Di ruang rapat Kementerian Keuangan yang dingin dan penuh layar data, seorang menteri baru duduk menatap grafik likuiditas. Purbaya Yudhi Sadewa—nama yang kini kian sering terdengar dalam pemberitaan ekonomi nasional—memilih langkah berani: menggerakkan uang negara yang mengendap. Bukan sekadar angka di layar, baginya uang itu adalah darah kehidupan ekonomi yang tak boleh membeku.
“Uang negara harus hidup. Kalau diam, ia mati. Kalau berputar, ia memberi napas,” ujarnya dalam satu konferensi pers.
Dalam pandangan Islam, uang bukan hanya alat tukar. Ia adalah amanah bagi setiap muslim untuk mengelolanya dengan adil. Rasulullah ﷺ menegaskan dalam sabdanya:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Maka ketika negara mengelola triliunan rupiah dana publik, yang sesungguhnya dikelola adalah kepercayaan umat. Dan di sinilah titik perjumpaan antara kebijakan fiskal dan nilai syariat: keduanya sama-sama berakar pada amanah dan maslahat.
Ekonomi sebagai Amanah
Dalam sejarah Islam klasik, Khalifah ʿUmar bin al-Khaṭṭāb ra. dikenal tegas dalam hal keuangan negara. Ketika melihat pegawainya menimbun harta tanpa kemaslahatan, ia berkata:
إِنَّمَا الْمَالُ مَالُ اللَّهِ، وَالْعِبَادُ عِيَالُ اللَّهِ، فَقَسِمُوا الْمَالَ بَيْنَهُم بِالْحَقِّ
“Sesungguhnya harta itu milik Allah, dan manusia adalah keluarga Allah. Maka bagikanlah harta itu di antara mereka dengan adil.”
Jejak pemikiran Umar ini hidup kembali dalam kebijakan realokasi dana mengendap (idle funds) yang dilakukan Purbaya. Islam tidak mengenal konsep “uang tidur”. Dalam fikih muamalah, harta yang tidak digunakan untuk kebaikan dianggap taʿṭīl al-māl — membekukan amanah Allah tanpa memberi manfaat.
Prinsip inilah yang sejalan dengan firman Allah:
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ
“Agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS. al-Ḥasyr [59]: 7)
Ketika Uang Harus Mengalir Seperti Air
Kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengambil langkah berani: memindahkan dana sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke bank-bank milik negara (HIMBARA) — seperti BRI, BNI, BTN, BSI, dan Bank Mandiri.
Tujuannya sederhana tapi bermakna besar: agar uang itu tidak diam di tempat, melainkan mengalir ke sektor riil, mendukung kredit usaha, dan memberi napas bagi masyarakat kecil yang butuh modal untuk bergerak.
Kebijakan ini mencerminkan nilai universal yang juga diajarkan dalam Islam: harta harus berputar dan bermanfaat.
Air yang mengalir akan jernih dan memberi kehidupan. Tapi air yang dibiarkan diam lama-lama akan keruh dan berbau.
Begitu juga dengan darah dalam tubuh — ketika mengalir, ia membawa energi dan kehidupan. Namun jika tersumbat dan membeku, ia menandakan penyakit, bahkan kematian.
Dalam pandangan Islam, harta yang berhenti berputar menimbulkan ketimpangan, memupuk kesenjangan sosial, dan melahirkan kemiskinan struktural. Dari situlah muncul gejolak dan kekacauan sosial. Karena itu, Islam menekankan pentingnya perputaran ekonomi yang adil dan produktif.
Kami tidak bosan-bosannya mengulang ayat Allah ﷻ:
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
“Agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. al-Ḥasyr [59]: 7)
Ayat ini mengingatkan bahwa kebijakan ekonomi sejati adalah yang membuat harta berputar dari atas ke bawah, dari kalangan kuat kepada mereka yang lemah, bukan malah sebaliknya, sehingga kehidupan menjadi seimbang.
Ketika “Roda” Ekonomi Berputar, yang Diam Akan Merasa Terombang-Ambing
Tak lama setelah kebijakan ini berjalan, muncul suara lantang dari Hotman Paris Sitompul, pengacara ternama yang juga dikenal sebagai salah satu depositor besar. Ia mengeluhkan bahwa bunga deposito dan tabungannya anjlok drastis.
Bagi para pemilik simpanan besar, turunnya bunga deposito tentu terasa pahit. Tapi bagi Menteri Purbaya, yang dijuluki “Menteri Koboy” karena sikap beraninya, semua itu sudah diperhitungkan.
Dengan tenang ia menjawab, “Memang tujuannya begitu…”
Menurutnya, uang yang hanya mengendap harus dipaksa bekerja. Dana besar yang selama ini tidur di bank justru membebani bank karena harus dibayar bunganya. Maka, dengan suntikan likuiditas dari negara, bank-bank tidak lagi bergantung pada deposito besar itu.
