Wonosobo – Di jantung peradaban Islam, Universitas Al-Azhar Kairo, nama Muchamad Sakho Fairuz Adabi berkilau di antara ribuan wisudawan dari berbagai penjuru dunia. Pemuda kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah, yang akrab disapa Gus Sakho, berhasil meraih predikat Mumtaz ma’a Martabati Asy-Syaraf (Lulusan Terbaik dengan Kehormatan) dalam bidang Syariah Islamiyah pada tahun 2024. Pencapaian luar biasa ini, diraih di tengah 1.500 wisudawan dari 39 negara, tak hanya mengharumkan nama Indonesia, namun juga menjadi lentera inspirasi bagi segenap warga Rifa’iyah.
Berkat prestasi yang luar biasa ini, Gus Sakho pulang ke Indonesia dengan penyambutan yang Istimewa, bahkan mendapatkan kehormatan untuk menyampaikan orasi di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta.
Latar Belakang Keluarga: Pondasi Keilmuan dan Spiritual
Gus Sakho, lahir pada 20 Februari 1997, tumbuh dalam naungan keluarga Rifa’iyah yang taat beragama. Ayahnya, KH. Amin Ridho, seorang kiai kharismatik dan sosok panutan, menjadi guru pertama dalam mengenalkan ilmu agama dan nilai-nilai luhur. Ibu tercinta, Tri Masudah, dengan penuh kasih sayang mendampingi setiap langkah pendidikannya. Akar keilmuan keluarga Gus Sakho bahkan merujuk pada Mbah Hasan Dimeja dan Abu Hasan, keduanya merupakan murid langsung dari Hadratussyaikh Syaikhina Ahmad Rifa’i, menambah kuatnya tradisi keilmuan yang mengalir dalam dirinya. Syaikhina Ahmad Rifa’i yang pernah menimba ilmu di Makkah dan Mesir, juga menjadi inspirasi utama Gus Sakho. “Saya ingin mengikuti jejak beliau, mengambil sanad ilmu di Mesir, dan mengabdikan diri untuk umat,” tuturnya.
Perjalanan Pendidikan: Dari Pesantren Hingga Al-Azhar
Perjalanan pendidikan Gus Sakho adalah untaian pengalaman yang memperkaya jiwa dan intelektualitasnya. Dimulai dari bangku SDN 5 Wonosobo (2009), ia kemudian melanjutkan ke SMP IT sekaligus pesantren Amtsilati (2012) di Jepara, yang diasuh oleh Abah Yai Taufiqul Hakim, sebuah pesantren yang fokus pada pendalaman Nahwu, Shorof, dan Bahasa Arab. Pengalaman merantau di usia belia ini menempa kemandirian dan memperluas cakrawala pergaulannya. Selepas SMP, Gus Sakho melanjutkan ke Muadalah PP Sulaimaniyah di Surabaya dan Turki (2017), sebuah jenjang pendidikan yang semakin mematangkan pemahaman agamanya. Pesantren ini didirikan oleh Syekh Sulaiman Hilmi Tunahan.
“Saat di Turki, Saya belajar kitab-kitab salaf yang diajarkan di era Khilafah Utsmaniyah, yang sempat hilang saat rezim Mustafa Kemal Atatürk. Di sana, adab terhadap ilmu sangat dijaga. Salah satu guru bahkan cuci tangan sebelum masuk kamar kecil karena tidak ingin tinta untuk menulis Al-Quran dan ilmu-ilmu syariat tercemar di tempat kotor,” kenangnya.
Titik balik penting dalam perjalanan pendidikannya adalah ketika ia menjejakkan kaki di bumi Mesir, melanjutkan studi S1 di Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar Kairo. Cita-cita untuk menimba ilmu di kiblatnya para ulama ini telah bersemi sejak ia masih menjadi santri. “Saya tertarik untuk belajar di Al-Azhar sejak masih menjadi santri di pesantren, dengan sejarahnya yang panjang sebagai salah satu pusat keilmuan Islam yang tertua dan paling terhormat di dunia, juga sebagai kiblat ilmu dan ulama, apalagi karya-karya ulamanya adalah kitab-kitab pokok yang dulu kami pelajari,” ungkap Gus Sakho dalam wawancara eksklusif.
Selama empat tahun menimba ilmu di Al-Azhar, Gus Sakho tidak hanya disuguhi keluasan ilmu agama seperti Tafsir, Hadis, Fiqih, dan Ushul Fiqh, namun juga dididik dalam hal akhlak, adab, dan tawadhu’ (kerendahan hati) oleh para masyayikh yang alim. Ia juga mendalami Manhaj Wasathiyyah, sebuah pendekatan Islam yang moderat, menekankan keseimbangan, dan menolak segala bentuk ekstremisme. Pemahaman ini menjadi landasan penting dalam pandangan keagamaannya yang inklusif dan terbuka.
Sosok yang Menyalakan Semangat
Bagi Gus Sakho, menuntut ilmu tidak hanya sekadar meraih gelar atau prestasi akademik. Di balik capaian gemilangnya sebagai salah satu lulusan terbaik Universitas Al-Azhar Kairo tahun 2024, terpancar pula kisah panjang keteladanan dari sosok-sosok yang diam-diam menjadi lentera di setiap tahap hidupnya.
“Dari kecil sampai kuliah, selalu ada figur panutan di setiap fase kehidupan saya. Semua dimulai dari Abah,” ujarnya dalam wawancara bersama tim redaksi rifaiyah.or.id. Keteladanan sang ayah yang konsisten dalam mendidik, membimbing, dan mendoakan menjadi fondasi awal karakter Gus Sakho sebagai santri dan pencari ilmu. Namun, perjalanan intelektualnya membawanya menemukan inspirasi lain yang begitu membekas: Syekh Sulaiman Hilmi Tunahan, ulama besar Turki yang berdakwah di masa-masa tergelap sejarah Islam di tanah Anatolia.
Syekh Sulaiman, yang dulunya adalah profesor muda di Universitas Istanbul, memilih jalan sunyi saat kekuasaan baru Republik Turki melarang segala bentuk pengajaran agama setelah runtuhnya Kekhilafahan Utsmaniyah. Dalam situasi penuh tekanan di bawah pemerintahan Mustafa Kemal Atatürk, Syekh Sulaiman tak gentar. Ia memilih jalan senyap: mengajar agama secara diam-diam di gubuk tengah sawah, menyewa gerbong kereta antara Istanbul dan Ankara, bahkan mengajar di basement rumah-rumah muridnya.
“Beliau dipenjara berkali-kali, tetapi tidak pernah berhenti berdakwah,” kata Gus Sakho, dengan nada bangga. “Selama lebih dari dua dekade beliau mengajar secara sembunyi-sembunyi. Sampai akhirnya murid-murid beliau masuk ke pemerintahan dan membuka kembali pintu pendidikan agama di Turki.”
Bagi Gus Sakho, kisah perjuangan Syekh Sulaiman bukan sekadar sejarah. Ia melihat gema perjuangan itu sebagai sesuatu yang sangat dekat dengan gerakan dakwah Syaikhina KH. Ahmad Rifai, yang juga harus bergerak dalam bayang-bayang kekuasaan kolonial.
Peran Doa dan Kedekatan dengan Orang Tua
Keberhasilan meraih predikat lulusan terbaik bukanlah diraih dengan instan. Gus Sakho meyakini bahwa kesuksesannya adalah perpaduan antara ikhtiar lahir dan batin. “Saya kalau telepon Abah-Ibu pasti minta do’a, terlebih di saat ada agenda ujian-ujian kampus. Meskipun Saya tahu setiap malam didoakan Abah Ibu, Saya tahu. Bahkan ada yang menceritakan bahwasanya dalam dua kali sehari dikirim bacaan al-Fatihah 41 kali. Saya yakin kunci kesuksesan saya adalah do’a mereka, senjata utama saya,” tuturnya dengan penuh haru.
Metode Belajar Efektif Ala Gus Sakho
Di sisi lain, Gus Sakho juga menerapkan disiplin tinggi dalam belajar. Ia menyusun rencana kegiatan harian secara rinci, mulai dari bangun malam untuk talaqqi (mengaji) dan muroja’ah (mengulang hafalan Al-Qur’an), mengikuti perkuliahan di Jami’an dan Jami’atan (masjid dan kampus) dengan seksama, hingga muthala’ah (mempelajari berbagai kitab). Bahkan, waktu istirahat dan penggunaan gawai pun diatur sedemikian rupa agar tidak mengganggu fokus belajarnya. Dalam rutinitas ini, tidur yang cukup sangat berpengaruh terhadap kelancaran aktifitas.
Ia juga menerapkan metode belajar yang efektif. Ia mengadopsi Teknik Feynman, yakni memahami materi dengan menjelaskannya kembali dalam bahasa sederhana. “Jika tak bisa dijelaskan dengan ringkas, berarti belum benar-benar paham,” katanya.
Untuk menjaga fokus, ia menggunakan Teknik Pomodoro: belajar 25 menit, istirahat singkat, lalu lanjutkan siklus tersebut. “Fokus optimal manusia hanya 25–30 menit. Metode ini mencegah kejenuhan dan meningkatkan retensi memori,” jelasnya. Tak kalah penting, ia juga menggunakan pengulangan berjarak (space repetition). “Setelah baca kitab, ulangi dalam 1 jam, 6 jam, besok, lalu seminggu berikutnya. Ini lebih efektif daripada sekaligus lama,” paparnya.
Gus Sakho juga memberikan tips menentukan antara banyak belajar atau banyak ibadah. Untuk menggambarkan dedikasinya terhadap ilmu, baginya belajar adalah fardhu ‘ain, bagi seorang pencari ilmu, sedangkan ibadah sunnah seperti sholat malam dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Ia lebih memilih menghabiskan waktu malam untuk belajar karena manfaatnya tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk umat. Sedangkan sholat sunnah kemanfaatannya untuk hanya kembali pada diri sendiri.
Menyongsong Masa Depan
Setelah menamatkan studinya di Al-Azhar, Gus Sakho memiliki tekad yang kuat untuk kembali ke tanah air dan mengabdikan ilmunya demi kemajuan umat dan bangsa, khususnya bagi warga Rifa’iyah. Cita-citanya adalah untuk berkontribusi di dunia pendidikan, baik melalui pengajaran di pesantren maupun lembaga pendidikan lainnya, merancang kurikulum yang relevan dan efektif, serta menyebarkan pemahaman Islam yang wasathiyah di tengah masyarakat.
“Saya juga ingin membangun badan usaha yang mandiri bagi pesantren saya, sehingga bisa meringankan biaya para santri dan memberikan beasiswa bagi mereka yang berprestasi,” ungkapnya dengan visi yang jelas.
Saat ini, Gus Sakho tengah mempersiapkan diri untuk melanjutkan studi di jenjang yang lebih tinggi, dengan target untuk menimba ilmu di Barat. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk memperluas wawasan, melihat Islam dan dinamika global dari perspektif yang lebih luas, dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Islam yang telah ia pelajari.
Harapan dan Pesan untuk Generasi Muda
Kisah gemilang Gus Sakho di Al-Azhar bukan hanya menjadi kebanggaan sesaat, namun diharapkan dapat menjadi suluh inspirasi bagi generasi muda Rifa’iyah, khususnya para santri. Pesannya yang kuat untuk selalu menjaga niat, menyeimbangkan ilmu dan amal, memiliki cita-cita tinggi, serta berani merencanakan masa depan dengan usaha dan doa, menjadi bekal berharga dalam meniti jalan kesuksesan. Prestasi Gus Sakho membuktikan bahwa dengan kesungguhan, kerja keras, dan restu orang tua, mimpi setinggi langit pun dapat diraih, mengharumkan nama keluarga, komunitas Rifa’iyah, dan bangsa.
Biodata:
- Nama Lengkap: Muchamad Sakho Fairuz Adabi
- Tempat, Tanggal Lahir: Wonosobo, 20 Februari 1997
- Alamat: Krasak, Mojotengah, Wonosobo
- Pendidikan Terakhir: S1 Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir (2024), Predikat: Mumtaz ma’a Martabati Asy-Syaraf
- Cita-cita: Mengembangkan Pesantren Abah
- Aktifitas saat ini: mengajar di PP Manbaul Anwar, Krasak, Mojotengah, Wonosobo
- Motto: وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ، وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (Ketahuilah bahwasanya kemenangan itu bersama kesabaran, dan jalan keluar itu bersama kesulitan, dan bahwasanya bersama kesulitan ada kemudahan). (HR. Tirmidzi)
Liputan ini diharapkan bisa menginspirasi generasi muda untuk mengejar mimpi dengan semangat keilmuan dan pengabdian. Selamat untuk Gus Sakho, sang Mumtaz dari Wonosobo!
Penulis: Mukti Assiddiqi
Editor: Ahmad Zahid Ali