaulan, dan pengembangan diri.
Di era media sosial seperti sekarang, banyak ibu muda yang terinspirasi dari postingan teman-temannya: ikut komunitas, ikut kelas yoga, zumba, atau aerobik.
Kegiatan ini bukan sekadar olahraga, tapi juga ruang silaturahmi dan ajang memperluas pergaulan. Kadang, tanpa disadari, juga menjadi bentuk pansos—ingin terlihat aktif, modern, atau berkelas.
Namun, bagi sebagian kalangan tua—terutama di lingkungan Rifa’iyah—aktivitas semacam ini terasa janggal, bahkan “asing”.
Di sinilah sering muncul gesekan sosial antar generasi. Yang muda merasa ingin berkembang, yang tua khawatir nilai-nilai adab dan kesopanan mulai tergerus.
Padahal, niat di balik kegiatan itu bisa sangat beragam: ada yang tulus untuk kesehatan, ada yang ingin bersilaturahmi, ada yang memang mencari hiburan, dan ada pula yang sekadar ikut tren.
Yang perlu disadari, semua fenomena sosial baru memang cenderung mengusik kemapanan—apalagi jika tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat sebelumnya.
Kecantikan dan Tantangan Media
Perempuan modern kini dihadapkan pada derasnya arus iklan dan media.
Berbagai produk kecantikan menggiring opini bahwa wanita ideal adalah yang bertubuh ramping, mulus, dan proporsional—seperti gitar spanyol.
Padahal, dalam pandangan agama, kemuliaan wanita justru diukur dari kesalihan dan akhlaknya, bukan dari bentuk tubuh atau riasannya.
Islam tidak menolak keinginan untuk tampil cantik. Kecantikan adalah fitrah, asal diniatkan dengan benar: untuk menjaga kerapian diri, bukan untuk pamer di ruang publik atau menarik perhatian yang tidak semestinya.
Kuncinya adalah keseimbangan antara kecantikan lahir dan batin, antara iffah (menjaga kehormatan) dan akhlaqul karimah.
Aurat dan Batasannya dalam Islam
Islam dengan tegas mengajarkan agar wanita menjaga aurat dan kehormatan.
Allah berfirman dalam QS. An-Nur: 31, yang artinya:
“Katakanlah kepada perempuan yang beriman agar mereka menundukkan pandangannya, menjaga kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak…”
Ayat ini menjadi dasar bahwa menjaga aurat adalah bagian dari ketaatan dan penghormatan terhadap diri sendiri.
Dalam Lisān al-‘Arab, Ibnu Mandzūr menjelaskan bahwa aurat berarti sesuatu yang dianggap aib bila terlihat, sesuatu yang seharusnya ditutup.
Sedangkan dalam fikih, aurat adalah bagian tubuh yang wajib ditutup karena membuka bagian itu dapat menimbulkan fitnah atau rasa malu.
Batasan aurat berbeda antara laki-laki dan perempuan:
- Laki-laki: dari pusar hingga lutut.
- Perempuan: seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan.
- Ahmad Rifa’i pun menegaskan dengan ungkapan khas beliau:
“Iku sekabehane badan anging rerahine lan epek-epeke.”
(Artinya: seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangannya.)
Dalil-Dalil Penguat
Rasulullah ﷺ bersabda kepada Asma’ binti Abu Bakar ketika beliau mengenakan pakaian tipis:
“Wahai Asma’, jika seorang wanita telah mencapai usia baligh, tidak pantas terlihat darinya kecuali ini dan ini,”
sambil menunjuk wajah dan kedua telapak tangan.
(HR. Abu Dawud)
Demikian pula batas aurat sesama jenis ditegaskan dalam hadis riwayat Muslim:
“Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan jangan pula seorang perempuan melihat aurat perempuan lain…”
Hukum dan Etika Senam bagi Perempuan
Dari seluruh uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa senam atau aerobik pada dasarnya merupakan kegiatan positif, selama memenuhi beberapa syarat:
- Menjaga aurat — pastikan pakaian tidak ketat, transparan, atau membuka bagian tubuh yang seharusnya tertutup.
- Dilakukan di lingkungan tertutup — khusus perempuan, tidak di tempat umum.
- Tidak diekspos media atau kamera, agar tidak menjadi tontonan publik.
- Diniatkan untuk kesehatan, bukan untuk pamer tubuh atau gaya hidup.
Dengan demikian, senam bisa menjadi bagian dari ikhtiar sehat, asal tetap dalam bingkai adab dan kesopanan sebagaimana diajarkan Islam dan diafirmasi oleh nilai-nilai Rifa’iyah: menjaga iffah, adab, dan keseimbangan antara lahir dan batin.
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra

