Kabupaten Batang termasuk bagian wilayah dari Provinsi Jawa Tengah. Di sana terdapat warga Rifa’iyah. Di antara daerah yang ditempati warga Rifa’iyah di Kabupaten Batang adalah:
- Kalipucang
- Watesalit (juga disebut sebagai Beran)
- Karanganyar
- Kasepuhan
- Klidang
- Dua dukuh di Kecamatan Subah: Gondang dan Ngadinuso
- Kecamatan Limpung: Karanganyar dan Donorejo
- Kecamatan Reban: Tambakboyo, Adinuso, dan Wonoyoso
Jika kita datang dari arah timur atau dari Kendal menuju Batang, kita akan menemui Desa Watesalit yang beriringan dengan jalan Pantura (Pantai Utara). Di sana dahulu Kiai Abu Ilham menyemaikan paham Rifa’iyah yang dibawa dari Pesantren Kalisalak.
Berawal dari Abu Ilham muda yang memiliki semangat mencari ilmu. Sekitar tahun 1860-an, ia bermaksud mencari guru yang dapat menuntunnya menuju jalan yang lurus, agar memperoleh ilmu yang bermanfaat dunia dan akhirat. Suatu hari, beliau pergi ke arah timur menyusuri hutan. Sampai di tengah jalan, Abu Ilham dicegat oleh seekor macan putih. Kemudian, macan putih itu menuntunnya menuju Kalisalak dan menunjukkan bahwa di sana terdapat pesantren dan guru mursyid yang dapat menuntun menuju rida Allah.
Patut diketahui bahwa nama “Abu Ilham” diambil dari nama anak pertama yang bernama Ilham. Pada waktu itu ada semacam tradisi bahwa jika seseorang memiliki anak pertama, maka ada kecenderungan orang tua dinamai berdasarkan nama anak tersebut, dengan ditambah julukan seperti “Abu”, “De”, dan sebagainya.
Abu Ilham kemudian dikenal sebagai Kiai Ilham. Padahal nama Ilham itu diambil dari anak pertamanya, yang kemudian juga menjadi pewaris ajaran Rifa’iyah yang diajarkan oleh ayahnya, Abu Ilham, bersama dengan Kiai Idris Sukawera dan Kiai Imam Basari dari Watesalit, Batang. Adapun nama asli Kiai Abu Ilham tidak diketahui.
Kiai Abu Ilham dikenal sebagai salah satu lurah Pondok Pesantren Kalisalak. Tidak diketahui secara pasti pada tahun berapa beliau diamanahi sebagai lurah pondok, tetapi yang jelas usia Pesantren Kalisalak mencapai 23 tahun. Kiai Abu Ilham dimakamkan di Kalisalak. Sekarang makamnya telah dibangun oleh masyarakat Rifa’iyah Watesalit dan Kalipucang. Di sekeliling makam ditanami pohon singkong oleh warga sekitar. Dahulu sempat ada seekor anjing yang setia menjaga maqbarah kiai.
Kiai Abu Ilham termasuk murid yang sangat setia dalam menemani perjuangan KH. Ahmad Rifa’i. Beliau membela gurunya dengan jiwa raga. Hal ini dibuktikan ketika KH. Ahmad Rifa’i hendak dibawa ke Semarang melalui Pelabuhan Ngebom Pekalongan untuk diadili dan kemudian diasingkan. Abu Ilham dan Abdul Qohar (1843–1930) menawarkan diri untuk menggantikan posisi gurunya agar mereka saja yang diasingkan ke Ambon. Namun, KH. Ahmad Rifa’i menolak tawaran tersebut dengan ucapan: “Ojo khawatir, kabeh bumine Allah Ta‘ālā.”
Kiai Abu Ilham berjasa besar dalam menyebarkan Rifa’iyah di Batang. Beliau menjadi penggerak pembangunan tajuk yang kini menjadi Masjid Salafiyah di Kalipucang, Batang. Kiai Ilham mendirikan salat Jumat di masjid Kalipucang Batang tanpa meminta izin kepada pemerintah. Padahal, kala itu sangat sulit bagi jemaah Rifa’iyah untuk mendirikan ibadah Jumat karena banyak faktor penghalang, seperti sentimen keagamaan dan politik praktis. Namun, beliau berhasil menyelenggarakan salat Jumat tanpa hambatan berarti karena suatu peristiwa:
Suatu hari, Kiai Abu Ilham menyelenggarakan ibadah Jumatan. Karena pelaksanaannya tanpa izin pemerintah, seorang petugas datang ke masjid dan menemuinya. Petugas itu memberikan peringatan dan beberapa instruksi. Kiai Abu Ilham menjawab dengan santai, “Nggih sumangga, wong niki sedoyo gadahane Gusti,” sambil menunjuk ke masjid dan areal halaman masjid yang luas. Petugas pemerintah itu kaget dan berkata, “Ternyata masjid ini miliknya Ndoro Kanjeng Gusti.” Ia menyangka bahwa masjid dan tanah tersebut milik Bupati (yang dahulu disebut Ndoro Kanjeng Gusti). Padahal, yang dimaksud Kiai Abu Ilham dengan “Gusti” adalah Gusti Allah. Petugas pemerintah itu langsung pergi dan mengikhlaskan berdirinya salat Jumat warga Rifa’iyah di Kalipucang Wetan.
Beberapa wilayah Rifa’iyah di Kabupaten Batang disemaikan oleh murid-murid Kiai Ilham, seperti Imam Basari, yang dikenal sebagai penguri-uri Rifa’iyah di Kalipucang dan Watesalit. Beliau membuka majelis taklim di Kalipucang, meskipun beliau bermukim di Watesalit. Putra sekaligus murid Kiai Abu Ilham yang bernama Said bin Ilham juga menyebarkan ajaran Rifa’iyah ke daerah Cepokomulyo, Gemuh, Kendal. Kiai Abu Ilham juga berjasa dalam menyebarkan Rifa’iyah ke berbagai wilayah lain seperti Pekalongan, Pemalang, Tegal, dan Brebes.
Imam Basari dikenal sebagai hamba Allah yang dianugerahi banyak ma‘ūnah (pendapat lain mengatakan karāmah). Menurut pengakuan Abdul Jamil, sewaktu kecil ia sering melihat wanita yang setiap kali hendak melewati Desa Kalipucang selalu mengenakan kerudung untuk menutup aurat.
Lama-kelamaan, Abdul Jamil tidak sabar dan menanyai ibu tersebut dalam bahasa Jawa:
“Nangopo, Mbah, kok nek arep ring Kalipucang nganggo kudung?”
(Kenapa, Mbah, setiap kali akan melewati Kalipucang harus memakai kerudung?)
Ibu itu menjawab:
“Karang awakmu bocah saiki, lop, yo dadi ora reti. Yen bapakmu yo reti, lop!”
(Karena kamu anak sekarang, nak, jadi tidak mengerti. Kalau bapakmu pasti tahu.)
“Lha pripun?” (Lha kenapa?) Jamil menimpali.
Ibu itu menjawab:
“Aku ora wani tulah syar‘ī, lop.”
(Saya tidak berani terkena walat syara)
Kemudian, ibu itu bercerita tentang pengalaman beberapa wanita yang melewati Kalipucang tanpa kerudung dan mengalami luka-luka pada tubuh mereka. Konon, jika tidak menutup aurat tetapi tetap nekat melewati Kalipucang, maka jalan di Kalipucang akan tampak seperti sungai, sehingga harus berenang untuk menyebranginya. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika seorang ibu berenang di jalan berbatu. Peristiwa aneh dan unik ini diakui berlangsung pada masa Imam Basari (sekitar 1920-an).
Beliau dikenal sebagai pencari ilmu yang andal, serta ketelitiannya dalam menjalankan syariat diakui oleh banyak muridnya.
Suatu waktu, meskipun Imam Basari telah membuka majelis taklim, beliau tetap giat mencari ilmu. Beliau singgah di salah satu pondok di Kota Pekalongan. Suatu hari, beliau dipanggil oleh pengasuh pondok untuk sowan. Namun, ketika sampai di depan rumah gurunya, beliau tidak serta-merta masuk ke ruang tamu.
Melihat hal tersebut, sang kiai memanggil dan mempersilakan masuk beberapa kali. Namun Imam dari depan rumah menjawab bahwa ia sedang melihat pawai kuda, seolah-olah mengabaikan perintah sang kiai. Sampai akhirnya kiai keluar rumah dan menanyai mengapa Imam tidak segera masuk. Imam beralasan bahwa ia tidak pantas masuk karena di dalam rumah terdapat seorang wanita yang bukan maḥram, yang auratnya terbuka. Imam mengira wanita itu adalah maḥram gurunya. Sang kiai langsung menangis dan membenarkan alasan Imam. Ia mengaku bahwa wanita itu hanyalah tamu yang datang untuk meminta bantuan, bukan maḥram-nya. Sang guru meminta maaf kepada Imam karena telah khilaf dan tidak memberikan teladan kepada murid-muridnya.
Selain Imam Basari dan Said Ilham, ada juga Mbah Idris, yang termasuk murid Abu Ilham. Kiai Idris menetap di Sukawera, Indramayu, dan memiliki beberapa murid, di antaranya Kiai Misbah yang berjasa menyebarkan Rifa’iyah ke negeri jiran, Singapura.
Bagi pembaca yang memiliki sumber tulisan, lisan, ingatan, atau petunjuk, penulis bersedia sowan untuk memperoleh informasinya, guna melengkapi tulisan ini dan tulisan-tulisan berikutnya.
Bersambung…
Rujukan:
Shodiq Abdullah, Islam Tarajumah: Komunitas, Doktrin, dan Tradisi, (Rasail: Semarang, 2006).
Wawancara dengan KH. Ahmad Syadzirin Amin, Paesan Tengah, Kedungwuni, Pekalongan, 25 Desember 2010.
Wawancara dengan KH. Ali Nahri, Karanganyar, Batang, 24 Desember 2010.
Wawancara dengan H. Abdul Jamil, Kalipucang Wetan, Batang, 24 Desember 2010.
Penulis: Ahmad Saifullah
Editor: Yusril Mahendra