Dampak lanjutannya menarik: para depositor mungkin akan mulai menanamkan uangnya langsung ke sektor produktif, misalnya bermitra dengan UMKM atau usaha-usaha riil berbasis mudhārabah — sistem bagi hasil yang lebih selaras dengan prinsip syariah.
Hikmah Ekonomi Islam
Islam mengajarkan bahwa kekayaan yang baik adalah yang bergerak dan menebar manfaat. Rasulullah ﷺ bersabda:
نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلرَّجُلِ الصَّالِحِ
“Sebaik-baik harta ialah harta yang dimiliki oleh orang saleh.” (HR. Aḥmad)
Harta yang produktif di tangan orang yang amanah bukan hanya menguntungkan dirinya, tetapi juga menjadi sumber keberkahan bagi banyak orang.
Keadilan Fiskal: Menolak Ketimpangan
Salah satu kebijakan yang menarik perhatian publik adalah penegakan pajak dan penolakan tax amnesty. Dalam pandangan Islam, pemimpin yang menegakkan keadilan fiskal menjalankan perintah Allah untuk menegakkan timbangan dengan adil:
ٱلْوَزْنَ بِٱلْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا۟ ٱلْمِيزَانَ
“Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan jangan mengurangi neraca.” (QS. ar-Raḥmān [55]: 9)
Dalam sejarahnya, Islam mengenal kharāj dan ʿusyur sebagai instrumen fiskal yang adil. Khalifah Umar dan Umar bin ʿAbd al-ʿAzīz menolak pungutan yang berlebihan dan tidak mengampuni penggelapan pajak oleh pejabat. Sebab, pengampunan terhadap pelanggar besar berarti mengkhianati rakyat kecil.
Maka ketika Purbaya menolak tax amnesty, ia secara tidak langsung berjalan di jalur prinsip Islam: menegakkan keadilan dan pertanggungjawaban sosial. Menteri dengan tinggi badan 184 cm ini akan mengejar para pengemplang pajak besar. Taksirannya bisa mencapai Rp50 triliun. Dalam waktu belum ada sebulan, Purbaya telah mendapatkan Rp7 triliun.
Utang Negara dan Prinsip Moderasi
Islam tidak menolak utang, tapi mengajarkan kehati-hatian. Rasulullah ﷺ bersabda:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin tergantung karena utangnya hingga utang itu dilunasi.” (HR. at-Tirmiżī)
Dalam konteks negara, menjaga defisit dan rasio utang di bawah batas aman merupakan bentuk iʿtidāl — keseimbangan yang dijunjung tinggi dalam hukum Islam. Kebijakan fiskal yang disiplin bukan sekadar angka APBN, tetapi manifestasi dari etika: jangan berlebih-lebihan dan jangan lalai terhadap tanggung jawab. Wujudnya adalah menarik kembali uang negara di kementerian yang tidak produktif, juga pemotongan transfer ke daerah sebagai langkah efektivitas menjalankan amanah keuangan bangsa dan negara.
وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ
“Janganlah kamu berlebih-lebihan; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. al-Anʿām [6]: 141)
Refleksi: Ekonomi sebagai Ibadah
Di tengah kompleksitas dunia keuangan, kadang kita lupa bahwa setiap angka punya makna spiritual. Setiap keputusan fiskal sejatinya adalah keputusan moral. Islam tidak memisahkan antara pasar dan masjid, antara kebijakan dan akhlak.
Ketika kebijakan ekonomi berpihak pada keadilan, transparansi, dan kesejahteraan umat, maka di sanalah letak barakah — keberkahan yang menjadi cita tertinggi ekonomi Islam.
Karena itu, seandainya setiap pejabat keuangan menjadikan ayat ini sebagai pedoman, niscaya uang negara akan hidup bukan sebagai angka, tapi sebagai amal salih:
مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
“Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh bulir; pada tiap bulir terdapat seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. al-Baqarah [2]: 261)
Penutup
Kebijakan ekonomi yang berlandaskan amanah, keadilan, keseimbangan, dan maslahat bukan sekadar strategi negara, tapi kelanjutan dari nilai-nilai Islam yang hidup sejak zaman Rasulullah ﷺ.
Dan barangkali, di ruang rapat itu, ketika Purbaya menatap angka-angka fiskal, di balik grafik itu ada gema kalimat suci yang selalu relevan:
الْحَرَكَةُ بَرَكَةٌ
“Gerak itu membawa berkah.”
Selama gerak itu berpihak pada kemaslahatan manusia dan ridha Allah, maka ekonomi bukan lagi sekadar urusan dunia — tapi jalan menuju keberkahan dunia akhirat.
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra


