Di balik setiap gelar pahlawan yang tersemat, tersimpan kisah perjuangan yang tak kalah heroik dari tokoh itu sendiri. Ini adalah reportase tentang kegigihan, semangat yang tak pernah padam, dan kerja kolektif Jam’iyah Rifa’iyah dalam menempuh jalan panjang dan berliku demi memperjuangkan pengakuan negara terhadap guru dan panutan mereka, KH. Ahmad Rifa’i, sebagai Pahlawan Nasional.
Dokumen-dokumen ini merekam jejak langkah mereka, dari ruang rapat sederhana hingga lobi pemerintahan tertinggi—sebuah narasi inspiratif tentang bagaimana sebuah komunitas berjuang demi kehormatan sejarah.
Babak Awal: Konsolidasi dan Mengetuk Pintu Birokrasi (1993–1997)
Perjuangan ini tidak dimulai dalam semalam. Pada awal dekade 1990-an, benih-benih upaya mulai disemai secara lebih serius. Puncaknya terjadi pada Muktamar V Rifa’iyah di Wonosobo, 12–14 Desember 1997. Momen ini menjadi titik balik yang krusial.
Dalam muktamar yang sarat akan musyawarah itu, lahir tiga keputusan strategis:
- Transformasi Nama: Nama organisasi “Rifa’iyah-Tarajumah” disederhanakan menjadi “Jam’iyah Rifa’iyah”. Ini bukan sekadar perubahan nama, melainkan langkah modernisasi untuk memudahkan komunikasi dengan pemerintah dan dunia luar serta menunjukkan semangat kebersamaan dengan ormas Islam lainnya.
- Legitimasi Formal: Mendesak agar Jam’iyah Rifa’iyah segera mendapatkan surat keterangan terdaftar dari Mendagri sebagai bentuk pengakuan resmi negara.
- Prioritas Utama: Menempatkan permohonan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional untuk KH. Ahmad Rifa’i sebagai program prioritas.
Di bawah kepemimpinan Ketua Umum terpilih, KH. Ahmad Syadzirin Amin, bersama Sekretaris Umum KH. Drs. Mukhlisin Muzarie, mesin organisasi mulai bergerak dengan kecepatan penuh.
Langkah Tegas dan Pengakuan Resmi (1998)
Tahun 1998 menjadi tahun penuh aksi. Berdasarkan permohonan Pimpinan Pusat Rifa’iyah tertanggal 24 November 1997, perjuangan mereka membuahkan hasil. Pada 29 Juli 1998, Direktorat Sosial Politik Jawa Tengah secara resmi menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar No. 220/1 130, yang menandai pengakuan formal pemerintah terhadap eksistensi Jam’iyah Rifa’iyah.
Dengan status hukum yang lebih kuat, mereka menggelar Mukernas IV di Pekalongan pada Oktober 1998. Mukernas ini menghasilkan amanat yang sangat jelas:
- Segera memohon kepada Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah untuk meninjau kembali SK. 012/K.3/4/1981, yang selama ini menjadi kendala terberat.
- Secara resmi kembali mengajukan permohonan gelar Pahlawan Nasional untuk KH. Ahmad Rifa’i.
Momentum Baru dan Harapan yang Membumbung (2002)
Setelah melalui berbagai persiapan, perjuangan memasuki babak baru yang penuh harapan. Pada 10 Februari 2002, dalam Rapat Pimpinan Pusat di Masjid Bantaran, permohonan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional diajukan kembali dengan semangat baru. Panitia Pengarah dan Panitia Pelaksana yang solid dibentuk, diketuai oleh KH. Ahmad Syadzirin Amin dan KH. Drs. Mukhlisin Muzarie, M.Ag.
Langkah-langkah strategis pun segera dieksekusi:
- Rekomendasi Bupati: Pada 2 Juli 2002, permohonan rekomendasi diajukan kepada Bupati Batang.
- Dukungan Daerah: Pada 12 Agustus 2002, Bupati Batang, Bapak Bambang Bintoro, S.E., secara resmi memohon kepada Gubernur Jawa Tengah untuk mengusulkan KH. Ahmad Rifa’i sebagai Pahlawan Nasional.
- Lampu Hijau Provinsi: Kurang dari sebulan kemudian, pada 7 September 2002, Gubernur Jawa Tengah di Semarang mengabulkan permohonan tersebut dan mengeluarkan rekomendasi nomor 9006.2/943 yang ditujukan kepada Pemerintah Pusat. Ini adalah kemenangan besar yang disambut dengan suka cita.
Puncak dari momentum ini adalah penyelenggaraan Muktamar VI di Ambarawa, Semarang, pada 20–22 Desember 2002. Acara ini terasa begitu istimewa karena dihadiri dan dibuka langsung oleh Wakil Presiden RI, Dr. Hamzah Haz. Ini menunjukkan bahwa perjuangan Rifa’iyah telah sampai ke telinga pucuk pimpinan nasional.
Penundaan dan Pelengkapan “Amunisi” Sejarah (2003)
Harapan untuk melihat gelar tersebut dianugerahkan dalam waktu dekat harus tertunda. Mukernas di Kayen, Pati, tahun 2003 yang sedianya akan dibuka oleh Menteri Sosial RI, Dr. Bachtiar Chamsyah, harus berjalan tanpa kehadiran sang menteri. Penyebabnya adalah proses gelar Pahlawan Nasional yang tertunda.
Menurut “Tim 13,” penundaan ini disebabkan oleh kekurangan data-data pendukung. Dinas Kesejahteraan Sosial Jawa Tengah melalui surat bertanggal 13 Oktober 2003 meminta agar kekurangan tersebut segera dilengkapi. Data yang dibutuhkan mencakup rekomendasi dari MUI Jawa Tengah hingga data autentik dari negeri Belanda.
Penundaan ini tidak menyurutkan semangat mereka. Justru, ini menjadi pemicu untuk melakukan perburuan dokumen sejarah yang lebih masif dan mendalam.
Harta Karun Dokumen: Arsenal Perjuangan Rifa’iyah
Untuk menjawab tantangan tersebut, Jam’iyah Rifa’iyah mengumpulkan “amunisi” berupa data-data akurat yang luar biasa lengkapnya. Sumber-sumber ini menunjukkan betapa serius dan telitinya perjuangan mereka:
- Visual dan Tulisan Pribadi: Foto KH. Ahmad Rifa’i, riwayat hidup, pemikiran-pemikiran, hingga syair-syair antikolonial karya beliau.
- Arsip Kolonial: Surat-surat tekanan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda terhadap gerakan KH. Ahmad Rifa’i, diperoleh dari Arsip Nasional Jakarta dan bahkan dari Arsip Universitas Leiden, Belanda, berkat bantuan Prof. Dr. H. Abdul Djamil, M.A.
- Legitimasi Keulamaan: Fatwa dari KH. Bisyri Mustofa Rembang dan fatwa MUI Jawa Tengah tentang Rifa’iyah.
- Dukungan Pemerintah: Sambutan dan surat dari berbagai instansi pemerintah, mulai dari Departemen Agama (1968) hingga hasil penelitian IAIN Walisongo (1999).
- Kajian Akademis: Kesimpulan dari Seminar Nasional yang membahas pembaruan Islam dan gerakan KH. Ahmad Rifa’i.
Daftar 22 jenis dokumen ini adalah bukti nyata kerja keras yang luar biasa, sebuah upaya untuk merekonstruksi sejarah secara utuh dan tak terbantahkan.
Inspirasi dan Warisan Perjuangan
Kisah yang terekam dalam dokumen-dokumen ini lebih dari sekadar urusan administrasi. Ini adalah cerminan dari loyalitas, dedikasi, dan cinta sebuah komunitas terhadap pendirinya. Perjuangan Jam’iyah Rifa’iyah mengajarkan kita bahwa menghormati pahlawan bukan hanya dengan mengenang, tetapi dengan berjuang untuk memastikan warisan dan pengorbanan mereka diakui secara pantas.
Meskipun dokumen ini berakhir pada tahun 2003, jalan panjang yang telah mereka tempuh menjadi fondasi yang kokoh—sebuah epik perjuangan yang menginspirasi generasi penerus untuk tidak pernah menyerah menjaga api sejarah tetap menyala.
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra